Sketsa: Rosihan Sakit dan Penyakit Wartawan


Wartawan senior Rosihan Anwar kini dirawat di rumah sakit. Usia telah membuat fsisiknya kini renta. Namun integritas dan kepribadian serta kegigihannya membaca, tauladan bagi  semua wartawan, juga bagi masyarakat luas.
Di menjelang pukul 06 pagi  pada 11 April 2011. Bubu, cocker spaniel berbulu coklat, anjing peliharaan kami seakan paham bahwa tuannya ingin mampir di rumah nomor 13, Jl Surabaya, Jakarta Pusat. Dia menuntun saya menghampiri rumah kediaman Rosihan Anwar, wartawan senior, kini sedang  terbaring sakit di RS Harapan Kita.
Tak terasa, sudah lima hari ini kami tinggal bertetangga berjarak tiga rumah saja. Sebuah palem botol dua kali tinggi orang dewasa, batangnya tak lagi gemuk ke tengah. Tujuh daun di bagian atas mengkerut ciut. Di bawah pelepah kecil, butiran buah, bakal palem baru, bermunculan. Seakan  mewartakan bahwa generasi baru harus mengambil peran melanjutkan hidup dan kehidupan.
Saya bertanya kepada seorang pemuda berpakaian batik printing merah putih tampak merawat taman kediaman Rosihan.  Apakah Pak Rosihan masih sakit? “Masih Mas. Ia masih  dirawat di rumah sakit Harapan Kita.” “Sudah berangsur membaik.”
Majalah TEMPO 14-20 Maret menulis Memoar tentang Rosihan.  Di wawancara itu terlihat sekali bagaimana Rosihan kini sudah sulit berbicara panjang.   Beberapa kali wawancara TEMPO, harus terhenti, karena Rosihan harus menghirup oksigen selalu tersedia di kediamannya. Di saat membaca TEMPO, ingatan saya melayang kepada wartawan senior TEMPO, almarhum Budiman S. Hartoyo.  Sosok Budiman berbadan kecil, seukuran badan Rosihan, lebih muda, sudah duluan berpulang pada 11 Maret 2010 lalu.
Rosihan yang acap menulis obituari tidak sempat menuliskan sosok Budiman. Saya menulis Sketsanya. Saya masih ingat ketika enam tahun lalu berdua Budiman sowan ke Rosihan.  Sebagai pendiri Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi), Budiman, mengenalkan saya yang menjabat Ketua Umum kala itu.
Kami berbincang tentang penyakit wartawan di era reformasi kini. Kepada dua orang sosok senior itu, saya menghinakan diri saya suka salah menulis ejaan. Terkadang di menyatakan tempat masih saya tulis dimuka, seharusnya di muka. Lebih parah lagi,  kerendahan hati membaca, sebelum menulis juga kurang. Akibatnya, menulis menjadi datar, pengetahuan menjadi mediocare. Di era digital pula,  berita instan menggila. Akibatnya kemampuan reportase, khususnya dalam mendeskripsi, vital mengantarkan seseorang menjadi penulis feature bahkan literair handal, bukan lagi syarat mutlak.  Kenyataan ini menjadi suatu pengingkaran; mengingat medium online mampu menampung beribu kata dalam satu naskah; dapat sebagai ujian menulis  penulis, agar pembaca berminat  terus mengikuti tulisan hingga habis. Belum lagi kemampuan berbahasa asing. Sosok seperti Rosihan menguasai lebih dari tiga bahasa asing. Ini terjadi akibat  sistem pendidikan di jaman Belanda, mengharuskan siswa menguasai lebih dari satu bahasa asing.
Selain Belanda, Inggris, Jerman, bahkan latin. Kini bahasa Inggris saja saya pah-poh. Apatah pula berbahasa Belanda, Jerman, Perancis. Sehingga berdiri di depan rumah Rosihan pagi ini: saya seakan dicibirkan oleh palem botol yang daunnya dikibas angin. Wartawan juga sosok gaul.  Dengan pergaulan, mengantarkannya memiliki wisdom tentang kehidupan; karena ia berada di masyarakat dari berbagai lapisan.
Wartawan harus mencium anyir got butek di Jl. Surabaya, menuliskannya, bertanya ke Pemda DKI, mengapa hingga kini got-got di Jakarta mampet?   Bukankah surga di mana air mengalir? Bertanya adalah satu tugas wartawan.  Kerendahan hati bertanya, mengantarkan kepada pengumpulan fakta, data, cerita apa adanya. Masih ingat obrolan kami bertiga  bagaimana wartawan harus tetap menjaga integritasnya, tidak menerima uang dari sumber berita.  Baik amplop apalagi transfer ke rekening. “Yang lebih memprihatinkan saya, wartawan kini menganut jurnalisme ludah,” ujar Budiman kala itu “Artinya tidak melakukan verifikasi, verifikasi dan verifikasi, asal kutip.” Di ranah wawasan bermasalah.  Kerja instan.
Menerima angpao menjadi target: itulah setidaknya kongklusi  penyakit wartawan yang sempat kami bahas.  Hari ini, penyakit itu  tidak kian berkurang. Di banyak daerah wartawan sudah menjadi bagian kekuasaan. Sebaliknya  jika mereka berbuat dengan idealisme pers, fisik wartawan, berhadapan dengan ancaman kematian. Tuntutan hidup; keadaan lapangan; membuat wartawan sejati seperti sosok Rosihan, bagaikan barang langka. Entah karena kelangkaan itulah, agaknya, Rosihan bersikukuh membela para pedagang barang antik di sepanjang ruas Jl Surabaya agar tidak di gusur Pemda. Walaupun kekerapatan warga, umumnya pendatang baru, pernah berencana mengusulkan menggusur pedagang barang antik  kawasan itu, agar property mereka bernilai lebih tinggi harganya.
Saya pernah menulis Sketsa mendukung sikap Rosihan  terhadap pedagang barang antik itu. Di ranah kehidupan kini  segalanya ditakar dengan materi, kemuliaan hidup, kabajikan, wisdom seakan tak bernilai. Hingga pada kata wisdom itulah  jika kawan-kawan bertanya soal mengapa kalimat pejabat publik termulia di negara, seperti kalimat Ketua DPR Marzukie  Ali, acap melukai hati warga yang mendengar? Saya dengan sederhana menjawab: Bapak ketua DPR itu sosok yang pintar bersekolah, hingga master bahkan kini  doktor (atau paling tidak mempersiapkan gelar doktor). Ia anak orang berada. Bisnis  pribadinya pun sempat maju. Lalu ia masuk partai politik. Tiada yang kurang. Lantas di mana minornya? Di bahasa saya, Ketua DPR itu kurang gaul. Ia tidak acap berdiskusi dan merasakan variasi dan manca-ragam ranah kehidupan. Ia belum pernah merasakan bagaimana sulitnya mencari seliter beras untuk dimakan hari ini. Jika ranah kehidupannya, cuma kampus, rumah, lalu mutar begitu rutin, akibatnya hidup  kurang berwarna.
Sehingga giliran beropini, kehilangan rasa, apakah kata dan kalimat yang diucapkan pantas dan patut. Di sinilah inti persolan. Sehingga bagi Rosihan, sosok wartawan adalah makhluk yang hidup dan  berkehidupan  sangat berwarna.  “Bila tidak bagaimana pula dia mewarnai kehidupan publik menuju meningkatnya mutu peradaban?” tegas Rosihan.
Makaketika membaca TEMPO yang memuat memoarnya, saya menyimak penuturannya ketika 7 Juli 1949 menjemput Panglima Besar Soedirman bersama Letkol Soeharto. Ia deskripsikan bagaimana perjalanan bersama Land Rover yang
disetir Soeharto yang diam sepanjang perjalanan.  Seingat Rosihan, Soeharto hanya mengucapkan kata, “Ayuk minum degan.” Soeharto menawarkannya minum kelapa muda. Yang tidak dituliskan TEMPO ihwal itu adalah, bagaimana penuturan Rosihan di bukunya, bahwa, sesampai di Jogja, ia melihat sosok pejabat seperti Soeharto sudah berbaju putih baru, sementara  Soedirman turun dari gerilya dengan baju yang sama. Sama degan ketika dia berangkat bergerilya.
Maka sesuai dengan penuturan cucu pertama Soedirman, Ganang Soedirman kepada saya, Rosihan pernah menulis bahwa, “Panglima Soedirman sosok yang jujur pada sejarah. Ia pulang dan pergi dengan baju yang sama.” Maksud  kalimat Rosihan itu adalah, Panglima Besar itu tetap sosok manusia biasa, Jenderal rakyat yang merakyat. Hingga kalimat inilah saya menilai, sikap kerakyatan itu yang kini seakan hilang di lintas ranah birokrasi dan trias politika kita.
Sampai pada kongklusi ini, Bubu anjing tua kami, barulah  beranjak dari pagar besi abu-abu kediaman Rosihan, sosok langka sosialis, peduli pada human dignity.  Dalam skala kepedulian sosial itu, secara fisik  kini rasanya saya kian dekat saja dengan Rosihan.
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *