Bebas dari Kekerasan, Mungkinkah?


Aroma kekerasan ada di mana-mana, tak terkecuali di institusi pendidikan. Berbagai kasus kekerasan di sekolah dan kampus kerap mengisi berita di media. Tak tanggung-tanggung, aksi ini kadang kala melibatkan pula para pendidik, seperti guru dan kepala sekolah. Yang memalukan, kekerasan yang dilakukan para pendidik bukan hanya berlatar praktik pendisiplinan anak didik, melainkan juga pelecehan seksual.

Sementara para peserta didik, mulai dari usia kanak-kanak hingga dewasa, juga tak bebas dari praktik kekerasan. Litbang Kompas sudah dua kali melakukan survei melalui angket pada siswa SMA di beberapa kota besar di Indonesia. Survei pertama dilakukan pada Januari 2012 di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, dan Palembang dengan total responden 590 siswa SMA. Survei kedua pada Maret 2013 di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang dengan total responden 952 siswa SMA. Hasilnya, di sekolah-sekolah di mana responden menimba ilmu terjadi aksi kekerasan di antara para siswa.

Beberapa siswa mengaku pernah menjadi korban kekerasan baik fisik maupun verbal di sekolah, dilakukan oleh teman mereka sendiri. Tindak kekerasan seperti memukul, menendang, atau menampar kawannya—juga kekerasan verbal seperti mencela, mengejek, atau memanggil teman dengan sebutan yang melecehkan—menjadi hal biasa. Survei memperlihatkan bullying dalam berbagai bentuknya menjadi persoalan serius. Meskipun ada perbedaan soal sampel, cara pengumpulan data, dan waktu pelaksanaan, kedua survei memberikan gambaran tindak kekerasan di sekolah.

Fenomena kekerasan di sekolah, sebagaimana ditunjukkan hasil survei, memang baru sebatas kekerasan fisik dan mental. Belum menyentuh pada dimensi kekerasan simbolik seperti yang digagas Piere Bourdieu, seorang ilmuwan sosial terpandang dari kubu aliran kritis. Untuk mengungkap fenomena kekerasan simbolik dalam lembaga pendidikan di Indonesia tentu dibutuhkan penelitian mendalam dan komprehensif. Sebab, kekerasan bukan hanya sekadar merujuk pada tindakan yang bersifat fisik dan verbal, melainkan juga terhadap kebijakan pendidikan yang bersifat struktural dan sistemik, serta dimensi kultural, yang lebih menguntungkan mereka yang berasal dari kelas atas, dan mengabaikan kepentingan mereka yang berasal dari kelas bawah.

Sekolah bukan hanya lembaga yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Sekolah juga menjadi sarana penanaman nilai, baik secara formal dalam berbagai kegiatan belajar-mengajar maupun perilaku dalam relasi sosial keseharian. Lebih dari itu, sekolah menjadi arena bagi kekuasaan yang berpotensi memproduksi kekerasan. Kekerasan tersebut sering kali tidak disadari karena beroperasi secara halus melalui bahasa atau sistem simbol, yang sesungguhnya merepresentasikan dominasi kelompok sosial tertentu. Secara sederhana, misalnya, bisa ditemukan pada kurikulum, buku ajar, pakaian seragam, dan pemisahan kelas.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *