Umat Buddha Bangka Dulu dan Sekarang


Umat Buddha di Bangka secara perlahan mengalihkan kegiatan keagamaan tradisionalTionghoa pada ritual di Wihara/Caitya. Dulunya, masyarakat keturunan di pulau Bangka mengunjungi kelenteng secara rutin. Sebagian besar juga melekat pada berbagai tradisi ke-Tionghoa-an, termasuk sembahyang Cheng Beng (ziarah ke makam leluhur). Tetapi seiring waktu yang berlalu, sekarang umat Buddha Bangka mulai belajar agama Buddha. Mereka tidak lagi hanya terpaku pada ritual “cung-cung cep” atau pasang hio (dupa). Tetapi sebagian besar sudah mengikuti ritual kebaktian baik tradisi/mazhab Mahayana, Theravada, Buddhayana. Tombak sejarah perkembangan agama Buddha di Bangka tidak lepas dari peran Sagin (Sangha Agung Indonesia). Umat semakin lama semakin bertambah. Salah satu pembangunan Wihara yang dimotori Sagin adalah Wihara Kumala Bodhi di Jl. Pasir Putih, Pangkal Pinang. Salah satu umat Buddha, Liu Chin Wei (LCW) mengatakan bahwa dulunya orang Tionghoa anggap ritual kelenteng sangat jelimet. Ritual kelenteng juga disama-ratakan dengan ritual agama Buddha di Wihara. “Padahal itu salah. Banyak orang Tionghoa di Bangka yang semakin modern. Tapi mereka salah kaprah, anggap ritual kelenteng sama dengan ritual di Wihara,” LCW mengatakan kepada Redaksi.
Ritual kelenteng dianggap repot, jelimet, mahal dan lain sebagainya. Salah satunya, sajian sansheng (daging ayam, babi, ikan) untuk altar di kelenteng. Selain itu, ritual kematian tradisi Tionghoa juga dianggap mahal, boros, jelimet, repot dan lain sebagainya. “Padahal, semuanya itu tidak ada dalam ritual agama Buddha. Kami hanya butuh hio (dupa), dan bunga. Tetapi khusyuk baca Paritta (kitab suci agama Buddha) adalah yang utama. Kalau ada anggota Sangha (ulama Buddha), lebih baik.”
LCW adalah salah satu umat Buddha yang dulunya rutin ke kelenteng. Tetapi setelah ikut kebaktian di Wihara Kumala Dewi, menjadi semakin tertarik belajar agama Buddha. Ia mengaku, terkadang kecewa dengan orang Tionghoa di Bangka yang salah kaprah. Tetapi ia tidak bisa berbuat banyak, kecuali kadang berceramah di Wihara. Ia juga kerap disapa ‘Romo’ oleh umat Wihara. Ketika Bhiksu Nyana Maitri Mahathera dan 21 muridnya berkunjung ke Bangka, ia turut serta mengikuti ceramahnya.
Bhiksu Nyana Maitri Mahathera, dalam ceramahnya mengatakan bahwa umat Buddha di Indonesia termasuk Bangka harus punya tekad berbuat baik. Kehidupan umat awam memang berbeda dengan para Bhiksu/Bhiku. Tetapi secara garis besar, ada persamaannya, yaitu punya tekad dan tujuan dalam hidup dan kehidupan. “Umat perumah-tangga juga harus saling berbagi, saling perduli dengan lingkungan sekitarnya. Kami, para anggota Sangha juga peduli dengan pengembangan umat Buddha. Kami punya tekad, umat awam juga punya tekad yang positip,” Bhiksu Nyana Maitri mengatakan kepada Harian Nusantara.
Tekad dan tujuan positip sebagai anggota Sangha juga membuahkan hasil positip. Bhiksu Nyana Maitri mengaku, dulunya ia sempat ditentang oleh orang tuanya. Tetapi secara perlahan, kedua orang tuanya mengerti dengan tujuan dan tekad yang luhur tersebut. “Dulu, Mama saya melarang saya menjadi anggota Sangha. Tetapi sekarang, mereka sebaliknya mengingatkan saya untuk terus mengembangkan ajaran Buddha di Indonesia, termasuk di Bangka.”
Sehingga dari pengertian, tekad dan tujuan yang luhur, Bhiksu sangat optimis dengan pengembangan agama Buddha. Ia juga menjelaskan kepada umat perumah-tangga untuk menjaga sikap bakti terhadap orang tua. Karena apapun alasannya, orang tua yang sudah membesarkan anak-anaknya. “Saya bisa sampai seperti ini juga karena orang tua. Kita harus mensyukuri, mengucapkan terima kasih kepada leluhur, yaitu orang tua dan kakak. Kita berjuang dalam hidup ini, mencari penghasilan. Setelah itu, kalau sudah tua, pasti ada yang bisa membantu kehidupan kita.”
Bhiksu Nyana Maitri mengaku sempat datang pada tahun 1986 yang lalu ke Wihara Kumala Bodhi. Tetapi Bhiksu menetap di berbagai Wihara di Lampung, Jambi. Kalau ada umat yang mengundang, Bhiksu pasti usahakan untuk memenuhinya. Tahun ini, Bhiksu bersama umat Lampung, Jambi dan Jakarta mengunjungi Bangka. Kunjungan ke beberapa Wihara dianggap perlu, melihat masih kuatnya pengarus budaya tradisional kelenteng. Pulau Bangka juga sangat luas, terdiri dari beberapa kabupaten. Selain kekayaan alamnya, pulau Bangka sekilas mirip dengan Singkawang yang dikenal dengan Seribu Kelenteng. Tionghoa di Bangka juga tidak berbeda jauh dengan Kota Amoy, Singkawang. Sebagian Tionghoa yang dulunya bersembahyang di Kelenteng, sudah beralih memeluk agama Kristen atau Katolik.
Wihara tersebut direnovasi sekitar mengajak umat Buddha di Bangka dan di luar Bangka untuk merenovasi Wihara tersebut. Bangunan yang dulunya sempit, dan seadanya, dibangun menjadi dua lantai. Kapasitas ruang kebaktian juga menampung lebih dari seribu umat di dua lantai.
Mereka juga aktif mengadakan pertemuan, atau Persekutuan Doa dan sejenisnya. Lalu sejarah perkembangan agama Buddha di Bangka terus alami banyak perubahan. Masyarakat tradisional Kelenteng mulai belajar agama Buddha. Titik awalnya, ketika Sangha Agung Indonesia (Sagin) mengadakan berbagai kegiatan termasuk puja bakti di Wihara Kumala Bodhi di Jl. Pasir Putih Pangkal Pinang.
Di tempat yang sama, umat Buddha asal Bangka Novianty Amelia (Lya) atau Tjhia Jun Hua mengaku sudah lama bergelut dengan kesenian Buddhia. Ia sering tampil menari, bernyanyi di berbagai acara agama Buddha, di Bangka dan luar Bangka. Gadis cantik yang masih berumur 17 tahun ini mengaku adanya perbedaan dirinya dengan remaja di Bangka pada umumnya. Ia mengaku punya hobi yang aneh, seperti tato di beberapa bagian tubuhnya. “Remaja di Bangka punya karakter masing-masing. Saya punya hobi tato, bercat rambut dengan aneka warna. Tapi tidak semua remaja di Bangka seperti saya,” Lya mengatakan kepada Redaksi.
 
Ia juga mengaku bahwa karakter dan kebiasaan anehnya bukan karena factorbroken home. Tetapi semuanya tidak lepas dari kesukaan sejak masih kecil. Lya sebaliknya mengaku tetap rajin ikut kebaktian di Wihara, kendatipun penampilannya sedikit urak-urakan. “Sekarang tukang tato sudah banyak di Bangka, bukan hanya di pulau bali. Tato bagi saya, sudah biasa. Tato saya bisa dihapus, bukan yang permanen. Saya juga bisa perpanjang (tato) setelah enam bulan. Saya sambung, atau hapus. Kadang gatal-gatal, bahkan dengan obat keras untuk hapus (tato).”
Lya bekerja di apotik di kota Pangkal Pinang. Ia mengaku hanya lulus SMP (sekolah menengah pertama) Pembinaan. Sejak masih duduk di bangku SD, ia mengaku gemar bernyanyi. Lalu guru agama Buddhanya, Endro Lukito melihat bakatnya. Ia pun didorong untuk tampil di setiap acara Waisak di Wihara. Sejak itu, ia sering diundang ke daerah, bahkan ikut kompetisi. “Terakhir saya menang juara harapan acara kesenian Buddhis Shayamwara Tripitaka Gatha di Green Jaya Raya hotel di Bogor. Saya mewakili provinsi Bangka Belitung.”
Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Kementerian Agama menyaring penyanyi Buddhis dari 33 provinsi di Indonesia. Lya sejak awal sudah yakin menang. Karena dorongan gurunya, Endro Lukito, ia tampil optimis. “Pesertanya umum, mulai dari mahasiswa, murid sekolah dan masyarakat umum. Saya hanya tampil dengan batik. Sementara peserta lain tampil dengan berbagai kostum yang bagus. Tapi karena saya yakin dengan kualitas suara, dan gerak tari, bisa raih gelar juara harapan.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *