UUD ‘45 § 28 J (2)


U

UD 1945 Pasal 28.J Ayat 2 oleh para pejuang HAM dipandang sebagai sabotage atas penegakan HAM. Ayat tersebut berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum….”

Rumusan tersebut sudah menyimpang dari ketentuan HAM yang digariskan PBB, yang seharusnya dipatuhi negara kita sebagai anggota PBB dan terutama sebagai bagian dari kemanusiaan universal. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 18 Ayat 3 mengatakan: “Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dikenakan pembatasan sebagaimana diatur dengan undang-undang dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak asasi dan kebebasan orang lain.”

Pembatasan HAM versi Indonesia tidak mencantum faktor “kesehatan”. Itu masih boleh dimaklumi, anggaplah sudah terhisab dalam “keamanan”; walaupun kekebasan kita merokok di tempat umum harus dibatasi meski mereka yang tak merokok di sekitar kita belum menilai asap rokok sebagai gangguan keamanan setara tindakan kriminal, karena merupakan gangguan kesehatan yang sama membawa kematian. Yang tak bisa dimaklumi dari rumusan versi Indonesia itu ialah faktor “nilai-nilai agama”.

Rumusan hasil Amandemen Kedua UUD ‘45 itu dibilang sebagai kebobolan. Fraksi-fraksi yang dominan dalam DPR pada tahun 2000 itu, yang justru dianggap paling menjunjung nasionalisme yang pluralis – yakni PDIP, Golkar dan PKB (dan seyogianya bersama PDKB yang parpol Kristen meski kecil) – dinilai cuma sibuk berebut kekuasaan sehingga tak awas terhadap sabotage itu.

Saya tidak pasti dengan anggapan yang sejauh itu. Tidak yakin kalau ada sekelompok politisi di DPR yang secara sengaja bermuslihat menggolkan rumusan yang menyabot penegakan HAM. Sama juga ketika proses perumusan UU No.39/1999 tentang HAM, yang dalam pasal 23 ayat (2) pun yang menyebut “nilai-nilai agama” sebagai salahsatu faktor ‘pembatasan’ kebebasan warga untuk memiliki pendapat sesuai hati nuraninya.

Yang sebetulnya terjadi hanyalah berpadunya, di satu sisi: niat yang ikhsan untuk mengagungkan agama, dan di lain sisi: ketidakcerdasan bangsa kita dalam diskursus HAM. Bangsa kita, tak terkecuali para politisi di DPR, pejuang hak-hak asasi warga, amat tak terlatih dalam wacana HAM yang sebenar-benarnya. Maklum, selama puluhan tahun di bawah Bung Karno yang menuding HAM sebagai “produk masyarakat Barat yang berfalsafah individualisme-liberalisme”, kemudian puluhan tahun di bawah rezim Jenderal Soeharto yang mencurigai HAM sebagai ancaman bagi “Demokrasi Pancasila” dan kebebasan serta hak-hak politik warga sebagai ancaman terhadap “stabilitas pembangunan”. Padahal demokrasi tak lain buat membangun manusia, dan pembangunan tak lain buat membangun manusia seutuhnya. Dan membangun manusia seutuhnya haruslah menegakkan HAM yang dinamis, HAM yang berkembang terus, HAM yang tak mati. Sehingga tepatlah rumusan dalam penjelasan resmi UU No.39/1999 bahwasanya HAM harus selalu menjadi titik tolak sekaligus tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Lalu mengapa pembatasan HAM itu salah jika berdasar nilai-nilai agama?

Satu, dalam praktik sehari-hari, nilai-nilai agama sulit dipisahkan dari ajaran agama secara keseluruhan, sementara seluruh ajaran agama itu sudah sedemikian rinci. Bukan saja mengatur perilaku kita keluar (berinteraksi dengan orang lain, negara, maupun alam lingkungan), melainkan pula sampai soal-soal di dalam relung-relung terdalam dari batin kita. Nah, hukum negara yang seperti itu jelas mustahil diterapkan tanpa membunuh keunikan kondisi-kondisi obyektif dan historis dari sedemikian banyak ragamnya individu di setiap lingkungan dan masa yang masing-masingnya berbeda. Asas hukum ini sudah diingatkan Terence, pujangga yang hidup 2 abad sebelum Masehi, “Jus summum saepe summa est militia”. Hukum yang paling rinci meliputi segalanya justru tak jarang hanya menjadi ketidakadilan yang paling keras. Dan hukum yang tak adil adalah cacat peradaban!

Dua, ajaran agama yang mana yang hendak dijadikan dasar pembatasan HAM? Bahkan dalam setiap agama terdapat banyak sistem ajaran dari sejumlah aliran, mazhab, dan sekte yang saling berbeda bahkan saling bertentangan antara kelompok yang satu dengan lainnya. Lebih jauh lagi, di dalam setiap mazhab terdapat perbedaan tafsir antara teolog atau pemimpin jemaah yang satu berhadapan dengan teolog atau “penafsir wahyu Tuhan” yang lainnya.

Tiga, akan lebih membingungkan dan buntu lagi bila ajaran agama tertentu dijadikan dasar untuk membatasi HAM berikut kebebasan beragama dari umat agama lain. Membingungkan, buntu dan sangat tak masuk akal, tapi hanya di tataran konseptual dan akal sehat. Sementara dalam praktik menjadi hal yang nyaris rutin di negara-negara yang penguasanya gemar memanfaatkan letupan emosi kelompok mayoritas demi melanggengkan kekuasaannya yang sebetulnya sudah tak legitim karena korup dan gagal mewujudkan kemakmuran merata.

Bupati yang bisa buru-buru menyegel rumah tempat ibadah Jemaat HKBP. Kapolres yang tak disalahkan kendati membiarkan potensi kriminalitas antar kelompok beda agama berkembang pasti. Dan sebagainya. Semua itu adalah fenomena yang niscaya berkembang dalam sistem hukum dengan pembatasan HAM yang keliru. []

Benni E. Matindas, Dosen Filsafat dan Ilmu Sosial Dasar

Penulis buku Negara Sebenarnya

Artikel ini pernah terbit di Majalah NARWASTU PEMBARUAN Jakarta, edisi Oktober 2010, tapi masih aktual selama pasal ybs belum diamandemen.


Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *