Barista Yuli; Di Balik Seni Meracik Kopi


20170805_103944Jakarta Agustus, 24, 2017/Indonesia Media – Layaknya seorang ahli kopi, Yuli, seorang barista muda mengaku hafal dengan 124 koleksi kopi yang dipajang di rak. Yuli (22), kendatipun hanya lulusan SMU (sekolah menengah umum), punya passion mengenai kopi. Deretan botol kecil yang berisi sample kopi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dan negara penghasil kopi di dunia, ia kadang harus memilah-milah. “Dari 124 koleksi kopi kami, yang paling langka (yakni) kopi Guatemala. Sehingga kami sajikan kepada tamu agak istimewa,” Yuli mengatakan kepada Redaksi.

Yuli mengaku hampir setahun belajar mengenai berbagai hal perkopian. Sebagian besar pengetahuan mengenai kopi didapat dari pelatihan. Kebetulan, pemilik coffee shop tempat ia bekerja juga ahli kopi bersertifikasi SCAA (specialty coffee association of America). Stephen Lo, pemiliknya melihat perlunya pelatihan bagi para barista. Sehingga seorang profesional kopi yang sudah berpengalaman memberi pelatihan beberapa bulan kepada barista. “Sebelumnya saya kerja sebagai pramusaji di resto, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan profesi barista.”

Proses pembelajaran selain dari training, Yuli berinisiatif menambah wawasan melalui Youtube. Ia melihat gaya hidup masyarakat modern terutama di kota besar seperti Jakarta, yang semakin lekat dengan coffee shop. Sehingga ia juga menambah berbagai kosa kata perkopian. “Seperti konsep coffee shop kami, (yakni) third wave (gelombang ketiga). Sehingga tidak heran, kalau pak Stephen sering undang barista dari luar negeri termasuk Taiwan,” kata Yuli.

Istilah third wave juga bukan sebatas hanya kualitas kopi, tapi juga layanan. Third wave coffee secara definitif yakni orientasi pada kopi berkualitas, bukan hanya sebatas komoditi tetapi gaya hidup. Kopi dalam terminologi third wave, penyetaraan dengan wine (minuman anggur). Sehingga tidak heran, kalau Twind Coffee Shop dimana Yuli bekerja juga mengedepankan exotisme kopi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. “Kopi Toraja (Sulawesi Selatan), Mandailing (Sumatera Utara), Gayo (Aceh) masing-masing punya eksotisme, specialty. Konsep third wave coffee juga menentukan spesiesnya, dan kami memilih arabica. Kalaupun ada spesies robusta, kami hanya manfaatkan untuk blend (campuran),” kata perempuan kelahiran Tangerang, Banten.

Selain konsistensi pada arabica, Twind juga menyajikan kopi luwak. Hal ini juga yang dipelajari secara mendalam. Yuli memperlihatkan kopi yang masih bercampur dengan kotoran luwak. Ia menjelaskan secara detail gumpalan kotoran luwak, dan pengaruhnya terhadap kualitas kopi. Selain gumpal, ada juga kotoran yang berpencar. “Kalau kotoran (luwak) bergumpal, itu pasti luwak liar. Tapi kalau sebaliknya, kotorannya berpencar, itu luwak kandang atau penangkaran. Pak Stephen juga konsisten untuk menyajikan kopi luwak liar pada pengunjung. Karena hal ini relevan dengan kampanye dunia, (yakni) animal welfare. Semua koleksi kopi pada display kami, semuanya single origin. Penerapan konsep third wave coffee kami tidak setengah-setengah, tetapi totalitas.”

selain itu, peralatan kopi di Twind juga artistik. Hal ini tidak berlebihan, mengingat konsep third wave coffee bersinggungan dengan kreasi artistik. Koleksinya mencapai 20 peralatan, tetapi hanya 14 yang digunakan untuk membuat kopi. Sisanya hanya sebatas untuk display, sambil dimanfaatkan Yuli sebagai nilai tambah ekspresi. “Kami kadang lebih percaya diri kalau tools (peralatan) artistik. Harganya mahal, tapi itu kan urusan Boss saya, pak Stephen.”

Dari sekitar 20 peralatan, yang paling mahal yakni Belgium syphon untuk penyeduhan kopi. Barista sering menggunakan Belgium Syphon untuk peracikan kopi spesial. Sehingga tidak heran, jenis kopi luwak medan juga harus dipasangkan dengan Belgium Syphon. Kopi luwak medan yang harganya selangit harus diimbangi dengan kemewahan peralatannya. “Karena kami sebagai barista ibaratnya sudah semakin terbawa arus dengan seni meracik. Kami melihat kopi bukan lagi sebatas produk minuman, tapi bagian dari ekspresi diri dan emosi. Nilai seni pada saat meracik semakin tinggi kalau pengunjung ikut memperhatikan. Kadang ada yang bertanya mengenai proses peracikan dengan belgium syphon. Harganya juga mahal, sekitar Rp 4 – 5 juta.”

 

Seni peracikan dengan Belgium Syphon yakni proses pada saat air panas dan kopi ‘bekerja’ secara mekanis. Ilmu fisika seakan diterapkan pada proses peracikan kopi. Karena tekanan air panas sampai keluar air dari kran (bagian Belgium Syphon) kelihatan secara transparan. “Ada vakum, sampai air panas berbalik, lalu tersedot. Keluar air seperti dari kran, dan bergeser ke kiri dan kanan sampai kopi tersajikan di meja pengunjung. Saya belajarnya langsung dari barista senior, dan tidak butuh waktu lama.” (Liu/IM)

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Barista Yuli; Di Balik Seni Meracik Kopi

  1. Perselingkuhan+Intelek
    August 24, 2017 at 10:50 pm

    yang jelas Kelasifikasi Yuli masih dibawah Barista Cafe yang memBunuh Mirna yang di Campur Sianida, itu baru profesional memBunuh Mirna dengan memakai Jessica sebagai sasarannya, Polisi dan Hakim Jaksa Hukum Indonesia kena dikelabui semua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *