Semua negara di dunia yang memanfaatkan tenaga nuklir harus dibarengi dengan sistem pengawasan yang mencakup aspek peraturan, perizinan dan inspeksi. Hal ini juga mencakup sistem pengawasan terhadap limbah radioaktif (bahan nuklir) buangan, baik tingkat tinggi, sedang dan rendah. “Semua negara, tidak terkecuali Indonesia, limbah radioaktifnya dari industri terikat berbagai regulasi. Semua hal terkait ketenaganukliran mengacu pada IAEA (International Atomic Energy Agency),” Direktur Perizinan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif Bapeten. Zainal Arifin mengatakan kepada Redaksi.
Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) Idonesia menerapkan Undang Undang (UU) No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran. Sementara Peraturan Pemerintah (PP) No. 61/2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional) merupakan turunan dari UU tersebut. “Sikap kita jelas terkait (pengawasan) limbah yang dihasilkan industri, sebagaimana tertera dalam PP tersebut. Kita kembalikan ke negara asal atau dengan opsi kelola oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR).”
PP No. 61/2013 juta menjelaskan potential treat limbah terhadap keselamatan (safety), keamanan (security) dan ketentraman (safeguards). Sementara limbah yang dihasilkan dari peralatan medik, harus dibarengi dengan Uji Kesesuaian. Ada beberapa alat, performa alat kesehatan yang digunakan di rumah sakit, harus memenuhi kriteria dan persyaratan. “Kalau alat (kesehatan) datang dari luar negeri, (pemeriksaan quota) perijinan melalui INSW (Indonesia National Single Window). Tapi performa alat, mengikuti ketentuan dari Peraturan Bapeten, amanat Undang Undang. Hasil dari pengujian terhadap kesesuaian alat-alat medis di rumah sakit, menjadi acuan untuk penerbitan izin dari Bapeten.”
Sementara itu, Sugeng Sumbarjo, Direktur Inspeksi Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif pada Direktorat Inspeksi Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif Bapeten melihat kondisi limbah baru berkategori minor. Limbah radioaktif dengan kategori minor belum sampai pada tahap ‘Danger’ (bahaya). Kendatipun demikian, sistem pengawasan Bapaten terhadap limbah radioaktif efektif berjalan dengan dua kebijakan. Pertama, petugas akan mengembalikan limbah ke negara asal. “Sehingga kami minta perjanjian dari negara asal, misalkan Amerika. Pemerintah sana harus mau menerima lagi (limbah yang di re-export). Kami rekomendasikan re-export,” mengatakan kepada Redaksi (18/7).
Kalau ternyata perusahaan eksportir di negaranya sudah bangkrut, petugas Bapeten akan mengalihkan kepada Batan (Batan Tenaga Nuklir Nasional). Selama ini, pusat pengelolaan limbah masih di bawah kewenangan Batan. Sistem pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir juga mencakup pada aspek transportasi (pengangkutan). Karena sarana transportasi seperti container harus dengan desain khusus, sehingga tidak mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat, pengguna, serta lingkungan. “Bapeten harus tahu persis proses limbahnya, pengangkutan dan lain sebagainya. Semua harus ada izin pemanfaatan. Sistemnya juga sudah online.Pembayaran melalui bank, tidak lagi melalui kasir. Data terkirim secara digital, dan tidak ada lagi hardcopy, kecuali untuk pembuktian. Proses izin hanya dua sampai tiga hari.”
Di sisi lain, Bapeten terus mempercepat proses pemasangan Radiation Portal Monitor(RPM) pada dua pelabuhan, selain yang sudah ada pada lima pelabuhan yaitu Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya Jawa Timur), Sekupang (Batam, Prov. Kepri), Belawan (Medan, Sumatera Utara) dan Tanjung Emas (Semarang, Jawa Tengah). Pemasangan RPM adalah bagian dari upaya menjaga keselamatan dan keamanan di tengah pemanfaatan tenaga nuklir di dalam negeri. Bapeten sudah mengetatkan pengawasan serta inspeksi di pelabuhan dan bandara terhadap kemungkinansmuggling (penyelundupan) bahan zat radioaktif. “RPM sudah terpasang di lima pelabuhan. Kami akan susul dengan dua pelabuhan lagi, yaitu di Makasar (Sulawesi Selatan) dan Bitung (Sulawesi Utara). Semua container yang turun dari kapal, harus melalui RPM. Kalau alarm bunyi, akan terdeteksi oleh petugas bea cukai. Tetapi (bunyi) alarm bisa masuk (terdeteksi) petugas kami melalui fasilitas sentral monitor. Sehingga Bapeten siap (mengawasi).”
Pemasangan RPM secara simultan membantu pencegahan terorisme nuklir. Ketika perdagangan gelap zat radioaktif dan bahan nuklir marak, petugas Bea Cukai dan Bapeten berada di garis depan kegiatan pengawasan. Sehingga sistem koordinasi pengawasan petugas di pelabuhan tidak lepas dari Direktorat Perizinan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif. “Dari negara asal, harus ada pemberitahuan. Kalau tidak ada, kami tangani (penyelundupan) dengan sistem deteksi RPM tersebut.”
Sistem inspeksi dan penegakan hukum Bapeten di setiap pintu masuk pelabuhan juga sudah terintegrasi dengan INSW (Indonesian National Single Window). Sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional, bisa diakses melalui jaringan internet. Sehingga bahan nuklir atau radioaktif yang masuk ke pelabuhan, harus sudah melalui rambu Larangan dan Perbatasan. “Operasi portal INSW bisa deteksi, petugas segera tahu status barang (bahan nuklir) tersebut. Petugas mengecek perizinannya dari Bapeten. Setiap barang, baik impor maupun ekspor, harus ada persetujuan dari kami.”
Selain bahan, peralatan kenukliran yang masuk ke pelabuhan juga harus mendapat izin dari Bapeten. Terlepas barang tersebut masuk atau keluar (pelabuhan), petugas tetap melakukan pengecekan izin. Selain itu, sesuai dengan amanat Undang Undang NO. 10/1997 tentang Ketenaganukliran, dan terkait pengawasan, Bapeten terikat dengan perjanjian internasional. Sehingga zat radioaktif atau bahan nuklir yang dikirim (ekspor/impor), harus terlebih dahulu mengajukan content atau surat persetujuan. Content ditujukan dari negara asal kepada Bapaten. Otoritas badan pengawas tenaga nuklir dari negara asal mengirim Content kepada Bapeten. “Kami akan tanya, apakah ada perusahaannya yang mau ekspor. Atau sebaliknya, ‘Bapeten’ nya mereka juga bisa tanya kepada kami mengenai perusahaan yang mau ekspor barangnya. Perusahaan tersebut juga punya izin. Itu (pengawasan) kategori I (satu).”
Kegiatan pengawasan kategori II (dua), negara pemasok harus mengirim pemberitahuan kepada Bapaten secara reguler. Misalkan pada bulan Juli, ada pengiriman dari perusahaan A, B dan C. Petugas Bapeten akan menyiapkan mekanisme pengawasan terhadap aspek keamanan dan keselamatan dari pasokan bahan nuklir yang dikirim dari luar. Ada juga pengawasan di pelabuhan terhadap teknologi kenukliran. Petugas Bapeten hanya akan memberi izin impor teknologi yang sudah memenuhi standar. “Teknologi baru tetap harus dengan izin, pengawasan kami.”
Bapeten juga menyiapkan peta distribusi penggunaan zat radioaktif di seluruh Indonesia. Sebagaimana pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia terwujud untuk kesejahteraan masyarakat, yaitu penerapan di sektor kesehatan, pertanian, peternakan, industri dan energi (PLTN/pembangkit listrik tenaga nuklir). Tetapi pengawasan tetap berjalan, mengingat pengelolaan beresiko terhadap keselamatan pekerja, masyarakat dan lingkungan. Sampai saat ini izin pemanfaatan tenaga nuklir mencakup 6.387 izin untuk industri, 6.968 (kesehatan) dan 38 (penelitian)
.
Keseluruhan izin tersebut mencakup 3.146 instansi pemohon izin di seluruh Indonesia. Bapeten mempunyai daftar rumah sakit yang menggunakan tenaga nuklir. Masyarakat boleh mengetahui. Selama ini, Bapeten mengidentifikasi dua hal pengelolaan rumah sakit yang tidak berizin memanfaatkan tenaga nuklir. “Kedua hal tersebut, yaitu (pengelola rumah sakit) tidak memiliki peralatan atau SDM yang berkompeten. Kami sudah melakukan pembinaan selama hampir 15 tahun. Kalau mereka tetap beroperasi, kami tindak. Awalnya, dengan peringatan berkala. Setelah itu, kami pidanakan sebagaimana yang tertera pada pasal 17 Undang Undang No. 10/1997.”
Kendatipun demikian, Bapeten sering alami dilema terhadap pengoperasian rumah sakit di daerah terpencil. Terutama rumah sakit di luar pulau Jawa, ternyata masih ada menggunakan alat kesehatan berbahan nuklir. Ada juga rumah sakit di daerah terpencil dan hanya satu-satunya. Petugas mengadakan pembinaan terkait dengan peralatan. Bahkan masalah harga (peralatan) yang mahal tersebut juga menjadi permasalahan terkait dengan aspek keselamatan dan keamanan. “Mereka juga tidak punya SDM misalkan radiographer, dokter spesialis. Hanya kota-kota besar di pulau Jawa yang punya SDM handal (radiographer, dokter spesialis). Ini kendala kita bersama walaupun kegiatan sosialisasi (pengawasan) terus berjalan. Petugas dari Dinas Kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota juga dilibatkan. Tapi keadaannya masih dilematis untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang Undang No. 10/1997 ini.”
Sementara itu, Humas Bapeten Akhmad Muktaf Haifani melihat perlunya peningkatan pengawasan seiring dengan jumlah perizinan yang diterbitkan. Hal ini mempertimbangkan adanya potensi penyalah-gunaan wewenang yang diberikan. Usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi para pengguna tenaga nuklir harus dibarengi dengan minimalisasi pelanggaran. “Upaya yang sudah ditempuh dengan penerapan kategorisasi temuan inspeksi,mulai dari kondisi izin sampai nilai paparan radiasi di daerah kerja,” Akhmad mengatakan kepada Redaksi.
Dengan kategorisasi inspeksi ini, Bapeten melaksanakan amanat Undang Undang dengan tindakan proporsional dan berkeadilan. Hingga saat ini, penegakan hukum yang sudah ditangani Bapeten, tujuh instansi sudah diputus pengadilan. Sementara empat instansi masih dalam proses penegakan hukum. Ketujuh instansi tersebut antara lain PT Giftstarindo (Sidoarjo, Jawa Timur/Jatim), Klinik Medika Yani, Klinik Kimia Farma(Surabaya, Jatim), PT Ijtihad Mutu Sempana, PT Pilar Ola Citra (Jakarta), RS Boloni (Medan, Sumatera Utara), Klinik Caya (Depok, Jabodetabek). Sementara empat instansi yang masih dalam proses penegakan hukum, antara lain PT A (Surabaya, Jatim), Klinik M (Bandung, Jawa Barat), PT CI (Batan, Kepri) dan RS Gigi dan Mulut P (Medan, Sumatera Utara). (Liu)
hati-hati saja di Indonesia mudah BOCOR…..BOCOR…….BOCOR