Ulasan Buku – Life and Death in Shanghai


Akhirnya dengan hati berat aku kembalikan buku itu ke dalam lemari bersama buku buku lainnya. Perasaan lega bercampur sedih mengarungi emosi, bagaikan datangnya masa perpisahan dengan orang kesayangan

May Swan - Penulis

setelah berjalan bersama di sore hari menelusuri tebing Sungai Elbe pada musim gugur di bulan Oktober.

Buku itu berjudul Life and Death in Shanghai, autobiography, memoire karya Nien Cheng yang pertama diterbitkan pada tahun 1987 di AS. Bukan buku baru. Tapi saya baru selesai membacanya beberapa hari yang lalu. Mulai dari halaman pertama, sudah terkesan kuatnya daya tarik yang memukau. Pembaca tidak akan meletakan buku sebelum selesai membaca seluruhnya. Dan setelah itu, melekat di kenangan, tidak mudah terlupakan.

Nien Cheng dan suami tergolong dari keluarga elit kaya raya pada jaman Tiongkok feudal jauh sebelum berdirinya Republik. Mendapat pendidikan tinggi dari Universitas London dimana mereka bertemu, dan akhirnya menikah. Mereka kembali ke tanahair, dan suaminya mendapat posisi

Nien Cheng - penulis buku Life and Death in Shanghai

sebagai diplomatic officer dalam pemerintahan Kuomintang pada tahun 1939. Ketika tentara Komunis menduduki Shanghai pada tahun 1949, suaminya berkedudukan sebagai Director of the Shanghai office pada Kementrian Luar Negeri pada pemerintah Kuomintang. Dalam perkembangan seterusnya, kedudukan suaminya diambil alih oleh Zhang Hanfu yang mewakili pemerintah baru Komunis. Zhang menawarkan agar suaminya tetap bergabung dengan pemerintahan baru selama masa transisi, dimana kemampuan dan pengalamannya sangat diperlukan. Atas pertimbangan tersebut, suaminya diundang menjabat sebagai Penasehat Urusan Luar Negeri pada kantor Walikota Shanghai yang ketika itu dipimpin oleh Marshal Chen Yi. Undangan itu diterima dengan baik, berdasarkan kesadaran jiwa nasionalis,  ingin turut berbakti mendirikan Tiongkok Baru dimana perjoangan ditujukan demi membebaskan rakyat dari kemiskinan. Pandangan idealistic yang umum terdapat pada para intelek pada masanya.

Setahun sesudah menduduki jabatan, suaminya diberi izin meninggalkan posisi dalam pemerintahan untuk menerima undangan dari Shell International Petroleum Company  sebagai General Manager kantor Shell di Shanghai. Pada masa itu, Shell bersama dengan sejumlah kecil perusahaan Inggeris lainnya yang berskala internasional seperti: Imperial Chemical Industries, Hong Kong — Shanghai Banking Corporation berupaya tetap membuka kantornya di Shanghai. Karena Shell adalah satu satunya kantor perusahaan minyak besar yang bersedia tetap berkantor di Tiongkok setelah Pembebasan, para penguasa Partai Komunis yang memerlukan hubungan dagang dengan dunia Barat, memberi perlakuan yang sangat baik kepada Nien Cheng dan suaminya. Izin suaminya bertugas sebagai General Manager pada kantor Shell di Shanghai ditandatangani oleh tidak kurang dari Premiere Chou sendiri yang terkenak bijak dan banyak disenangi masyarakat.

Pada tahun 1957 suaminya meninggal karena kanker. Seorang warga Inggeris mengambil alih kedudukan yang ditinggalkan oleh suaminya. Selanjutnya Shell minta Nien Cheng bekerja pada perusahaan sebagai Adviser to Management. Permintaan Shell tersebut diterima oleh Nien Cheng yang sama seperti suaminya ingin ikut berbakti dalam mendirikan Tiongkok Baru. Sementara semua kejadian dalam rangka pengetahuan dan restu kantor pemerintah Komunis Shanghai setempat.

Situasi di Tiongkok sesudah 1949, tidak sedamai yang terlihat oleh umum. Di bawah permukaan yang menunjukan kesatuan Partai terjadi pelbagai intrik perbutan kekuasaan. Mao Zedong mulai merasa terancam oleh kekuatan kawan seperjoangannya seperti Liu Shaoqi, Chou En Lai dan Deng Shiau Peng yang mendapat dukungan masyarakat karena mengambil jalan lebih moderat. Sementara Mao memilih kebijakan ekonomi keras seperti The Great Leap Forward yang terbukti sebuah kegagalan besar mengakibatkan jutaan petani mati kelaparan. Kegagalan ini membuat Mao lebih merasa tidak aman.

Pada pertengahan tahun 1966 sekumpulan Red Guards dengan mengajukan buku Mao Zedong Thought menerobos masuk kerumah Nien Cheng membuat kekacauan, mengeji dan mengutuknya sebagai Capitalist-Roader yang bekerjasama dengan kekuasaan luar negeri demi menjatuhkan pimpinan Komunis Tiongkok di bawah pimpinan Mao.

Revolusi Kebudayaan di Tiongkok

Kejadian yang bersamaan bahkan jauh lebih kejam terjadi dimana-mana, terutama di kota kota besar. Revolusi Kebudayaan yang di-initiative oleh Mao demi memukul kekuatan lawannya sengaja dilepaskan bagaikan air bah tsunami menghancurkan kehidupan normal di Tiongkok. Dalam keadaan kacau balau begini, Nean Cheng ditangkap atas tuduhan berhianat terhadap Negara, dan ditahan di Number One Detention House hingga dilepaskan pada tahun 1972.

Dalam tulisannya Nean Cheng banyak menceritakan siksaan batin dan fisik yang dialaminya selama dalam tahanan. Siksaan yang melampau batas perikemanusiaan dicatat secara menditil.

Yang membuat buku ini lain dari yang lain dalam mencatat pengalaman tragis yang menimpa dirinya dalam tahanan, ia telah berhasil dengan keteguhan batin dan kecerdasan pikiran mencari tahu asal mula gejala yang bergejolak di Tiongkok pada masa sebelum dan sesudah terjadinya Revolusi Kebudayaan. Kondisi sosial politik dan ciri masyarakat Tiongkok yang masih bertadang pada budaya feudal, budaya yang menganjurkan

Revolusi Kebudayaan di Tiongkok

total submission terhadap para petinggi. Budaya yang tidak menganjurkan berpikir secara individual. Sebaliknya individual thinking dianggap sebagai berhianat terhadap Revolusi Kebudayaan. Dan ciri budaya ini telah dipergunakan oleh Mao ketika membangun kekuatan Revolusi Budaya yang selanjutnya diambil alih oleh The Gang of Four. Panggilan yang disambut oleh jutaan manusia, terlebih pula anak muda yang tidak sabar menunjukan dirinya sebagai revolusioner yang digembar gemborkan.

Pada akhirnya, pengalaman pahit, sengsara yang dialami Nien Cheng dan berjuta rakyat Tiongkok lainnya pada masa itu pada hakekatnya berupa korban dari pertarungan pada pucuk pimpinan, power struggle dan social engineering yang dilakukan sebagai experiment oleh pimpinan yang tidak becus, namun kejam, tidak peduli dengan risiko korban yang jatuh bertaburan.

Life and Death in Shanghai bukan buku yang anti Tiongkok, tapi anti kekerasan, kebrutalan dan kebodohan. Rasa cinta tanahair tetap terkesan kental, terlebih lagi ketika Nean Cheng melukiskan perjalanan terakhir meninggalkan Shanghai berlayar menuju ke luar negeri. (IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *