Penanggulangan Terorisme Masih Menemui Kendala


Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji

Masih terdapat empat masalah pokok dalam pelaksanaan penanggulangan terorisme melalui metode pendekatan lunak atau soft approach. Antara lain karena masih belum optimalnya strategi penanggulangan guna memperoleh hasil yang komprehensif.

Demikian dipaparkan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Agus Surya Bakti dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dalam rangka Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVII di Jakarta, Selasa (2/8). Seminar bertema Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional.

Permasalahan kedua, sambungnya, belum optimalnya segenap potensi sumber daya negara untuk bersama-sama bersinergi melakukan operasi penanggulangan terorisme. Ketiga, belum terdapat sinergi dari semua sektor dalam penanggulangan terorisme. Keempat, belum optimalnya kerja sama dengan luar negeri untuk mengetahui hubungan antar terorisme di Indonesia maupun di luar negeri.

Dikatakan, optimalisasi penanggulangan terorisme melalui penyempurnaan strategi yang difokuskan pada penegakan hukum dan upaya pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi adalah sesuatu yang diharapkan terwujud. Strategi itu diharapkan mampu memanfaatkan segenap potensi sumber daya negara untuk penanggulangan secara optimal.

“Termasuk juga mampu mensinergikan semua insiatif sektoral, serta strategi yang mampu mengoptimalisasi kerja sama internasional guna persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka ketahanan nasional,” kata Agus.

Seperti diketahui, cara yang digunakan dalam metode pendekatan lunak seperti deradikalisasi, peningkatan kemampuan ekonomi, dan penguatan pendidikan dasar. Mengenai opsi deradikalisasi, dianggap sebagai suatu intervensi yang lebih mungkin diterima dan lebih humanis dibandingkan pemisahan dan pemusnahan terhadap orang atau kelompok tertentu.

Gubernur Lemhanas Budi Susilo Soepandji mengutarakan, perjuangan untuk menghilangkan terorisme bukan hanya butuh 1 atau 2 tahun. Bahkan mungkin bisa saja dilakukan 50 tahun yang akan datang.

“Dari tema yang ada, jadi bukan sekedar dar der dor. Tapi, bagaimana kita tetap dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Fenomena gunung es yang kelihatannya kecil di permukaan, tapi di dalamnya penuh perjuangan,” tutur Budi Soepandji.

Diutarakan, persoalan yang ada sangat luas dan mendasar. Terjadinya terorisme di Indonesia disebabkan oleh banyak hal, salah satunya karena lemahnya penegakan hukum dan sistem keamanan kawasan.

Dijelaskan, lemahnya sistem keamanan kawasan yang kemudian dimanfaatkan para penyeludup untuk memasukkan senjata api ke Indonesia, dengan sasaran daerah konflik. Sementara, kualitas sumber daya manusia masih kurang, dan keterpurukan ekonomi yang berkepanjangan menimbulkan kemiskinan.

“Termasuk juga, adanya ketidakadilan di masyarakat. Kata-kata ketidakadilan, bisa saja orang yang kaya tapi menjadi teroris,” tutur Budi yang mencontohkan, orang yang kaya bisa menjadi teroris jika mengalami ketidakadilan oleh lingkungan di sekitarnya karena itu persoalan mendasar.

Contoh lain, turunnya kesadaran wawasan kebangsaan di masyarakat yang kemudian bisa memicu teror bom. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, di satu sisi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Tapi di sisi lain, dapat melunturkan semangat kebangsaan, mengurangi rasa cinta tanah air, dan kesadaran bela negara,” ungkap Budi Soepandji yang juga adik mantan Jaksa Agung Hendarman Soepandji itu

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *