Selamat Pagi Batavia!


Saat matahari terbit di Batavia

Berbeda dengan perjalanan antarbenua masa kini, penumpang kapal laut yang berlayar selama hampir 120 hari dari Eropa ke Batavia mungkin tidak mengalami jet lag.

Dalam buku hariannya (Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 van Dr Strehler. Haarlem: de Wed. A. Lossjes pz. 1833), Dr Strehler sama sekali tidak menyinggung hal itu.

Sesampai di Batavia dia menginap di rumah kenalannya, seorang lelaki Belanda yang beristri perempuan cantik keturunan Belanda-Indonesia. Pagi-pagi pukul 5 dia sudah dibangunkan oleh suara burung-burung mencicit dari halaman. Tuan rumah dan tamu-tamunya keluar dari kamar tidur berpakaian sarung dan kebaya tidur.

Sambil menghirup udara segar di serambi, tuan rumah beberapa kali memanggil: “Sapa di sitoe?” sampai seorang budak, lelaki atau perempuan datang sembari mengucek mata yang masih mengantuk.

“Minta kopi, teh, tjokola!” Budak itu tergesa-gesa pergi ke dapur dan segera pula kembali membawa minuman yang dikehendaki sang tuan dan nyonya. Sebelum kembali menghilang, budak itu membantu tuannya menyalakan sebatang cerutu yang gendut.

Setelah mandi dan berpakaian sarung-kebaya yang bersih, semua berkumpul lagi di ruang makan. Makanan utama yang dihidangkan adalah nasi, kari, sambal, ikan goreng, daging babi dan sapi, bistik dan telur. Selain itu, masih juga tersedia telur ikan (trubuk) dan dingding.

Meja makan yang penuh dengan aneka lauk-pauk untuk menemani nasi sepiring inilah yang kemudian disebut rijsttafel (harfiah: meja nasi) oleh orang Belanda. Untuk membantu menelan makanan yang sering kali terdiri dari 12 macam lauk-pauk ini disediakan teh, kopi, anggur merah yang dicampur dengan air putih sedikit atau bir.

Kini tiba saatnya untuk berpakaian. Sarung dan kebaya adalah pakaian untuk di rumah. Untuk ke luar rumah orang mengenakan pakaian model Eropa. Tuan rumah yang sudah lama sekali tinggal di Hindia-Belanda biasanya berpakaian dibantu oleh dua orang pembantu atau budak. Bila seorang lelaki belum menikah, dia dibantu oleh pembantu perempuan; bila ia sudah menikah, pembantu lelakilah yang akan membantunya.

Alangkah rumitnya proses berpakaian itu! Pertama, kebaya dibuka dan kemeja yang rapi dipakaikan; lalu, tuan Belanda itu menjulurkan kakinya supaya kaus kaki dan celana dalamnya dapat dipasangkan. Lalu, sarung yang tadi dipakai dapat dibiarkan jatuh di lantai. Kaki kanan dan kiri kemudian disorongkan secara hati-hati ke dalam pantalon putih yang sudah disetrika dengan lipatan tajam di bagian depannya.

Sang tuan menyelipkan kakinya ke dalam sepatu kulitnya yang mengilap dan memanjangkan lehernya sedikit supaya pembantunya dapat mengikatkan dasi perlente yang serasi dengan stelan jas putihnya. Topi di kepala dan cerutu di bibir… selesailah sudah dandanan Toean Besar itu!

(Frieda Amran, antropolog UI, tinggal di Belanda)
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *