Kisah Pulkam Bang Jeha # 12


Sebagai saksi atau wakil man-temin saya yang ikut bersama-sama tour ke Aceh, saya dapat merasakan bagusnya atau memanfaatkan adanya bahasa nasional bagi kita semua yang berbahasa Melayu, eh Indonesia :-). Hanafi

Bahasa Indonesia dimengerti disini, kedai kopi Beuraweh

pren kami yang berbahasa Aceh, satu patah kata pun dari konversasinya dengan anak Aceh lain dalam bahasa ibu mereka, tak saya bisa tangkap. Kecuali bila ia mencampurkannya dengan bahasa Indo atau bahasa asing seperti SD card :-). Adalah kebahagiaan bisa minta nasi dan ayam goreng serta air dingin Aqua di setiap warung makan Aceh tanpa butuh bantuan translator :-). Suatu

luxury bisa minta kopi biasa dan kopi luwak, masing-masing dalam gelas berbeda, jangan pakai gula dan susu, supaya bisa dirasakan keasyikan dan perbedaan kedua jenis kopi tersebut, tanpa memakai penterjemah. Bayangkan kalau di suatu kota atau negeri, hanya bahasa lokal yang dimengerti, gimana caranya kita pesan kopi luwak coba? 🙂 Pakai bahasa Tarzan juga kaga bakalan bisa sebab oom Tarzan bergaulnya dengan monyet, bukan luwak.

Mpok Cecile di kolam renang Casablanca Club

Presiden batal ke Belanda, adalah judul utama koran pagi Kompas yang saya baca di tgl 6 Oktober. Bila Anda di luar batang, di Amrik dan Kanada tidak mengikuti berita tanah air, tapi cuma memantau kurs BCA dibandingkan dollar :-), intinya SBY dan rombongan kaga jadi kesono lantaran mau ditangkap. Kog? Ya, karena lembaga pengadilan di Belanda terpisah dari legislatif dan pemerintah mereka, sengaja rakyat yang pro RMS, Malukuers dan kambrat mereka berinisiatif sedemikian sehingga SBY akan diadili berhubung sudah melanggar HAM di Maluku maupun di Papua, persisnya bertanggung-jawab atasnya. Yang membuat saya tertarik menulis mengomentarinya adalah karena pembatalan itu dilakukan di jam keberangkatan, dimana seluruh rombongan sudah siap di

atas kapal terbang. Bayangkan dampaknya, mubazirnya dollar dan Euro di tas ibuk-ibuk yang kaga jadi syoping, ihik ihik :-). Anda dan saya TST lah,

Berenang pakai wangi semerbaknya bunga-bungaan

tahu sama tahu, ibu-ibu isteri pejabat itu kalau ikut ke luar batang, ngapain? Apa diving snorkeling di pulau-pulau Eropa? 🙂 Saksi hidupnya, mantan guide ibu-ibu pejabat yang syoping di Roma masih tinggal di Yogya dan bisa saya kenalkan kalau Anda mau tahu toko butik mana paling mahal hebring disitu.

Kemarin saya mulai berenang di Casablanca Club, yang untuk anak Betawi lulusan kolam renang Kali Ciliwung :-), borjuis banget. Gimana tidak. Sekali berenang di Tirta Mas cuma Rp 11000, di kelab mewah itu bayar langganan sebulan Rp 770 ribu. So pasti saya tidak akan bisa berenang setiap  hari, bisa seminggu 3 kali udah oke alias ya sekali nyemplung 70 ribu dah. Pakai kurs dollar sih ‘not too bad’, apalagi dollar Kanada sedang melambung hari-hari ini menyamakan US dollar. Ketika mulai nyemplung, airnya terasasejuk, pas untuk kami yang biasa berenang di air dingin. Tidak banyak yang berenang. Selama hampir 1 jam disitu, palingan ada beberapa orang, tidak sampai 5 orang. Tak ada yang berenang lap swimming seperti kami, mereka paling tahan 10-15 menit :-). “Bang Jeha, kaga kemahalan berenang bayar hampir sejeti?,” tanya Anda yang hidupnya hemat. Engga juga prens, sekali berenang di tempat jorok, kena infeksi, ke urolog, keluar sejeti rupiah, ihik ihik :-). Duit kenal barang rek, you wanna breast, you pay the price!

Jalan tol pun macet kalau di Jakarta mah

“Warga frustasi hadapi macet” adalah judul utama koran Kompas tgl 8 Oktober. Kefrustasian itu akan ditambah dengan sumpah-serapahku kalau ketika sedang

antri macet, ada mobil yang punya negeri ini, jalan pakai sirene dan voorrijder. Sialan jaul banget loe! Itu yang terjadi ketika saya pergi ke Tomang dari Pulo Mas, jarak yang cuma 25-an km. Bisa sampai dalam waktu 1 jam sudah puji Tuhan banget. Lantaran pejabat sialan tersebut, dibutuhkan 1.5 jam tuk sampai. Masih mending. Berita koran melaporkan, kalau sudah hujan, siap-siaplah terjebak kemacetan, artinya lalulintas berhenti mandek bangsanya 2-3 jam. Nasib paling sial selama ini yang saya alami bermobil di Jakarta adalah di Pademangan, macet tak bergerak hampir setengah jam.

Oleh karena itu, melihat suatu truk berisi motor-motor baru pas saya lagi

Berpakaian yang pantas di dalam mesjid Baiturrahman, Banda Aceh

nyupir di tol, di jalan yang merayap seperti siput, kudambakan hamba bias naik motor lagi. Sayangnya kota ini bukanlah Bali dimana turis bisa bebas sewa motor dan tidak perlu kuatir ditangkap polantas atau dirazzia.

Mong-ngomong razzia, sas-sus dan penakut-nakutan beberapa prensku untuk hati-hati ke/di Aceh, bisa dirazzia polisi syariah, ternyata kabar burung prens. Tak ada polisi model begitu. Sedemikian kuatirnya beberapa cewek yang kaga pakai ‘helm’ di trip kami, sehingga ketika suatu saat ada kerumunan polisi, mereka langsung nyungsep nunduk tiarap ke bawah mobil sebab mereka mengira inilah dia, razzia polisi syariah :-). Kasian ya anak Indo :-). Ternyata itu benar razzia tapi polantas terhadap pengendara sepeda motor. Kaga tau kenapa, sampai hari ini pengendara motor kulihat masih saja jadi sasaran razzia polantas di Jakarta ini, maupun di Aceh. Sebetulnya bila kita turis, oke oke saja berpakaian yang tidak tertutup, apalagi di daerah turisme di Pulau Weh. Hanya kalau kita mau masuk ke dalam suatu mesjid seperti Mesjid Raya Baiturrahman, maka kita perlu

berpakaian pantas, serba tertutup untuk kaum hawa, celana panjang untuk bani adam.

… (bersambung) …

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *