Eksotisme Bangka dan Nelayan Nusantara


Wilayah perairan laut provinsi Bangka Belitung (Babel) bukan dominasi nelayan asli daerah, melainkan dari berbagai daerah di Indonesia. Perjalanan selama tiga hari (25/11 – 27/11) di pulau Bangka, melihat langsung bagaimana nelayan dari luar tapi betah. Fajar, nelayan asal Bogor mengaku sudah 30 tahun mencari ikan di wilayah perairan Toboali dan Sumedang (Jawa Barat). Perjalanan turun ke laut, rata-rata memakan waktu 10 hari bahkan lebih. “Kadang, tergantung dapat ikan atau nggak. (menangkap) ikan pari. Nggak ada ikan lain, selain Pari di Bangka. Hasil tangkap serba nggak pasti, tergantung cuaca, migrasi ikan dan lain sebagainya. Kalau sudah dapat ikan, kami balik ke dok (pelabuhan),” kata Fajar.
Dok nelayan terletak di ujung Jl. Pasir Putih, Pangkal Pinang (ibu kota Prov. Babel). Lokasi dok juga sudah sangat dikenal dengan istilah Teluk Bayur. Tetapi ‘Teluk Bayur’ di Pangkal Pinang tidak ada hubunganya dengan nama pelabuhan di Sumatera Barat. Suasana dok terlihat sunyi, teduh karena banyak pohon kelapa. Beberapa nelayan sibuk dengan berbagai perlengkapan dan alat pancing, sepreti jaring, perbaikan kapal dan lain sebagainya. “Kalau ada keperluan, saya minta Kim Su (pemilik kapal) ke pasar. Dia yang beli, saya hanya kerja saja. Dia yang jual ikan hasil tangkapan. Di pasar Pangkal Pinang, sudah ada agen atau pengumpulnya. Kim Su punya PT (perusahaan), dia bayar tunai.”
Fajar mengaku, uang yang diterima dari hasil penjualan ikan tersebut, serba tidak menentu. Biasanya, setelah ikan dijual, ia mendapat bagian dari Kim Su. Setelah itu, ia kirim uang untuk keluarganya di Bogor. Terakhir, Kim Su dapat uang hasil penjualan sekitar Rp 3 juta. Tetapi uang tersebut harus dibagi lagi, karena ada ABK (anak buah kapal) lainnya. Uang tersebut juga harus disisihkan untuk pembelian solar, logistic dan lain sebagainya. Fajar mengirim uang kepada keluarganya di Bogor, dengan dua tahap ‘transfer’ ATM. Karena ia tidak memiliki account di bank. Tahap transfer pertama, ia harus titip uang ke Kim Su. Lalu yang bersangkutan kirim melalui ATM (anjungan tunai mandiri) ke tetangga istri Fajar di Bogor. “Keluarga saya terima dari ATM milik tetangga saya. ATM nya punya orang lain. Saya yakin, karena tetangga, dia nggak jahat. Tapi istri saya harus bayar Rp 60 ribu, untuk pengganti (jasa) ATM.”
 
Untuk melaut mencari ikan, Fajar butuh beras, telor, dan satu ekor ikan matang. Perjalanan selama 10 hari, ia mengaku lebih banyak makan lauk pauk telor goreng. “Saya jarang goreng ikan hasil tangkapan. Kadang, hanya bawa satu ekor yang sudah digoreng, waktu mau berangkat. Tapi itu hanya untuk jatah satu hari.”
Menangkap ikan di laut, terkadang tidak selalu beruntung. Karena kalau hasil tangkapan sedikit, Fajar harus menutupi biaya dengan tangkapan pada esok hari. Suatu waktu, ia pernah dapat ikan pari se-berat 20 s/d 70 kg. Kalau di tengah laut, ternyata umpan/jaringnya berhasil menangkap ikan besar sampai 70 kg, ia harus menggunakan ganco. Karena kalau adu kuat, menarik jaring, jaringnya bisa putus. Atau ia juga bisa terhempas, karena kalah kuat dengan tarikan ikan pari. “Kita adu tenaga. Ikan pasti ngamuk. Kita pake ganco, jaringnya tidak terlepas.”
Logistik di kapal untuk penyimpanan ikan, harus dilengkapi dengan tempat penempatan ikan. Fajar juga harus menyediakan 16 balok es untuk menjaga keawetan ikan hasil tangkapan. Jatah 16 balok es hanya untuk 10 hari melaut. Kalau hasil tangkapan sedikit, es masih tersisa. Setelah mendarat di dok Teluk Bayur, ia beristirahat selama beberapa hari. Karena persiapan melaut selama 10 hari, harus dibarengi dengan berbagai persiapan. Selain jaring, Fajar juga harus menyiapkan Rawa Senggol, atau alat penangkap ikan. Alat tersebut, mudah sekali rusak, terutama saat menarik paksa ikan yang terjaring. Fajar sedang menyiapkan Rawa Senggol. Ia mengenakan tali ratusan meter panjangnya. Lalu ia membagi-bagi per bagian, dengan panjang se-jengkal tangannya. Ia mengerjakan di atas kapal, kadang juga di pos di pesisi pantai Pasir Padi. Setiap hari ia berteman dengan burung-burung di laut, anjing penjaga, dan beberapa orang nelayan yang berpangkalan di dok Teluk Bayur, Pasir Putih. “Saya tidur di atas kapal saja, nggak punya rumah di sini (Pangkal Pinang).”
Untung rugi sebagai nelayan, bagi Fajar, hampir tidak pernah terpikirkan. Ia mengaku, selama 30 tahun menjadi nelayan, sudah sangat akrab dengan laut dan ikan. Baginya, menangkap ikan di laut adalah pilihan terakhir. Karena selain berpendidikan hanya lulus SD (Sekolah Dasar), ia juga tidak punya keahlian lain. Selama 30 tahun juga ia belum berhasil memiliki sebuah kapal. Sehingga hasil tangkapan selalu harus dibagi empat, dengan pemilik kapal, pengumpul, dan ABK.
Sementara itu, nelayan asal Makasar (Sulawesi) Rusdi mengaku, dulunya ia bekerja di perusahaan kapal contreng. Istilah tersebut sudah umum di kalangan nelayan, dan para pelaku usaha perikanan di Bangka. Contreng, adalah istilah kapal cumi yang berukuran besar. “Saya kerja di Contreng selama dua tahun. Tapi sekarang jadi tukang merehab (perbaikan) kapal,” kata Rusdi.
Kalau ada pemilik kapal yang meminta bantuan Rusdi, ia dapat bayaran sekitar Rp 135 ribu per hari. Bagian rehab, mulai dari badan kapal yang ditutupi kayu keruk asli Bangka sampai dengan furnish (lem). Dalam sebulan, ia mengaku bisa mendapat penghasilan sekitar Rp 4 juta. “Saya kirim ke Makasar, untuk biaya anak sekolah.”
Tingkat kesulitan pekerjaan rehabilitasi kapal yaitu mencari kayu-kayu berukuran empat meter. Kayu tersebut hanya ada di pelosok kampong di pulau Bangka. Kayunya banyak, tetapi sulit untuk pengiriman dari pelosok sampai ke dok Teluk Bayur. Kadang, aparat kepolisian di sepanjang jalan sering me-razia. Kendatipun penebangan kayu keruk bukan illegal, tetapi aparat kepolisian, ibaratnya cari-cari kesalahan. “Mereka sering cegat kalau melihat truk bawa kayu-kayu besar. Karena badan kapal butuh kayu sepanjang empat meter. Kalau kurang dari itu, sambungannya beresiko bocor, walaupun sudah di furnish (lem) damar.”
Pekerjaan merehab kapal, rata-rata butuh waktu tiga bulan. Kalau kerusakannya kecil, Rusdi butuh waktu kurang dari tiga bulan. Ia juga mengaku, kadang pergi ke pulau Gresik dekat pulau Belitung. Pulau tersebut merupakan tempat berkumpulnya para nelayan, terutama yang berasal dari Makasar. Terkadang Rusdi juga merehab kapal-kapal nelayan di pulau tersebut. Ia harus menyebrang terlebih dahulu ke pulau Belitung. Setelah itu, ia melanjutkan penyebrangan dengan kapal laut sekitar 2 – 3 jam. “Gresik, pulau khusus yang dihuni para nelayan. Kalau di sana, persediaan kayu Keruk banyak. Tapi kalau saya merehab di Pangkal Pinang, cari kayunya sulit.”
Negeri Bahari, Indonesia dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi, garis pantai 104.000 kilometer atau terpanjang kedua di dunia. Sehingga tidak heran, laut adalah beranda 2,74 juta nelayan. Tetapi laut, pantai, wilayah pesisir juga merupakan eksotisme pulau Bangka. Dari tahun ke tahun, jumlah wisatawan baik domestik maupun luar negeri terus bertambah. Beberapa nama yang sudah dikenal, Pantai Parai, Pantai Pesona sudah menjadi iconic marine tourism karena eksotismenyaTetapi popularitas Parai dan Pesona, sayangnya, masih kalah dibanding pantai Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang Belitung. Sekilas, batu-batu besar di Tanjung Tinggi dan Kelayang hampir sama dengan yang ada di Parai dan Pesona. Kekhasan batu dengan bentuk kepala burung bukan hanya ada di Belitung. “Karena Tanjung Tinggi dan Kelayang menjadi sangat terkenal setelah film Laskar Pelangi. Apalagi popularitas Ahok (Basuki Tjahaya Purnama, wakil gubernur DKI Jakarta) juga berasal dari Belitung. Pemberitaan media massa yang jor-joran mengenai Ahok, secara langsung ataupun tidak langsung memopulerkan Belitung. Bahkan berita kematian Eko Maulana (mantan gubernur Babel) hampir tidak pernah terdengar. Beliau meninggal tiga bulan yang lalu. Tapi kalau berita Ahok, sedikit saja yang terkait dengan Belitung, pasti dimuat di berbagai media massa,” kata Liu Chin Wei (48), putra daerah Bangka.
Bangka masih sangat potensial untuk pengembangan wisata bahari, wisata pantai, wisata kuliner dan wisata religi. Wisata bahari dan pantai sangat mungkin, karena pesona keindahan pulau Bangka. Sedangkan wisata kuliner juga sangat mungkin. Karena di setiap sudut jalan di kota Pangkal Pinang, dan beberapa kota lain seperti Sungai Liat, banyak toko yang menjual makanan khas Bangka. Makanan khas Lempah Kuning Ikan merupakan sajian khas rumah-rumah makan di Bangka. Bahkan di Jl. Pasir Putih, ada rumah makan yang beratapkan rumbia menyediakan menu tersebut. Suasana makan menjadi sangatmemorable. Selain rasa Lempah Kuning yang nikmat, angin pantai di Jl. Pasir Putih menambah selera makan. Lokasi “warteg” khas Bangka dengan menu Lempah Kuning, hanya beberapa ratus meter saja dari tepi pantai. Selain masyarakat berkantong pas-pasan, banyak orang kaya Bangka yang mampir di “warteg” tersebut. Pemiliknya biasanya menyajikan dua ekor ikan, tergantung pilihan pengunjung. Ada ikan tenggiri, ikan pari, ikan merah dan lain sebagainya. Satu porsi dalam mangkok terdiri dari dua ekor ikan. “Kalau makan satu, Rp 15 ribu. Kalau makan dua, Rp 25 ribu.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *