Resensi Film- Anne Van Jogya


Hari Selasa , tanggal. 1 Juni yang lalu., saya dapatkan telpon dari bu Nunung, KJRI-HK (Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk Hong Kong) Public Affairs and Socio-Cultural, disamping memberi tahu KJRI sedang menyelenggarakan Pekan Film Indonesia, juga menawarkan saya kalau mau nonton. Bahkan saya diperkenankan untuk mengajak beberapa kawan. Haaha, sungguh dapatkan rejeki. Segera saya terima tawaran yang baik hati dari bu Nunung ini. Selama 34 tahun hidup di HK, untuk pertama kali saya dapatkan undangan nonton film Indonesia. Jadi, bagi saya meninggalkan Indonesia 45 tahun yang lalu, tidak lagi pernah lihat film Indonesia lagi. Terimakasih saya ucapkan pada bu Nunung, dan, … tentunya rejeki ini akan saya timpakan juga pada beberapa kawan di HK yang tentunya juga seperti saya, puluhan tahun tidak pernah melihat film Indonesia lagi.

Saya diberi 2 pilihan film, yang pertama tgl. 3 Juni “Anne Van Jogya” dan kedua, tanggal. 4 Juni “Heartbreak.Com”. Dalam pemikiran saya setelah melihat keterangan singkat isi cerita, ternyata kedua film yang ditawarkan adalah masalah cinta muda-mudi. Bedanya, “Anne Van Jogya” kelebihan masalah ras. Inilah yang mendorong saya ambil putusan untuk pilih “Anne Van Jogya” saja! Saya ingin tahu bagaimana Indonesia yang sudah puluhan tahun saya tinggalkan ini memecahkan problem RASIAL yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat.

Entah bagaimana kesan kawan-kawan yang pernah nonton film “Anne Van Jogya” ini, tapi bagi yang belum pernah nonton, sebelum saya ajukan komentar atau pendapat, baik juga kalau saya lebih dahulu ceritakan secara ringkas jalan cerita film ini:

Kisah Anne Yuwantoro yang katanya terjadi sekitar tahun 1960, anak dari seorang bapak turunan

Yogja street scene

ningrat Keraton Jogya dengan ibu seorang Belanda. Kakek Anne tentu saja berkeras menentang perkawinan putranya dengan gadis Belanda. Tapi yang namanya cinta muda-mudi, tentu saja tidak bisa dilarang. Perkawinan orang tua Anne dilangsungkan tanpa restu Kakek-Nenek nya. Dengan demikian Anne sekalipun lahir dan dibesarkan di Jogya juga, tapi sampai dewasa tidak mengetahui apalagi dapatkan kasih sayang dari kakek-nenek.

Satu saat, ayahnya yang bekerja di perkebunan dalam perjalanan pulang, hujan lebat dengan geledek menyambar, terjadi kecelakaan dan meninggal dunia. Di upacara pemakaman ayahnya itulah, Anne untuk pertama kali menemui dan berkenalan dengan kakek-neneknya. Setelah ayahnya meninggal, membuat kehidupan keluarga Anne terjadi perubahan drastis. Ibunya yang seorang Belanda disingkirkan dalam usaha perkebunan ayahnya, yang ternyata adalah warisan keluarga ningrat mereka. Keluarga masih sulit menerima seorang Belanda. Bahkan akhirnya Anne dan ibunya harus keluar dari rumah dimana mereka tinggal. Terpaksa, Anne bersama ibu dan mbok yang setia pindah ke Solo. Kehidupan dengan sendirinya makin sulit, dan tidak lama ibu-nya jatuh sakit dan meninggal dunia.

Yogja street scene

Anne ternyata mewarisi budaya Jawa secara baik, khususnya dalam pembatikan. Untuk meneruskan hidup, Anne bersama mbok yang setia, membuka usaha batik. Usaha batik Anne kemudian bisa dapatkan kemajuan baik, karena ada pemesan pak Suryo dari Jogya, yang ternyata dibalik itu adalah mas Satrio, pacar Anne dimasa sekolah di Jogya. Singkat kata, itu mas Satrio yang juga turunan ningrat, akan menikah dengan gadis yang ditentukan orang-tuanya, tapi cintanya pada Anne belum juga pupus. Terakhir, Satrio secara diam-diam memesan batik kerjaan tangan Anne untuk upacara pernikahannya. Sedang Anne yang juga masih mencintai Satrio, setelah mengetahui pesanan batik untuk pernikahan itu adalah pesanan Satrio, sekalipun mengidap penyakit, Anne tetap memaksakan diri membatik untuk menyelesaikan pesanan istimewa itu.

Begitulah, setelah menyelesaikan tugas membatik pesanan mas Satrio dan pernikahan

Yogja street scene

dilangsungkan, film diakhiri dengan Anne menggeletak jatuh kelantai, meninggal karena sakitnya. Film diakhiri dengan kesedihan, tanpa apa pemecahan jalan keluar yang baik masalah ras yang dihadpi masyarakat saat itu. Akhirnya orang akan berkesan, itulah nasib kehidupan MALANG bagi orang yang melanggar ketentuan Keraton. Sepertinya, Film ini masih membenarkan pemikiran feodal, keluarga ningrat Jogya ingin pertahankan Ke-“KERATON’an yang superior, menganggap tidak seharusnya melangsungkan perkawinan dengan orang diluar turunan keraton yang lebih rendah.

Padahal, dijaman modern didunia dimana pikiran manusia telah maju selangkah lebih BERADAB,

Kraton Yogja

seperti kerajaan Jepang, dimana rajanya dianggap sebagai dewa-Matahari, sampai pada Akihito ditahun 60-an juga sudah bisa menikah dengan gadis dari rakyat biasa, … Bahkan saat meninjau Keraton Jogya, lupa Hamengkubuwono ke-berapa, diantara istri-istri entah yang keberapa itu juga ada orang Belanda. Ini pendapat pertama.

Kedua, bagi saya film ini juga tercium bau rasialis. Disaat memunculkan adegan usaha batik Anne sedang menanjak maju, ada pengusaha batik Tionghoa yang merasa dapatkan saingan, menyuruh 2 orang tukang kepruk untuk merampas Batik Anne yang sedang diantar untuk pemesan. Pengangkatan adegan dengan menonjolkan pengusaha Tionghoa disini, tentu sangat tidak etis dan sangat tidak bijaksana. Persaingan didunia usaha sudah pasti akan berlangsung dan terjadi dimana saja, bahwa mungkin saja ada pengusaha yang melakukan cara-cara kotor untuk mengalahkan saingannya juga tidak perlu disangkal. Tapi, harus diakui dalam kenyataan mayoritas pengusaha, termasuk pengusaha Tionghoa yang melakukan usaha bisnis adalah persaingan yang sehat. Berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bisnis yang berlaku. Dan itulah yang mendorong maju roda ekonomi didunia ini.

Pengusaha asal suku atau etnis manapun bisa saja ada yang main curang, main kotor dalam

Yogja traditional life

persaingan yang terjadi, … itu kenyataan yang tidak perlu ditutupi. Yang menjadi pertanyaan, kenapa pilihan dijatuhkan pada pengusaha Tionghoa dengan menekankan ke-Tionghoa-annya? Apakah sutradara film ini menganggap pengusaha Tionghoa umumnya gunakan cara-cara kotor dalam jalankan usaha? Sungguh sangat disesalkan, dimana RI yang baru saja berhasil mensahkan UU Anti-diskriminasi rasial, tapi masih juga menampilkan film yang berbau rasialis macam ini. Seolah-olah film ini hendak menyatakan, pengusaha Tionghoa selalu main kotor dalam usaha (IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *