“Tidak ada seorang pun yang dapat sungguh mengenal negaranya terkecuali dia pernah merasakan hidup di dalam penjara. Sebuah negara tidak boleh dinilai dari perlakuannya terhadap warga negara yang terhormat, melainkan terhadap warganya yang berada dalam posisi paling terpuruk,” demikian kata Nelson Mandela (1918-2013).
Nelson Mandela paham betul soal kehidupan penjara. Selama hidupnya, dia pernah dipenjara selama 27 tahun. Setelah bebas, Nelson Mandela justru berhasil menghapuskan pemerintahan apartheid di Afrika Selatan dan menggelar pemilu multiras pada tahun 1994.
Meski Nelson Mandela adalah tahanan politik, bukan sekadar tahanan kriminal biasa, ternyata dia juga merasakan dinginnya lantai penjara dan buruknya perlakuan dari para pengelola penjara.
Negeri ini, Indonesia, sesungguhnya sangat akrab dengan kisah penjara. Pendidikan dari bangku sekolah dasar mengajarkan kita tentang para bapak pendiri bangsa yang keluar masuk penjara untuk merintis kemerdekaan.
Para pendiri bangsa itu dipenjarakan oleh penjajah kolonial Belanda oleh karena aktivitasnya mengorganisasi perjuangan untuk membebaskan rakyat Indonesia. Dalam benak kita, dengan demikian sudah terpatri kata: pengasingan, pembuangan, dan penjara. Digul, Sukamiskin, dan Banceuy juga akrab di telinga kita.
Penjara di Indonesia ternyata pula tidak pernah menjadi persoalan yang mudah dibereskan. Terkadang, ada kesan negara tidak hadir di dalam penjara sebagaimana terlihat dari temuan-temuan ketika digelar operasi terhadap penghuni penjara. Pernah ditemukan mulai dari telepon genggam, senjata tajam dan api, bahkan hingga “pabrik” narkoba.
Beberapa bulan belakangan, kata penjara kembali menyambangi hidup kita. Minggu lalu ada kerusuhan di Rutan Malabero di Kota Bengkulu yang menyebabkan lima tahanan meninggal dunia akibat terbakar di dalam sel.
Sebelumnya, Jumat (18/3/2016), seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IA Bandar Lampung tewas setelah dikeroyok di dalam lapas. Korban tewas bukan akibat pukulan, melainkan akibat luka tusukan di bagian punggung kiri, dada kiri, dan pelipis sebelah kiri. Bagaimana mungkin ada alat tusuk di dalam lapas?
Kejadian di Lapas Bandar Lampung hanya lima hari sejak tujuh tahanan melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bogor/Paledang di Kota Bogor pada Minggu (13/3/2016) dini hari. Satu di antara mereka bahkan terpidana seumur hidup dalam kasus narkoba.
Bicara soal narkoba dan penjara seolah tidak ada habisnya. Pada Kamis (8/2/2016), seorang pegawai Rumah Tahanan Balikpapan berinisial MZA ditangkap jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Timur karena diduga tersangkut kasus narkoba.
Dua narapidana Lapas Tarakan, Kalimantan Utara, juga ditangkap polisi karena membawa sabu seberat 1,5 kilogram. Kepala Rumah Tahanan (Rutan) Balikpapan Budi Prajitno saat itu membenarkan adanya penangkapan meski mengaku belum tahu keterlibatan MZA dalam kasus itu.
Presiden Joko Widodo pun mengungkapkan 50 persen dari peredaran narkoba saat ini dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan. Pernyataan Presiden itu diungkapkan pada Rabu (24/2/2016) saat membuka rapat terbatas dengan topik “Pemberantasan Narkoba dan Program Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkoba”, Rabu, di Kantor Presiden, Jakarta.
Ketika itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Dusak mengatakan, pihaknya terus berupaya memotong rantai pengendalian jaringan narkoba dari dalam penjara. Hal ini, antara lain, dengan memudahkan penangkapan narapidana (napi) yang diduga sebagai bandar narkoba oleh BNN.
“Saat ini, yang sudah ada blok high risk adalah Lapas Gunung Sindur, Bogor. Kami merencanakan menambah blok-blok khusus di lapas lain, misalnya di Pulau Nusakambangan,” ujar Dusak. (Kompas, 25/2/2016).
Persoalan tiada berujung
Langkah brilian Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso untuk “menggedor” lapas demi memberantas peredaran narkoba harus diapresiasi. Namun, di sisi lain justru memperlihatkan sisi kelemahan dari pengelolaan lapas.
Warga Rutan Malabero rusuh ketika Jumat (25/3/2016) petugas gabungan BNN Bengkulu, Polri, dan petugas lapas akan mengambil Edison alias Aseng, bandar narkoba yang beroperasi dari dalam rutan. Ternyata, rutan tidak siap. Malabero langsung bergejolak, dan terjadilah kerusuhan.
Andai saja petugas lapas mau belajar dari pengalaman, mungkin tidak perlu ada kejadian seperti itu. Sepanjang sejarah Kompas, reportase kerusuhan penjara sudah pernah diterbitkan pada November 1973.
Ketika itu, sebagian besar narapidana Lapas Cipinang merusak dan membakar penjara. Kerusuhan ini menarik perhatian Kompas karena kerusuhan sebelumnya terjadi tahun 1961, sebelum Kompas terbit, di penjara Kalisosok, Surabaya.
Menurut polisi, tindakan para narapidana itu dihasut oleh narapidana besar bernama Taufik, Hengky, Johny Inkiriwang yang akan dipindah ke Nusakambangan. Waktu itu, Kompas menganalisis perlunya pemisahan terhadap narapidana seperti Taufik dari narapidana lain. Taufik katanya terlahir dengan bakat kepemimpinan yang besar sehingga perlu diperlakukan berbeda atau lapas menjadi sulit dikendalikan.
Masalah lapas di negeri ini memang seolah persoalan tidak berujung. Pada Selasa (11/1/1972), Kompas sudah menulis pendapat Nona Estiana dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia yang menyoroti banyaknya perusahaan penjara yang macet sehingga tidak sedikit peralatannya yang tidak dapat digunakan.
Tanpa restrukturisasi usaha, perusahaan penjara dipastikan merugi dan membawa kerugian besar bagi perusahaan itu. Padahal, perusahaan itu dapat menguntungkan bagi pendidikan narapidana. Pemerintah juga dapat terbantu dengan hasil-hasil produksi yang diperoleh.
Kisah penjara jelas adalah kisah yang menarik. Terkadang, kehidupan penjara penuh dengan lika-likunya. Seolah penjara adalah dunia tersendiri.
Kisah yang menarik
Kompas edisi Sabtu, 19 Mei 1973, menampilkan wawancara dengan penjahat besar Thoos Mustamu. Thoos tertangkap setelah menodong korbannya sebanyak 38 kali di Jakarta dan Bandung.
Pada 16 April 1973, Thoos melarikan diri dari penjara Banceuy di Bandung tetapi tertangkap kembali pada 8 Mei 1973 di Magelang. Setelah ditangkap, Thoos ternyata mempelajari kemampuan untuk melarikan diri dari penjara setelah rajin membaca di Cipinang, lapas yang dihuninya sebelum pindah ke Banceuy.
Kepada wartawan Kompas, Julius Pour, Thoos mengaku membaca buku berbahasa Inggris berjudul Papillon. Narapidana lain menganggap sepi buku itu, tetapi tidak demikian halnya dengan Thoos yang fasih berbahasa Inggris.
Buku Papillon ternyata merupakan biografi dari Henri Charriere, seorang narapidana yang melarikan diri dari penjara Pulau Devil (Ibis), di sebuah pulau koloni Perancis. Tahun 1970, buku itu dialihbahasakan dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris dan entah bagaimana kisahnya buku itu dapat masuk ke penjara Cipinang.
Tahun 1973, tahun ketika Thoos melarikan diri dari penjara Cipinang, bukuPapillon diangkat ke layar lebar oleh Hollywood dengan judul yang sama.
Setelah buku Papillon terbit, sempat ada perdebatan terkait akurasi dari isi buku. Tetapi faktanya, Thoos mendapat inspirasi untuk melarikan diri, dan dia telah mempelajari teknik-teknik untuk kabur dari penjara berkat bukuPapillon.
Menurut Julius Pour, di akhir artikelnya, dengan pengetahuan Thoos dari bukuPapillon, petugas penjara harus memberikan pengawasan ketat terhadap Thoos.
Bagi pembelajar sejati, kehidupan penjara memang menjadi sumber inspirasi terlepas dari pengetahuan apa yang hendak dipelajari. Penulis Arswendo Atmowiloto dari dalam penjara justru produktif berkarya.
Dia juga menulis buku Menghitung Hari: Hikmah Kebijaksanaan dalam Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan. Ada sejumlah pengetahuan yang dia serap dari pengamatannya ketika ditahan.
Tahun 1990-an, ketika Arswendo dibui, dia juga telah merasakan penuh sesaknya penjara. Salah satu penggalan tulisan di bukunya ialah “Kita sering mendengar alasan mengapa dalam pemeriksaan, seorang petugas perlu main tangan untuk memperoleh pengakuan. Karena, kalau semua penjahat mengaku, penjara bakalan penuh. Sebenarnya tak persis begitu. Penjara itu seperti bus kota. Selalu masih ada tempat selama masih ada yang bisa dimasukkan”.
Sederhana saja. Arswendo sedang menyindir soal kapasitas lapas yang tidak mampu menampung penghuninya. Persoalan yang hingga kini, sampai tahun 2016 ini, tidak juga terselesaikan.
Citra Indonesia
Ketika ditelusuri, Kompas juga pernah membuat reportase positif soal penjara.Kompas edisi Senin, 5 Agustus 1974, di halaman 3 pernah menerbitkan kisah laporan dari Wali Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, kepada anggota Komisi VI DPR bahwa penghuni penjara Sawahlunto hanya berjumlah satu orang!
Ketika Kompas mengecek pada Senin (28/3/2016) ini, ternyata di Rutan Kelas IIB Sawahlunto, dari kapasitas 69 orang hanya terisi 49 orang. Sementara itu, di Lapas Narkotika Kelas III Sawahlunto, dari kapasitas 180 orang hanya terisi 38 orang. Angkat topi untuk Sawahlunto.
Nah, Kompas, Jumat, 3 Agustus 1973, melaporkan kondisi lapas baru Karangasem di Amalpura, ibu kota Kabupaten Karangasem. Lapas baru itu untuk menggantikan lapas lama yang musnah dilanda lahar Gunung Agung.
Lapas itu berkapasitas 203 orang, tetapi saat itu baru dihuni 34 narapidana dan delapan orang tahanan. Anggota Komisi III DPR yang hadir berkomentar, “Jauh lebih baik dari asrama-asrama ABRI pada umumnya.”
Pintu gerbang penjara itu indah sekali penuh dengan ukir-ukiran Bali. Hanya saja kamar-kamar berterali sehingga mengingatkan orang bahwa ini penjara.
Melihat hal itu, anggota Komisi III DPR yang hadir justru bertanya apakah perlu dibuat penjara sebaik itu. Dari kunjungan kerja ke Bali juga terungkap, ketika itu para napi Bali menerima hukuman dengan penuh penyesalan. Banyak napi yang menjawab bahwa hukuman itu diterima sebagai penghayatan terhadap hukum karma.
Pada awal 1970-an, para napi di Bali, menurut laporan, tidak perlu dikawal ketat. Mengapa? Karena napi di Bali waktu itu tidak pernah melarikan diri.
Namun, kerusuhan di Lapas Kerobokan, Bali, pada Desember 2015, menampilkan fakta yang sungguh kontras dengan kondisi lapas di Bali, yang dapat dibaca dari arsip-arsip di Kompas.
Lapas di Bali pun kini harusnya dibenahi dengan serius karena wajah Bali adalah wajah Indonesia. Membenahi lapas di Bali jelas meningkatkan citra Indonesia. Mengapa?
Silakan mampir di toko-toko buku berbahasa Inggris di Jakarta atau kota-kota dunia. Dapat disaksikan dan dibeli buku berjudul, Hotel Kerobokan: The Shocking Inside Story of Bali’s Most Notorious Jail (2012) karya Kathryn Bonella.
Ada pula buku I Survived Kerobokan (2014) karya Paul Conibeer. Conibeer pernah dipenjara selama 10 bulan di Kerobokan pada 2013. Belakangan, dalam wawancara di media Inggris, dailymail, Conibeer mengaku menyaksikan narkoba membanjiri Kerobokan.
Buku-buku terkait “Hotel Kerobokan” jelas menampilkan citra buruk soal Indonesia. Apalagi, lokasi Lapas Kerobokan ada di Bali, yang diakui sebagai surganya Indonesia. Bayangkan bila calon wisatawan mancanegara yang hendak mencari tahu Bali menemukan buku itu. Mungkin, dia langsung mencari destinasi wisata lainnya.
Dunia harus dipahami kini juga semakin datar. Kerusuhan lapas di sebuah daerah di Indonesia dapat dengan mudah diketahui informasinya. Informasi itu bahkan juga dengan mudah dapat dipantau, dibaca, dan disebarluaskan oleh media di luar negeri sehingga citra Indonesia dapat makin terpuruk di mata dunia. Ini persoalan serius karena juga menyangkut langkah kita untuk memastikan penegakan hukum di negeri ini.
Kurang cepat
Persoalan lapas pun sungguh telah mampu diidentifikasi dengan tepat. Persoalan di lapas sudah diketahui sejak puluhan tahun silam. Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM sudah pula mengklaim telah berupaya maksimal, tetapi faktanya kondisi lapas kita makin memburuk.
Wakil Direktur Eksekutif Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengakui, langkah perbaikan sudah ada tetapi kurang cepat. “Penjara di Nusakambangan, misalnya, sudah dipasang kamera pemantau (CCTV), tapi ya kurang cepat. Masih ada 500-an penjara lagi,” ujarnya.
Tanpa ada upaya radikal untuk membenahi lapas, upaya perbaikan, apalagi upaya untuk menghapuskan peredaran narkoba, menjadi hal yang mustahil dikerjakan. “Bukan tidak mungkin akan ada kerusuhan di lapas lain,” kata Gatot.
Gatot juga menyarankan ada kerja sama yang lebih baik antara Ditjen Pemasyarakatan dan pihak-pihak eksternal. Ketika lapas sulit ditangani sendiri, lebih baik bagi Ditjen Pemasyarakatan benar-benar terbuka membina kerja sama dengan aparat keamanan, dengan BNN, atau dengan pihak lain.
Kata-kata Gatot ada benarnya. Pemprov DKI Jakarta juga tidak ada “kaki tangan” untuk menertibkan Kalijodo, tetapi hal itu ternyata dapat dilakukan setelah bekerja sama dengan aparat keamanan.
PT Kereta Api Indonesia juga dulu tidak punya kekuatan untuk menertibkan stasiun, tetapi toh akhirnya dengan komunikasi yang baik dapat bekerja sama dengan polisi dan tentara untuk menertibkan stasiun. Gerbang elektronik di stasiun bahkan sampai dijaga tentara. Mengapa tidak?
Kini, PT KCJ dengan dukungan PT Telkom bahkan dapat memonitor mulai dari penjualan tiket, pergerakan penumpang di peron, hingga kondisi lingkungan stasiun di lebih dari 60 stasiun melalui CCTV.
KAI dan KCJ sukses merevolusi perkeretaapian di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan dan dapat saja kesuksesan itu diduplikasi. Tim pembuat e-ticketing bahkan dapat saja “dipinjam” ke lapas, mengapa tidak? Mengapa tidak tim dari Telkom juga diminta memasang seluruh teknologi pemantauan tercanggih saat ini? Apa kuasa BUMN menolak permintaan dari pemerintah?
Per Senin (28/3/2016) ini, Sistem Database Pemasyarakatan melaporkan ada 175.809 napi dan tahanan dengan hanya ada kapasitas bagi 114.570 orang. Jadi, jelas ada kapasitas yang tidak seimbang dengan jumlah narapidana dan tahanan.
Pertanyaan besarnya adalah sampai kapan kondisi ini terjadi. Dengan hanya kekurangan 61.269 kamar bagi napi bukankah itu jumlah yang sedikit? Itu hanya kamar bukan rumah. Mengapa dikatakan sedikit? Karena bukankah pemerintah ini mau membangun satu juta rumah bagi masyarakat menengah ke bawah?
Masalah anggaran seharusnya tidak usah menjadi kendala besar. Dapat saja dibicarakan antar-kementerian bila ada kemauan. Dari dulu, anggaran penjara toh tidak pernah mencukupi.
Tahun 1975, misalnya, Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja sudah menghitung kebutuhan dana Rp 82 miliar untuk memindahkan semua lapas keluar kota. Dana sebesar itu pun belum termasuk biaya pembebasan lahan. Adapun Departemen Kehakiman pada RAPBN 1975/2976 hanya mendapat alokasi dana Rp 7 miliar.
Mengapa dulu Menteri Kehakiman menghitung kebutuhan dana itu? Karena pemda meminta supaya penjara dipindahkan dari tengah kota dengan alasan mengganggu estetika kota.
Nah, kini Republik ini juga sedang “gila-gilaan” mendorong pembangunan infrastruktur jalan tol, kereta cepat, dan kereta ringan untuk perkotaan. Jadi logikanya, bukankah lebih mudah membangun infrastruktur lapas? Pertanyaan besarnya, apakah kita mau apa tidak?
Citra Indonesia sedang dipertaruhkan pula dengan langkah kita untuk membenahi lapas-lapas ini.. ( Kpsa / IM )
Penjara di Indonesia tidak ebih baik dari Kandang BB, terpuruknya Penjara di Indonesia itu dikarenakansegala sesuatu yang buruk terjadi dlm Penjara, jadi bukan hanya Nama Indonesia terpuruk saja tapi malah nama Negara Indonesia itu selalu menjadi bahan ejekan dan hinaan dan tertawaan Negara lain dan tidak pernah ada kegiatan yang menuju Perbaikan Nama Baik Indonesia malah cenderung di Biarkan terus menerus sehingga semakin mendalam