Beranikah SBY menjawab tantangan FUI


oleh T Eva Christine Rindu Mahaganti

Miris,miris sekali. Begitulah perasaan saya tatkala membaca postingan saudara Alex Win yang berjudul `FUI Mengultimatum SBY?!’. Di sana tertulis, ketua FUI mengatakan akan menjadikan Indonesia seperti Mesir kalau ormas Islam dibubarkan.FUI bahkan berani menuntut SBY mundur jika dua permintaannya yaitu pembubaran Ahmadiyah dan menangkap

SBY

serta mengadili para pimpinan Ahmadiyah tidak terpenuhi.

Ironis,terlalu ironis.Inilah tragedi kepemimpinan nasional itu, Presiden diancam oleh rakyatnya sendiri. Presiden,Sang RI I itu diuji nyalinya oleh rakyatnya sendiri. Seorang Jenderal, Panglima Tertinggi di Negeri ini diancam oleh sekelompok masyarakat sipil. Mengenaskan sekali.

Itulah akibatnya bila Presiden kita terlalu sering menunjukkan kelemahan,tanpa malu-malu atau berpikir panjang. Mendapat ancaman, curhat kepada rakyat, bukan kepada Panglima TNI dan KAPOLRI, agar pengamanan terhadap dirinya lebih ditingkatkan.Alih-alih mendapat dukungan dan simpati rakyat, malah mendapat cibiran sebagai pemimpin lemah. Pencitraan yang gagal.

Di saat SBY harus menunjukkan `taringnya’ saat menghadapi kekerasan yang dialami rakyat karena perbedaan keyakinan, ia malah menunjukkan sikap yang selemah-lemahnya iman yaitu dengan mengatakan, “Saya Prihatin”. Begitu seringnya ia mengucapkan kata ‘saya prihatin’ tanpa berbuat sesuatu, justru menjadikan kata-kata favoritnya itu sebagai bahan dagelan.Di luar sana beredar humor segar bahwa SBY telah berganti nama sekarang menjadi Prihatin. Prihatin Bambang Yudhoyono.

Ya, semua yang dilakukan SBY memang selalu tampak salah.Mengapa? Karena SBY selalu menunjukkan kepada publik bahwa dirinya adalah pemimpin yang tidak tegas, penuh keraguan dan terlalu mudah berjanji,tanpa dapat menepati. Politik pencitraan yang selama ini diterapkannya ternyata telah membuatnya terjerumus pada sikap yang selalu ragu dan penuh pertimbangan.

Sikapnya yang penuh dengan ketakutan bahwa, tindakan yang akan diambilnya itu tidak populer,akan membuat posisinya tidak aman dan tidak nyaman karena kehilangan dukungan mayoritas, itulah yang terbaca oleh rakyat dan juga oleh lawan politiknya. SBY tidak dapat bergerak leluasa, karena takut kehilangan dukungan. Bisa jadi karena lawan politiknya memang memegang kartu truf yang dapat mematikan langkahnya.

Presiden kita telah kehilangan wibawa. Setiap tindakannya, sekalipun itu salah, selalu dibackup habis-habisan oleh partai pengusungnya. Alhasil, bukan hanya dirinya yang kehilangan penghargaan, partainya pun kerap dicap miring karenanya. Dalam hati saya selalu bersyukur, karena tidak memilih dirinya pada waktu pilpres 2009 lalu.Bersyukur juga memilih golput ketika pemilihan legislatif dulu. Melihat kepemimpinannya di Kabinet Indonesia Bersatu I membuatku yakin, seyakin-yakinnya untuk tak lagi mendukungnya sebagai presiden di periode 2009 hingga 2014 ini.

Kini, siapa yang harus disalahkan bila selama ini mereka dibiarkan untuk main hakim sendiri, main segel tempat ibadah orang lain, main ancam, dan menggunakan cara-cara preman dalam menyelesaikan perbedaan?Apa yang salah sehingga organisasi kemasyarakatan yang seharusnya dibangun untuk mensejahterakan umat, malah berubah wujud, menjadi seperti gerombolan yang menakutkan? Bukankah itu tanda bahwa Pemerintah sudah tak lagi berkuasa? Bukankah itu isyarat bahwa polisi kita juga tak dianggap?

Sekarang, beranikah SBY menjawab tantangan FUI terhadap dirinya? Akankah SBY konsisten pada sikapnya untuk membubarkan ormas yang melakukan kekerasan? Atau seperti biasa, kalah lagi karena takut posisinya terancam? Kita lihat saja nanti.(kompas/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *