Harapan saya akan hadirnya partai politik dominan dalam pemilu tahun ini (baca tulisan saya
sebelumnya) tidak terjadi. PDI-P yang mengusung Jokowi sebagai calon presiden gagal memperoleh 20%
suara yang masuk dalam pemilu legislatif, angka minimum bagi sebuah partai untuk mengajukan calon
presidennya sendiri tanpa perlu koalisi dengan partai lain. Sehingga partai banteng moncong putih ini
harus berkoalisi dengan partai lain agar dapat mengusung capresnya tersebut.
Kekurangan suara ini dengan cepat ditanggulangi. Hanya dalam hitungan hari PDI-P telah
berhasil membentuk koalisi dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan memapankan posisi Jokowi
sebagai calon presiden usungan kedua partai ini. Hebatnya, menurut cerita yang dimuat di media massa,
Nasdem yang diajak koalisi tidak meminta jatah kursi menteri ke PDI-P. Apabila hal ini terbukti benar
nantinya, Nasdem bisa meraup tambahan suara yang signifikan nanti di Pemilu legislatif tahun 2019.
Pemilu legislatif tahun 2014 ini melahirkan beberapa kejutan. Partai Demokrat, partai yang
berkuasa saat ini, memang diprediksi menurun jumlah suaranya, tapi tidak semerosot ini (2009: hampir
21%, 2014: hampir 10%). Gerindra dengan suara yang hanya sekitar 4,5% di tahun 2009, suara yang
diperolehnya melonjak menjadi 11,80% di tahun 2014. Dan kejutan terbesarnya adalah keberhasilan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menggandakan suaranya dari 4,9% di tahun 2009 menjadi 9,2%
di tahun 2014.
Perolehan suara PKB merupakan kejutan terbesar karena partai ini sebenarnya tidak mengusung
satu pun nama yang diperkirakan bisa menjadi calon presiden kuat di pemilu presiden bulan Juli
mendatang. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang mengusung nama Wiranto, purnawirawan jenderal
dan mantan panglima ABRI, ternyata hanya memperoleh 5,4% suara, jauh di bawah perolehan suara PKB
yang menonjol karena merestui pencapresan Rhoma Irama dengan kendaraan politik partai tersebut.
Dari angka-angka hasil hitung cepat pemilu legislatif ini (jumlah suara pastinya baru akan
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada awal Mei nanti) ada satu hal menonjol yang bisa
disimpulkan, yaitu bahwa rakyat Indonesia sudah pada tahap yang sangat antipati terhadap calon-calon
anggota DPR. Calon-calon legislator (caleg) ini dianggap sama semua kualitasnya, tidak peduli dari
partai apa, berjenis kelamin apa, berusia berapa, berasal dari suku apa atau keturunan dari keluarga
mana. Semuanya dianggap sebagai caleg yang tidak berkompeten dan berpotensi besar untuk melakukan
korupsi, baik itu korupsi materi maupun kepercayaan rakyat.
Lihat saja, PDI-P yang mengusung Jokowi, calon presiden RI terkuat tahun ini menurut berbagai
survey, tidak berhasil memperoleh 20% suara dalam pemilu legislatif. Artinya, apa yang saya alami
seperti yang saya catat dalam tulisan saya sebelumnya, ternyata benar adanya: bahwa meski rakyat
percaya Jokowi merupakan pilihan terbaik untuk menjadi Presiden RI tahun 2014 ini (sekali lagi, menurut
survey yang ada) rakyat kebanyakan tidak mempercayai calon-calon legislator dari partai banteng
moncong putih ini. Rakyat tidak mengenal mayoritas caleg yang diusung oleh PDI-P karena mereka
maju bukan melalui jalur berkarya di tengah-tengah masyarakat dulu, namun lewat jalur memotong jalan
dengan membeli posisi mereka di partai.
Pandangan ini terjadi juga di partai-partai lainnya. Sehingga tidak ada satu pun calon legislatif
yang menonjol yang mana rakyat bisa percaya bahwa suara mereka benar-benar akan diperjuangkan
di Senayan. Alhasil, rakyat menyama-ratakan semua caleg ini: apa pun pilihannya, hasilnya nanti
tetap sama saja. Caleg yang nantinya menjadi anggota DPR bakal hanya menghambur-hamburkan
uang negara, bekerja sama untuk memperoleh keuntungan pribadi bagi diri mereka sendiri, dan tidak
akan menghasilkan karya apa pun yang dituntut dari badan legislatif (apalagi menuntut karya yang
membanggakan bangsa dan negara!).
Jalan pemikiran seperti ini juga terjadi di berbagai sudut negeri yang perekonomian
masyarakatnya lemah dan serba kekurangan. Oleh karenanya rakyat yang miskin ini kemudian menjual
suaranya bagi caleg-caleg yang bersedia membayar dengan jumlah uang tertentu. Hal ini banyak terjadi
dan kemungkinan sudah menjadi kebiasaan di banyak tempat.
[Type text]
Apabila pembaca merasa sedih membaca cerita tentang rakyat yang telah apatis dengan para
legislator yang bertugas membuat undang-undang yang mengatur rakyat itu sendiri, tunggu saja dengan
berbagai drama dan tingkah-polah para anggota DPR ini yang lebih seru dibandingkan sinetron Korea.
Apa yang telah menjadi “prestasi” DPR di periode sebelumnya tidak akan mendapatkan perbaikan yang
signifikan di periode 2014-2019 ini. Hasil Pemilu Legislatif telah memperkuat perkiraan ini: lebih dari
30% rakyat yang berhak memilih menjadi golput!
Jadi ternyata pemenang pemilu legislatif tahun 2014 ini bukanlah PDI-P. Pemenangnya adalah
golongan putih.
Siapa pun presidennya nanti, ia akan menghadapi DPR yang inkompeten, yang semua platform
politiknya ditentukan melalui koalisi politik yang rapuh, dan yang ditolak oleh 30% rakyat Indonesia di
awal masa tugasnya. Jadi Indonesia lima tahun ke depan kemungkinan besar mesti bergantung lagi pada
sosok kekuasaan eksekutif tanpa pengawas (DPR) yang mumpuni. Kondisi ini sungguh sangat riskan dan
sangat menyedihkan. Tapi itulah harga yang mesti dibayar oleh bangsa dan negara ini karena membiarkan
pembodohan politik secara terus-menerus pada rakyatnya demi kekuasaan belaka. (RO – Twitter:
@iamwongkampung)
Tolong saat Pilpres jangan Golput karena pemoimpinnya jelas dan merakyat seperti Capres Jokowi
semoga Rakyat Indonesia Tidak Salah Pilih karena Jokowi itu sangat Merakyat dan akan Keja Keras untuk Rakyat dan Negara Indonesia kedepannya