Penanganan bedah saraf, kejar-kejaran antara pemenuhan alkes dan SDM 


Penanganan bedah saraf, kejar-kejaran antara pemenuhan alkes dan SDM 

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 24 September 2022/Indonesia Media – Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp. BS (K), mantan anggota tim dokter kepresidenan di era Presiden Soeharto melihat situasi kejar-kejaran antara pemenuhan pengadaan alat kesehatan (alkes) terutama di daerah dengan upaya peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) kesehatan, yakni dokter bedah di Indonesia. “Kita kejar-kejaran antara (upaya) menyiapkan alkes di daerah, dan produksi SDM yang mampu, kompeten. Mudah-mudahan (alkes dan SDM ilmu bedah saraf) bisa sinkron paralel memajukan sektor kesehatan,” Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.

Selain itu, infrastruktur lain untuk penanganan bedah saraf di Indonesia membutuhkan biaya investasi yang sangat besar. Alkes untuk bedah saraf antara lain CT (computed tomography) scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging). Keduanya digunakan mengetahui secara detail kondisi sistem atau jaringan dalam tubuh pasien, dokter kerap memilih antara CT scan dan MRI. CT scan yang pertama (prioritas), lalu MRI. “Kita juga butuh cathlab untuk melihat pembuluh darah, dan berbagai alat operasi. Selama operasi (bedah saraf), dokter melihat pembuluh darah pasien karena penyakit pembuluh darah di otak. Dengan adanya (alkes) CT Scan, MRI, Ruang CathLab atau biasa disebut juga ruang Angiografi, ahli bedah saraf bisa melakukan yang terbaik,” kata Satyanegara.

Upaya pemenuhan alkes termasuk cathlab tentunya butuh investasi yang besar. Sehingga hal yang tidak kalah penting, perlunya semua pihak saling membantu, termasuk dukungan masyarakat. SDM bedah saraf wajib ada peningkatan di Indonesia dari tahun ke tahun. sementara infrastruktur kesehatan, setiap saat terus berubah karena perkembangan teknologi. “Setiap dua tahun, ada perkembangan baru teknologi infrastruktur kesehatan/kedokteran. Sementara kondisi di Indonesia, perlu pemerataan pelayanan kesehatan sampai ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T),” kata Satyanegara.

Pemenuhan jumlah dokter spesialis bedah saraf di Indonesia juga masih belum ideal. Untuk rencana jangka pendek saja, ahli bedah saraf diharapkan mencapai dua ribu orang. Jumlah tersebut belum ideal terutama untuk penugasan dokter bedah saraf di daerah 3T. Pemerintah memang mengharapkan agar semua ahli bedah saraf tidak terpusat di kota-kota besar, terutama Jakarta. sebaliknya (ahli-ahli bedah saraf) harus ada yang ditempatkan di daerah 3T. Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sekarang ini memang lebih cepat meluluskan peserta, yakni sekitar empat tahun. “Biasanya PPDS sampai lima setengah tahun. Kalau PPDS bedah saraf empat tahun. Dulunya waktu awalnya (PPDS bedah saraf) dibuka, peserta menghabiskan waktu enam tahun. Lalu (masa studi) dikurangi menjadi lima setengah tahun. Tapi rata-rata, dengan (urusan/persyaratan) administrasinya enam tahun,” kata Satyanegara. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *