Pengalaman Salim Said dengan Rosihan Anwar sebagai tambahan buat banyak kenangan lainnya.


Tentu saja saya sudah kenal nama Rosihan Anwar jauh sebelum saya jumpa orangnya. Nun, ketika masih di sekolah menengah, tatkala saya masih berambisi menjadi sastrawan, saya sudah membaca cerpen Rosihan,”Radio Masyarakat,”  yang dimuat dalam buku suntingan H.B. Jassin,Gema Tanah Air. Beberapa buku laporan jurnalistiknya juga telah saya baca sebelum saya menjadi mahasiswa.

Masuk Jakarta pada tahun 1963 saya  dan langsung menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Zaman itu hidup susah, kiriman  Almarhum bapak saya tidak bisa menghidupi saya lantaran inflasi yang tangkas dan tringginas yang dalam waktu sesingkat-singkatnya membabat nilai rupiah.

Singkat cerita, saya harus mencari pekerjaan, yang kalau bisa sesedikit mungkin mengganggu sekolah saya (ternyata itu tak mungkin, akibatnya kuliah saya terlambat dan berstatus mahasiswa  UI selama 13 tahun sebelum akhirnya mendapat gelar Drs pada tahun 1976 pada jurusan sosiologi). Atas bantuan almarhum Wiratmo Sukito, saya mendapat pekerjaan pada harian Angkatan Bersenjata pimpinan Brigjen TNI Soegandhi pada pertengahan tahun 1965. Waktu itu sudah nyaris semua koran telah dikuasi oleh PKI dan fellow travels-nya, sehingga kesempatan kerja bagi saya hanya tersedia di koran punya ABRI itu. Kemudian , setelah Gestapu, dari kedudukan sebagai redaktur kolom pada koran itulah saya berkenalan dengan Rosihan Anwar.

Dengan izin Brigjen Soegandhi, saya meminta Rosihan menulis kolom secara teratur di koran kami. Waktu itu, awal Orde Baru, Rosihan belum lagi muncul kembali sebagai penulis setelah sejak lama “dicekal” oleh Orde Lama. Jadi dengan bangga saya boleh bilang, sayalah yang “merehabiliter” Rosihan di awal Orde Baru. Selain Rosihan, sebenarnya saya juga meminta Mochtar Lubis (baru bebas dari tahanan Orde Lama) menulis kolom di koran ABRI itu. Tentu saja saya berharap wartawan “jihad” itu untuk tidak langsung galak  karena waktu itu Suharto belum selesai “menangani” Sukarno. Mochtar menolak  tawaran saya.Dengan marah.

Saya menghormati sikap keras Mochtar yang telah dibayarnya selama bertahun-tahun dalam penjara. Tapi kalau boleh memilih pahlawan, Rosihan lebih berkenan di hati saya. Rosihan mengajarkan kepada kita para wartawan dan kaum intelektual bahwa, paling sedikit di Indonesia di bawah Sukarno dan Suharto, kita masih bisa berbuat tanpa harus menantang dan “memaksa”pemerintah untuk memenjarakan kita.Di masa Orde Lama, misalnya, dengan berbagai nama samaran, Rosihan tetap menulis tanpa menyerah kepada Sukarno.

Sebagai kolumnis Angkatan Bersenjata Rosihan rajin dan secara teratur menulis. Rumahnya waktu itu masih di Jalan Tengku Umar, di seberang rumah Jenderal A.H. Nasution. Dengan berkendaraan sekuter, sekali sepekan saya datang mengambil tulisan sekalian mengantarkan honor beliau.Seingat saya tidak pernah ada percakapan serius antara saya, yang waktu itu masih berumur 24 tahun, dengan Rosihan.

Pada tahun 1970 atau 1971 ada perpecahan di dalam PWI. Kongres PWI di Palembang waktu itu menghasilkan dua pengurus pusat, satu dipimpin BM Diah, yang lainnya dipimpin Rosihan Anwar. Menurut informasi  waktu itu, perpecahan itu  merupakan hasil kerja Opsus/Ali Murtopo yang ingin menguasai masyarakat wartawan lewat B.M. Diah. Kami wartawan muda “berontak” dengan melakukan sejumlah demonstrasi. Kami, antara lain yang masih saya ingat, berdemo ke rumah Menteri Penerangan Budiardjo (Jalan Tengku Umar) yang letaknya tidak jauh dari “markas” kami di Balai Budaya jalan Gereja Theresia, Menteng.Teman demo yang masih saya  ingat waktu itu adalah Panda Nababan, yang di kemudian hari menjadi tokoh PDIP.

Dalam salah satu rapat konsolidasi kami sore hari di Balai Budaya setelah paginya berdemo,  Rosihan ikut hadir. Karena saya merasa sudah kenal lama dengan Rosihan dan kami wartawan muda sedang berjuang membela beliau, saya merasa bebas saja bicara dalam pertemuan tidak resmi itu. Maka terjadilah suatu yang tidak pernah saya lupakan dalam hidup saya: Rosihan menghardik saya dengan kata-kata yang menurut saya tidak pantas diucapkan terutama oleh seorang Rosihan, apa lagi ketika kami anak-anak muda sedang berjuang membelanya. Hardikan itu  bersifat sangat pribadi, dan semua yang hadir dalam pertemuan itu sempat terdiam. Saya sangat sedih, kecewa dan marah.Tapi saya tidak bisa berbuat apa pun.

Sesuai dengan kebiasan dan tabiat saya, sejak itu saya tidak lagi menegur atau menganggap Rosihan ada dalam dalam hidup saya. Di berbagai kesempatan  jika berpapasan dengan beliau, saya secara demonstratif membuang muka. Dalam hati saya, kau menghina dan melukai perasaan  saya, tidak bakal dan tidak akan  saya hormati kau lagi, meski kau seorang terkenal.

Hatta, suatu hari di tahun 1977 saya menemukan diri saya bersama Rosihan diangkat menjadi anggota juri Festival Film Indonesia. Nah, bagaimana saya harus bersikap dalam rapat-rapat dewan juri yang anggotanya hanya tujuh orang itu? Sebelum rapat, saya kebetulan jumpa Ami Priyono (sekarang juga sudah almarhum)di halaman Taman Ismail Marzuki. Ami cerita jumpa Rosihan pada suatu resepsi dan tanya padanya:”Apa pasal si Salim Said dan Asrul Sani tidak mau bicara dengan saya?” Cerita Ami menyadarkan saya bahwa Rosihan memperhatikan sikap saya yang “arrogan” itu. Rupanya “the bloody arrogan” Rosihan terganggu juga oleh kebolehan saya tampil sebagai “another bloody arrogan.” Tingkah laku saya waktu itu memang saya rancang untuk menyadarkan  Rosihan agar sadar bahwa sikapnya   yang arrogan dan melecehkan orang lain, sesungguhnya melukai perasaan orang lain.

Strategi saya rupanya berhasil.Dalam rapat  pertama dewan juri, Rosihan sebagai anggota Dewan Juri tertua, memulai langkah “rekonsialisasinya” dengan mempersilahkan saya, anggota termuda, untuk menguraikan pandangan saya mengenai pekerjaan kita menilai film-film Indonesia dalam FFI  tersebut. Yang lebih membuat saya surprise, Rosihan kemudian memuji dan mendukung jalan pikiran saya.He was sending a message to me, pikir saya. Saya lalu menyimpulkan beliau ingin mengakhiri “perang dingin” kami. Kendati demikian saya sampai sekarang tidak yakin  Rosihan tahu  apa  kesalahannya sehingga saya marah dan selama tujuh tahun mencuekkan beliau.

Walhasil sejak rapat pertama juri FFI itu, hubungan kami berangsur membaik.Dalam beberapa tahun kemudian kami bahkan sering bepergian
bersama di dalam maupun luar negeri. Di Festival Film Cannes (membawa film Cut Nyak Dhien) kami bahkan tidur sekamar. Di Singapore kami berdua (dan selalu bersama-sama) sebagai tamu dari Indonesia yang diundang Singapore International Film Festival.Kami juga beberapa kali bersama menghadiri Asia-Pasific Film Festival. Dalam semua perjalanan tersebut, hubungan kami makin dekat. Rosihan tidak pernah lagi bertindak arrogan kepada saya, kalau tidak malah bersikap amat baik kepada saya. Suatu kali, entah di kota mana, beliau mengharukan saya tatkala beliau berkata,” You ini anak saya.” Mungkin maksudnya, secara umur beliau pantas menjadi bapak saya.
Berubahkah tabiat dan kebiasaan arrogansi  Rosihan? Sama sekali tidak.Dan itu saya saksikan dalam ia berhubungan dengan orang-rang  lain. Di Makassar (1988), misalnya, almarhum dimintai sambutan pada pembukaan seminar tentang film dalam rangka FFI.Duduk di di samping beliau antara lain Arsal Alhabsi, Ketua Dewan Kesenian Makassar, seorang yang juga wertawan senior dan  teman lama Rosihan. Tapi dalam pengantar singkatnya, dengan dingin Rosihan mengatakan (sambil melihat Arsal),” saya tidak tahu apa kepentingannya orang ini duduk di depan hadirin.” Hadirin terdiam, dan Arsal serba salah, sebab Almarhum adalah budayawan senior di kota Makassar (dan Rosihan tahu itu) dan karena itu ditempatkan oleh panitia pada panggung kehormatan.
Meski hubungan kami terus membaik (saya bahkan diminta beliau menulis pengantar untuk sebuah bukunya dan sebuah buku saya  diberi pengantar oleh beliau) ingatan terhadap pelecehan dan penghinaan beliau yang menyakitkan saya di Balai Budaya puluhan tahun silam tidak kunjung terhapus. Saya barangkali pemaaf tapi bukan pelupa kepada hal yang menyakitkan dan merugikan saya. Oleh karena itu saya berencana pada suatu hari akan membuka kisah itu pada Rosihan, biar beliau tahu latar belakang mengapa saya mendiamkan beliau selama tujuh tahun. Tapi rencana itu tidak pernah kesampaian hingga akhirnya saya melihat beliau terakhir kali di Rumah Sakit Harapan kita. Waktu itu beliau tertidur dalam keadaan terduduk  dan bernafas dengan alat bantu yang mengalirkan oksigen.Karena keesokanharinya  saya dan istri sudah akan berangkat umroh,   saya meninggalkan saja kartu nama dengan catatan dan harapan agar beliau cepat sembuh.
Di Mekah, beberapa hari kemudian, saya mendapat SMS dari Jakarta yang memberitakan bahwa Pak Rosihan akan mengalami operasi jantung yang resikonya berat mengingat usianya yang sudah lanjut.”Mohon didoakan,” pesan SMS itu. Di depan Kabah, saya dan istri dengan khusyu berdoa bagi kesuksesan operasi beliau. Operasi kemudian memang berhasil, tapi Malakul maut tidak peduli, dia datang juga beberapa hari kemudian dan Pak Rosihan akhirnya diberangkatkannya.

Di depan jenazahnya saya menangis untuk seorang senior yang sebenarnya baik, tapi toh tidak sempurna. Ketidaksempurnaan itulah yang muncul dalam bentuk arrogansi dan  sikap meremehkan orang lain.Di depan jenazah saya bersaksi bahwa dengan segala kekurangannya, Rosihan sesungguhnya adalah orang baik.Kesaksian itu bersumber pada pangalaman saya bertahun-tahun dengan beliau di dalam maupun di luar negeri. Di depan jenazah beliau juga saya berdoa agar segala kesalahan dan kekeliruan serta akibat sikap cuek dan arrogan beliau dimaafkan Allah, dan perjalanannya ke hadapan Khaliknya dilancarkan. Saya sudah memaafkannya, semoga Allah secepatnya menghapuskan ingatan dan sisa sakit hati saya kepada perlakuan almarhum di Balai Budaya 40 tahun silam.

Sebagai wartawan dan intelektual, Rosihan Anwar telah berbuat banyak bagi  negeri ini.Karena itu beliau pantas dimakamkan di Taman Pahlawan.****
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *