5 Temuan mencengangkan BPK dalam IHPS semester I 2018


Kemarin, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara dalam laporannya mengatakan, IHPS I 2018 ini merupakan ikhtisar dan 700 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lainnya yang meliputi hasil pemeriksaan atas 652 laporan keuangan, 12 hasil pemeriksaan kinerja, den 36 hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

IHPS I Tahun 2018 juga memuat hasil pemeriksaan investigatif, Penghitungan Kerugian Negara (PKN), dan Pemberian Keterangan Ahli (PKA), serta hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran dana Bantuan Keuangan Partai Politik (Banparpol) dari APBN/APBD.

Selain itu, IHPS I Tahun 2018 menyajikan hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan, pemantauan penyelesaian kerugian negara/daerah, dan pemantauan penanganan temuan yang disampaikan kepada instansi yang berwenang.

Dari hasil pemeriksaan BPK, ditemukan sejumlah hal ‘mengejutkan’. Apa saja? Berikut rangkumannya.

1. BPK temukan 15.773 permasalahan senilai Rp 11,55 T

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 15.773 permasalahan senilai Rp 11,55 triliun dalam pemeriksaan selama semester I-2018. Permasalahan ini meliputi kelemahan sistem pengendalian intern (SP1), ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 10,06 triliun, serta permasalahan ketidakhematen ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 1,49 triliun.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, menjelaskan bahwa permasalahan ketidakpatuhan mengakibatkan kerugian senilai Rp 2,34 triliun, potensi kerugian senilai Rp 1,03 triliun, serta kekurangan penerimaan senilai Rp 6,69 triliun. Terhadap masalah ketidakpatuhan tersebut pada saat pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan Rp 676,15 miliar.

“Permasalahan ketidakpatuhan tersebut antara lain penambahan pagu anggaran subsidi listrik 2017 sebesar Rp 5,22 triliun tidak sesuai dengan UU APBN-P dan tidak berdasarkan penimbangan yang memadai,” ujar Moermahadi.

Permasalahan lain adalah kekurangan volume pekerjaan pada 63 Kementerian Lembaga (KL) senilai Rp 149,48 miliar, serta di 475 pemda senilai Rp 547,96 miliar. Kemudian, aset yang dikuasai pihak lain pada 12 KL senilai Rp 233,84 miliar, serta pada 64 pemda senilai Rp 39.39 miliar. Lalu denda keterlambatan pekerjaan yang belum dipungut/diterima senilai Rp 128,38 miliar pada 45 KL dan senilai Rp 217,95 miliar pada 305 pemda.

2. Program pengentasan impor Kementan tak efektif

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangan Kementerian Pertanian 2017. Dalam laporan tersebut, BPK menyebut program peningkatan produksi dan nilai tambah hortikultura untuk mendukung stabilitas harga dan penurunan impor 2014 hingga semester-I 2017 belum efektif.

“Program peningkatan produksi dan nilai tambah hortikultura khusus komoditas cabai, bawang, dan buah-buahan untuk mendukung stabilitas harga dan penurunan impor produk hortikultura tahun 2014-semester I 2017 belum sepenuhnya efektif,” ujar Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara.

Kesimpulan tersebut didasarkan atas hasil pemeriksaan antara lain pada perencanaan produksi cabai dan bawang pada Direktorat Jenderal Hortikultura yang belum memadai. Penetapan angka target produksi dinilai belum didukung dengan data dan informasi yang valid serta dapat dipertanggungjawabkan.

“Akibatnya, target perencanaan secara nasional berpotensi tidak dapat tercapai, pelaksanaan kegiatan berpotensi tidak terarah untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai serta permasalahan nasional terkait dengan komoditas cabai, bawang, dan buah berpotensi tidak dapat diselesaikan dengan kegiatan kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura,” paparnya.

BPK juga menemukan, manajemen pola tanam untuk mewujudkan kestabilan produksi cabai dan bawang belum optimal. Produksi aneka cabai dan bawang merah dari tahun 2014 sampai 2016 sebagian besar telah mencapai target produksi yang ditetapkan dalam Renstra Direktorat Jenderal Hortikultura dan revisinya serta prognosa kebutuhan nasional tetapi belum stabil sepanjang tahun.

“Kebijakan manajemen pola tanam yang disusun oleh Direktorat Jenderal Hortikultura untuk menjaga kestabilan produksi belum berhasil dan belum dapat diterapkan di daerah. Akibatnya, terdapat potensi ketidakstabilan harga karena ketidakstabilan produksi,” jelasnya.

Terakhir, BPK juga menemukan kegiatan pengembangan buah lokal yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Hortikultura belum dapat menggantikan kebutuhan buah impor. Impor buah ke Indonesia cukup besar di antaranya terdapat impor buah jeruk pada waktu yang tidak diperbolehkan yaitu pada masa panen buah lokal.

“Akibatnya, pencapaian program pemerintah tidak dapat terukur dan berkelanjutan dalam rangka penganekaragaman buah-buahan.”

3. Kementerian Menteri Susi kembali dapat opini disclaimer

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali mendapat opini Tidak Menyatakan Pendapat atau disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk laporan keuangan 2017. Ini merupakan kedua kalinya setelah sebelumnya pada 2016 KKP mendapat opini yang sama.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Moermahadi Soerja Djanegara berharap kementerian yang mendapat opini disclaimer seperti KKP dapat memperbaiki pengelolaan keuangan. Sehingga, ke depan seluruh kementerian dapat memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

“Kan tadi terkait laporan keuangan dari tahun ke tahun kan meningkat. Ada beberapa yang masih Wajar Dengan Pengecualian (WDP), beberapa yang disclaimer, diperbaiki,” ujar Moermahadi.

Moermahadi membantah, KKP tidak mengindahkan rekomendasi pihaknya dalam audit laporan keuangan pada 2016. Menurutnya, dari rekomendasi yang disampaikan beberapa memang belum diselesaikan oleh KKP.

“Ada beberapa rekomendasi yang belum selesai. Tidak dicuekin (hasil laporan pemeriksaan keuangan 2016). Memang cuek-cuekan? Tidak lah. Hanya kita ingin semua bisa mengikuti tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs),” jelasnya.

4. Perjalanan dinas PNS masih timbulkan kerugian hingga Rp 22,33 M

 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian atau Lembaga Negara (LKKL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN). Dalam laporannya BPK menyoroti biaya perjalanan dinas ganda dan/atau tidak sesuai ketentuan senilai Rp 22,33 miliar pada 51 K/L.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mencontohkan, pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas pada Kementerian Pertahanan dan TNI senilai Rp 6,10 miliar yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Antara lain adanya selisih harga antara bukti pertanggungjawaban dan bukti yang dikeluarkan oleh penyedia jasa.

“Antara lain adanya selisih harga antara bukti pertanggungjawaban dan bukti yang dikeluarkan oleh penyedia jasa serta nama dan tujuan perjalanan dinas berbeda engan dengan bukti yang dikeluarkan oleh penyedia,” ujar Moermahadi.

Kedua, kelebihan pembayaran biaya perjalanan dinas senilai Rp 1,71 miliar ditemukan pada Kemenristekdikti antara lain, perjalanan dinas luar negeri melebihi standar yang ditetapkan senilai Rp 751,24 juta. Ada juga pemahalan perjalanan dinas luar negeri senilai Rp 816,53 juta antara lain pada pengiriman delegasi Indonesia pada The 29th Summer Universiade.

Ketiga, kelebihan pembayaran atas biaya perjalanan dinas senilai Rp 1,71 milar pada Bawaslu, antara lain pembayaran uang saku perjalanan dinas serta realisasi dan pertanggungjawaban biaya akomodasi dan transport melebihi yang sesuai kenyataan.

“Sementara itu, permasalahan biaya perjalanan dinas ganda dan atau melebihi ketentuan juga terjadi pada 48 K/L lainnya senilai Rp 12,81 miliar,” jelasnya.

5. OJK disebut berutang pajak Rp 901,1 M

Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara dalam laporannya mengatakan, pihaknya memberikan catatan kepada OJK berkaitan dengan utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp 901,10 miliar belum dilunasi.

Selain itu, OJK juga menyewa gedung dan tidak dimanfaatkan. Adapun gedung yang dimaksud adalah gedung Kantor Menara Merdeka, Jakarta Pusat dengan nilai kontrak sekitar Rp 412,31 miliar namun tidak dimanfaatkan.

“Gedung yang disewa dan telah dibayar Rp 412,31 miliar tapi tidak dimanfaatkan. Utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp 901,1 miliar belum dilunasi,” ujarnya.

Temuan lain pada laporan keuangan OJK adalah penerimaan pungutan 2015-2017 sekitar Rp 493,91 miliar belum diserahkan kepada negara. Untuk itu, BPK merekomendasikan OJK segera menyetorkan pungutan tersebut.

Dalam temuan pemeriksaan, BPK juga menyoroti mengenai penggunaan penerimaan atas pungutan melebihi pagu anggaran sebesar Rp 9,75 miliar. “Untuk itu BPK merekomendasikan OJK menyetorkan penerimaan pungutan sebesar Rp 9,75 miliar kepada negara.” ( Mdk / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *