WCRC Targetkan Action Plan Pengelolaan Terumbu Karang


Pemerintah Indonesia belum melihat urgensi pembentukan task force (satuan tugas/satgas) untuk mengawasi, ataupun mengamankan kondisi terumbu karang dan pengelolaannya di kawasan konservasi perairan. Sebaliknya, KKP hanya menargetkan pencapaian kesepakatan berbagai negara di dunia untuk penyusunan Action Plan (rencana aksi). Pertemuan global pertama didunia terkait pengelolaan terumbu karang, yaitu World Coral Reef Conference (WCRC) 2014 akan diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara (Sulut) tanggal 16 Mei mendatang. Rencananya, 200 peserta dari 100 negara yang mewakili unsur pemerintah, organisasi regional/internasional, LSM (lembaga swadaya masyarakat), para ilmuwan akan hadir. “Target (WCRC) tidak sampai ke sana (task force). Tetapi kami berharap, ada kesepakatan bersama di WCRC untuk terlibat pada komitmen menyusun action plan.Komitmennya dalam rangka pengelolaan terumbu karang berkelanjutan,” Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo mengatakan kepada Harian Nusantara (7/5).
Penyelenggaraan WCRC akan menghasilkan Komunike Manado (Manado Comunique), dengan action plan negara pantai dalam penyelematan ekosistem terumbu karang. Berbagai langkah aksi dilatar-belakangi keprihatinan terhadap kondisi terumbu karang dunia yang terus terdegradasi. “Untuk kondisi di Indonesia, upaya (pengelolaan) kami sudah sangat intensif. Mulai dari pendekatan law enforcement, maupun edukasi, penyuluhan di tingkat masyarakat lokal sudah berjalan. Harapan kami, masyarakat lokal dan nelayan tidak lagi melakukan aktivitas penangkapan ikan yang destruktif.”
Hal yang sama diakui oleh Deputi 1 bidang Koordinasi Lingkungan Hidup dan Kerawanan Sosial, Kantor Menko Kesra, Willem Rampangilei . Pemerintah sudah optimal, bahkan menyelenggarakan kampanye gerakan rehabilitasi satu milyar terumbu karang. Gerakan ini secara simultan juga mengampanyekan penyelamatan lingkungan laut. “Tantangan besar untuk pencegahan (pengrusakan lingkungan), yaitu kegiatan penangkapan ikan dengan bom, racun sianida,” Willem Rampangilei mengatakan kepada Harian Nusantara (6/5).
Willem, sewaktu menjabat sebagai Komandan Utama TNI AL (Lantamal), sempat menggelar patroli rutin di wilayah perairan. Tetapi hal tersebut tidak menjamin sepenuhnya untuk pencegahan pengrusakan terumbu karang. “Saya menggelar patroli saja, masih tetap kecolongan.”
Ia juga bertindak sebagai Komandan Lantamal, berbarengan pada saat penyelenggaraan World Ocean Conference (Konferensi Kelautan Dunia) Mei 2009 di Manado. Pada saat itu, tindakan pengamanan mulai dengan cara soft sampai represif. Cara yang soft, antara lain dengan sosialisasi, edukasi dan penyuluhan. Sementara cara represif, dengan penegakan hukum terhadap pelaku yang merusak lingkungan laut serta terumbu karang. “Ini tantangan buat kami. Masalah lingkungan sangat berkaitan erat dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Sehingga petugas juga memperhatikan hal tersebut.”
Di sisi lain, KKP belum melihat urgensi dari penambahan luasan kawasan konservasi perairan, yakni 10 persen dari keseluruhan luas wilayah laut teritorial. KKP akan terus meningkatkan efektivitas kawasan konservasi, terutama dari aspek ekonomi dan pemberdayaan masyarakat pesisir. “Untuk sementara, kita konsentrasi pada pencapaian target 20 juta hektar dulu. Itu yang dicanangkan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada COP 6 CBD Brasil tahun 2006 yang lalu,” Agus DermawanDirektur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) Ditjen KP3K mengatakan kepada Harian Nusantara (6/5).
 
Presiden SBY menyampaikan inisiatif kerjasama enam negara dalam pengelolaan segitiga terumbu karang (CTI/Coral Triangle Initiatives), komitmen untuk menggandakan target luasan kawasan konservasi menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020. Komitmen ini ditegaskan kembali tahun 2009, juga oleh Presiden SBY dalam World Ocean Conference dan CTI Summit di Manado. Lalu, pengumuman kembali komitmen pencapaian target 20 juta hektar luas kawasan konservasi perairan tersebut pada tahun 2020. “Karena, pencapaian target 20 juta hektar saja, bukan pekerjaan ringan.”
 
KKP optimis, pencapaian target 20 juta hektar tercapai. Tetapi pekerjaan mengelola kawasan membutuhkan berbagai sumber daya. Pengelolaan harus dibarengi dengan infrastruktur, kelembagaan, SDM (sumber daya manusia) yang efektif dan efisien. “Kita harus controlling. Di lapangan, kalau terjadi hal-hal yang mengarah pada pengrusakan laut, kita harus bisa mencegah dari awal.”
Sekarang ini, KKP juga me-reorganisasi struktur untuk pejabat unit pelaksana teknis (UPT). Selama ini, petugas UPT baru setara dengan eselon tiga. KKP juga harus memikirkan berbagai hal lain untuk mencapai target. Satuan tugas harus segera dibentuk, dengan jumlah petugas yang efisien dan mencukupi kebutuhan. Perbandingan pengelolaan kawasan laut dengan daratan jelas berbeda. Untuk daratan, misalkan hutan, 110 petugas sudah ideal untuk mengoptimalkan kegiatan pengawasan satu huta hektar. “Tetapi kalau di laut (kawasan konservasi), kita belum hitung berapa biayanya, jumlah ideal petugas, masih banyak PR kita. Sehingga kita konsentrasi pada target 20 juta hektar saja dulu.”
 
Tetapi angka jumlah biaya yang sudah dikeluarkan sampai tahun 2014, KKP memerlukan dana sekitar 70 juta USD. Jumlah tersebut menutupi kegiatan konservasi sampai tahun 2014, yaitu 15,5 juta hektar. Sementara sisanya (20 – 15,5 = 4,5 juta hektar) masih sedang diupayakan, dengan bantuan dana dari beberapa lembaga donor. Kalau seluruh kawasan konservasi nasional Indonesia sudah mencapai level lima, yaitu kemandirian, Pemerintah otomatis mengurangi bantuan dana dari luar negeri. “Karena urusan laut masih jauh ketinggalan dibanding daratan. Rezim laut baru dimulai sejak KKP berdiri (Desember 1999).”
 
Secara simultan, KKP terus mengoptimasi pemanfaatan pengelolaan kawasan konservasi perairan, dari sisi keekonomian, ketimbang menambah luas wilayah. Pengelolaan kawasan konservasi secara efektif merupakan prioritas dan harus dibarengi dengan kerja keras dan sumber daya. KKP menerapkan Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) sebagai tools. Misalkan, evaluasi terhadap kawasan konservasi Perairan Nasional (KKPN) di Raja Ampat (Papua Barat), Anambas (Kepulauan Riau), Bunaken (Sumatera Utara). KKP terus mengevaluasi sampai sejauh mana kegiatan konservasi efektif dan memberi manfaat. “Level (efektivitas) mulai dari yang terendah sampai tertinggi. Kalau dengan angka, level satu (terendah) sampai lima (tertinggi). Level lima, artinya kawasan konservasi yang sudah mandiri, tidak ada lagi persoalan dengan urusan pendanaan. Kita baru sampai pada tingkat tiga. Pemerintah masih berkutat dengan persoalan, keterbatasan armada kapal pengawas, dana, SDM untuk pengawas dan penyuluh, dan lain sebagainya.”
 
Negara-negara maju sempat mengajukan usulan penambahan luas wilayah kawasan konservasi perairan. Usulannya, yaitu 10 persen dari luas wilayah teritorial laut. Kondisi di Indonesia, wilayah lautnya mencapai sekitar 310 juta hektar. Berarti 10 persen (dari 310 juta hektar), yakni 31 juta hektar yang diusulkan menjadi kawasan konservasi. Tetapi perhitungan KKP, usulan 10 persen harus disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing negara di dunia. Karena negara-negara Eropah, dominan dengan daratan. Sementara kondisi geografis Indonesia, dua pertiga wilayahnya adalah laut. “Kalau negara Eropah, 10 persen (untuk kawasan konservasi), kecil!. Karena negara mereka lebih banyak daratannya. Sementara kondisi kita, 10 persen bisa mencapai 310 juta hektar. Tetapi sekali lagi, kami perlu tekankan, bahwa kami cenderung mengefektifkan (kawasan konservasi) dari sisi keekonomian, bukan menambah luasan.
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *