RAPBN Harus Cerminkan Ekonomi Kerakyatan


 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 harus menjadi momentum politik bagi pemerintah untuk serius mengembangkan sektor riil dengan konsep pembangunan ekonomi kerakyatan berbasis pertanian untuk mewujudkan kemandirian dan pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, anggaran negara kali ini diharapkan mencerminkan sikap pemerintah mengurangi pos subsidi yang tidak produktif sekaligus landasan untuk menciptakan anggaran berimbang tanpa utang baru.

Menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Nota Keuangan dan RAPBN 2012 di Gedung DPR, Senin (15/8), Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan mengatakan guna menopang ekonomi kerakyatan, pemerintah harus menggerakkan koperasi rakyat dan BUMN sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Pada saat yang bersamaan, lanjut dia, pemerintah menghentikan dan mengevaluasi semua perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain.

“Perjanjian perdagangan bebas seperti AFTA dan CAFTA serta perjanjian pergerakan bebas investasi di kawasan ASEAN tahun 2015 harus dievaluasi kembali. Pemerintah harus total mendukung industrialisasi Indonesia agar mampu bersaing di pasar global. Tidak hanya dukungan lips service, tapi riil,” tegas Dani, Senin (15/8).

Dia mengharapkan pidato Presiden kali ini bisa menjadi sinyal pemerintah untuk benar-benar membangun sektor pertanian, kelautan, dan perikanan sebagai jati diri perekonomian nasional yang banyak menghidupi rakyat Indonesia.

“Jika semua itu tidak dilakukan, maka pidato Presiden tak lebih hanya sebagai ritual tanpa makna, di tengah rakyat yang berharap adanya perubahan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk sekarang ini,” lanjut Dani.

Senada dengan Dani, peneliti ekonomi dari LIPI, Latif Adam, menambahkan pemerintah sudah saatnya merevitalisasi sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi yang melesat hingga 7 persen sekalipun belum mampu menekan tingkat kemiskinan dan meningkatkan lapangan kerja karena pertumbuhan lebih banyak disumbang sektor jasa, telekomunikasi, dan keuangan yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.

“Sektor pertanian yang menjadi tumpuan mayoritas rakyat hanya menyumbang sedikit dari pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

Latif mengungkapkan rencana menumbuhkan sektor industri kreatif dan manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja belum menjadi proritas. “Agenda pembangunan infrastruktur pun belum menjadi proritas, meski sudah ada agenda MP3I (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Belum ada aksi yang jelas di lapangan,” tegas dia.

Terkait dengan industri manufaktur, pengamat ekonomi UGM, Sri Adiningsih, mengharapkan peran pemerintah yang lebih besar dalam membangun sektor industri pengolahan. Soalnya, Indonesia sudah 66 tahun merdeka, namun pengembangan industri pengolahan ketinggalan dengan beberapa negara satu kawasan, Korea dan China.

“Kita lebih dulu merdeka tapi lebih mundur keadaannya saat ini. Kini ada pergeseran kekuatan ekonomi dari Barat ke Timur yang akan dimotori China dan India. Sementara di Indonesia saat ini yang berkembang bisnis mikro dan sektor informal. Seharusnya industri yang berkembang pesat. Ini merupakan masalah besar,” kata Adiningsih.

Adiningsih juga berpesan agar pemerintah rasional menyusun RAPBN 2012 karena Indonesia terbelenggu dengan kebijakan populis terutama subsidi yang luar biasa besar. Pada 2011, subsidi hampir 200 triliun rupiah. “Tahun depan, kalau harga BBM naik, besaran subsidi bisa lebih tinggi. Ini sangat disayangkan,” tuturnya.

Pengurangan Utang

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Hanura Abdilla Fauzi Achmad berharap pemerintah menyinggung prioritas penggunaan anggaran negara. Dia pun menyarankan agar RAPBN 2012 juga menyebutkan langkah pengurangan utang luar negeri.

Indonesia, tegas dia, tidak boleh terjebak dalam budaya utang yang jumlahnya sudah semakin memberatkan APBN. Utang luar negeri Indonesia sampai kuartal I-2011 mencapai 214,5 miliar dollar AS, atau meningkat 10 miliar dollar AS dibanding posisi akhir 2010. Jumlah tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar 128,6 miliar dollar AS dan utang swasta 85,9 miliar dollar AS.

Oleh karena itu, lanjut Abdilla Fauzi, sudah waktunya pemerintah mengganti pengelolaan RAPBN, dari rezim defisit yang selalu mengandalkan utang dalam pembiayaan pembangunan menjadi rezim anggaran berimbang. “Sudah banyak bukti, ada negara yang terancam bangkrut karena menggunakan rezim defisit,” tandas dia.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Arif Budimanta, berharap pemerintah lebih fokus menyejahterakan rakyat. “APBN yang semestinya penghela kesejahteraan sosial, namun sesuai data yang dilansir BPS data kemiskinan masih sangat signifikan,” ujar dia.

Ia juga mengingatkan Indonesia harus mempersiapkan diri dibanjiri produk luar negeri sehingga produk lokal semakin tidak memiliki daya saing. Arif menilai kontribusi ekspor yang lebih kecil mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengembangkan industri pengolahan nasional.

Berdasarkan perkiraan Arif, postur RAPBN 2012 ini tidak jauh berbeda dengan APBN 2011. Asumsi pertumbuhan ekonomi diperkirakan 6,5 – 6,9 persen, target inflasi 3,5 – 5,5 persen, nilai tukar berkisar rupiah 9.000 – 9.300 per dollar AS, harga minyak 75 – 95 dollar AS per barel, dan lifting minyak 950.000 – 970.000 barel per hari.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *