Regenerasi Petani untuk Kelanjutan Industri Kopi Indonesia


Regenerasi Petani untuk Kelanjutan Industri Kopi Indonesia

Dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 24 Juni 2019/Indonesia Media – Kegiatan cocok tanam kopi di Indonesia belum sampai pada prinsip pertanian berkelanjutan, termasuk tingkat produksi berkualitas, ramah lingkungan dan social ekonomi menguntungkan. Sehingga beberapa industry kopi skala besar terus membangun semangat generasi muda untuk regenerasi. “Permasalahan pertanian kopi, rata-rata (petani) sudah tua di atas 40 tahun. Kami dorong generasi muda untuk melanjutkan usaha pertanian kopi di Jawa Tengah, khususnya kabupaten Semarang,” kata Mulyono Susilo (Siem Ming Djwan) dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI).

Dalam satu masa cocok tanam, petani kopi bekerja sekitar 4 – 5 bulan. Sehingga, ia terpikir bagaimana petani bisa mengisi hari-hari dengan kegiatan lain yang menghasilkan. “Saya mendirikan dan mengembangkan kawasan agro wisata kopi di kawasan lereng Gunung Kelir Semarang. Selain udaranya sejuk, kami juga menyediakan berbagai sarana. Ada bungalow-bungalow kecil, dimana pengunjung bisa bercengkerama, berfoto selfie dan lain sebagainya. Bahkan kami punya program kunjungan pada waktu panen kopi,” kata Mulyono.

Wisata yang ada di kawasan Gunung Kelir ini memang mulai popular sejak awal tahun 2019. Para wisatawan mulai berbondong-bondong menuju kesana untuk meredam rasa penasaran tentang wisata baru tersebut. Gunung Kelir memiliki ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut (mpdl) dan wisata lereng kelir berada di atas ketinggian lebih dari 1384 mpdl. dari ketinggian tersebut membuat hampir seluruh kawasan kota Ambarawa bisa terlihat dan sebagian kecil wilayah Semarang selatan. “Pengunjung bisa melihat langsung suasana panen kopi. Biaya juga relative terjangkau. Kami mengombinasi kegiatan edukasi dan wisata kopi di gunung Kelir,” tegas Siem Ming Djwan.

Dalam satu tahun masa cocok tanam kopi, petani bekerja antara 4 – 5 bulan dalam setahun. Sehingga ia tergugah memikirkan apa yang petani kopi bisa kerjakan setelah melewati 4 – 5 bulan. Sehingga muncul ide, perusahaan Moelyono, yakni SKA (Sumber Kurnia Alam) mengembangkan kawasan agro wisata kopi di lereng gunung Kelir. Ia bersama beberapa rekan menyediakan sarana wisatanya seperti bungalow-bungalow kecil. Ada tempat dimana pengunjung bisa berfoto selfie. Kegiatan lain, pengunjung melihat langsung suasana panen kopi. Hasilnya, SKA berhasil mengajak generasi muda terlibat langsung dalam kegiatan cocok tanam kopi. Mereka juga membangun kedai kopi skala kecil di daerah gunung Kelir, Semarang. Perjalanan dari kota Semarang sekitar satu jam. Pengunjung yang tertarik, saat menyusuri jalan Semarang – Yogyakarta, bisa melihat petunjuk arah ke lokasi agro wisata. Memang lokasi agak jauh dari jalan utama, tapi suasananya sangat menarik. Luas lahan agrowisata sekitar 400 hektar. Gabungan kelompok tani di desa Ungaran mencapai sekitar 600 petani kopi. Status tanahnya milik petani. Pemerintah kabupaten Semarang sempat membantu, terutama perbaikan infrastruktur jalan. Mereka juga membantu pembangunan saung-saung wisata dimana pengunjung duduk lesehan sambal menikmati kopi. “(Kegiatan) edukasi kopi seiring sejalan dengan pemberdayaan petani kopi. Banyak hal yang kadang terlupakan saat kita menikmati kopi. Proses (budidaya kopi), mulai dari persiapan lahan, pemberian pupuk dasar, pembibitan, perawatan sampai siap panen. Lalu (setelah panen), petani harus mengelupas kopinya, menjual kepada pengepul dan eksportir. Sehingga prosesnya panjang,” tegas Moelyono.

Siapa Moelyono sebenarnya?

Selama ini, sosok Moelyono memang tidak bisa lepas dari kopi Indonesia. Ia mengaku dibesarkan di keluarga yang bisnisnya kopi. Sekitar tahun 1980 – 1990 an, kakek Moelyono merantau dari Tiongkok dan menetap di Semarang, Jawa Tengah. Kakeknya berdagang beberapa komoditas pertanian termasuk kopi. “Kakek saya bekerja (penjualan) beberapa komoditas pertanian seperti kemiri, lada, kopi. Saya mulai bergabung (bisnis) dengan membantu Paman, tepatnya tahun 1992. Saya tidak langsung suka dengan kopi, tapi ada prosesnya,” kata Moelyono.

Ia diminta membantu pekerjaan administrasi dan akuntansi perusahaan. Dari sana, ia belajar banyak hal sampai pada pengetahuan mengenai ekspor. Ia sempat berpikir bahwa ada pelabuhan Tanjung Emas di Semarang. Tetapi beberapa komoditas termasuk kopi dibawa ke pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya Jawa Timur. “Saya berpikir untuk memanfaatkan pelabuhan Tanjung Emas dan mulai ekspor sendiri. Waktu itu, saya masih kurang pengalaman. Tenaga ahli mengenai ekspor belum ada. Saya terdorong belajar ekspor. Tahun 1993, kami mulai ekspor sendiri dari Semarang,” kata Siem Ming Djwan.

Setelah hampir tiga decade bergelut dalam bisnis kopi, Moelyono terus inovatis. Ia mendirikan sarana Edukasi Kopi, serta memproduksi film layar lebar, yakni Filosofi Kopi. Ia juga producer untuk Viva Barista (ditayangkan Metro Tv). “Sejak keluarga, mulai dari kakek, paman merintis bisnis kopi, saya terus berpikir untuk memberdayakan petani kopi. Regenerasi (petani) dimulai dari anak-anak muda yang punya rasa bangga dengan kualitas kopi Indonesia. Lambat laun, mereka mau turun ke lahan pertanian kopi,” kata Moelyono. (sl/IM)

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *