Menjamurnya anggapan bahwa tidak menggunakan hak pilih (golput) pada pemilu
merupakan solusi yang terbaik untuk Indonesia yang lebih baik merupakan suatu
hal yang disesalkan. Golput bukan solusi untuk menciptakan perubahan ke arah
lebih baik bagi bangsa ini. Sebaliknya, Golput justru akan membawa bangsa ini pada
kehancuran, karena bagaimana mungkin pemerintahan dan pembangunan bisa
berjalan kalau warga negara tidak mau memilih wakil atau pemimpinnya yang akan
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan dan hanya bisa mengeluh ketika
pemimpin yang terpilih bermental buruk dan tidak berkualitas.
Dalam setiap pelaksanaan pemilu tingkat partisipasi masyarakat secara nasional
terus mengalami penurunan, hal ini terbukti pada 1999 tingkat partisipasi sekitar
80 % kemudian pada 2004 menjadi 70 % dan pada 2009 turun lagi hingga di bawah
70 %. Turunnya persentase partisipasi masyarakat tersebut dipengaruhi beberapa
hal seperti kesadaran politik dan tingkat kepercayaan kepada pemerintah yang juga
terus merosot yang dalam hal ini adalah kesadaran akan hak dan kewajibannya
sebagai warga negara untuk ikut menentukan kebijakan pembangunan ke depan,
dimana saat ini kesadaran itu sudah menurun drastis.
Disadari maupun tidak disadari hiruk-pikuk politik menjelang pemilu selalu membawa
dampak negatif bagi kepercayaan masyarakat pada partai politik, ditambah
akumulasi kekecewaan atas sikap partai politik yang cenderung mengabaikan
aspirasi pemilihnya serta sikap dan tingkah laku para politisi yang mengecewakan
rakyat. Akumulasi kekecewaan ini tentunya mengakibatkan terdegradasinya
kepercayaan masyarakat pada partai politik bahkan perpolitikan itu sendiri. Kondisi
ini makin diperparah dengan ulah banyaknya oknum partai yang terjerat kasus
korupsi. Tidak hanya itu saja, ditengah gencarnya pemerintah dan partai politik
untuk memulihkan citranya ada sebagian golongan yang justru membangun
kampanye negatif untuk mendiskreditkan pemerintah dan partai politik dengan
tujuan mengacaukan pikiran pemilih hingga pada akhirnya memilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Delegitimasi terhadap partai politik bukan hanya didengungkan pada proses
pemilu saja, namun pada setiap waktu dan kesempatan, bahkan dalam skala
lokal sekalipun melalui pemilukada disetiap daerah. Kita bisa melihat dengan jelas
kampanye dari sebagian kalangan yg menyerukan ketidak percayaan pada partai
politik ditengah apatisnya para pemilih. Berdasarkan penilaian itu aja kita sudah
bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika hal itu terus dilakukan. Hal itu sudah
pasti akan meyebabkan tingkat partisipasi politik yang rendah dan pada akhirnya
akan menciderai demokrasi itu sendiri karena melahirkan pemimpin-pemimpin yang
berkualitas rendah dan rendah legitimasi.
Hal yang perlu dicermati disini adalah bahwa sesungguhnya yang akan dirugikan
dan yang tekena dampak paling besar atas rendahnya partisipasi politik
adalah ‘pemilih’ itu sendiri yang notabene adalah ‘rakyat’. Secara defacto memang
legitimasi akan sangat rendah namun disisi lain tindakan tidak ikut memilih
(golput) telah melegalkan ‘kursi haram’ untuk diduduki oleh legislator/senator yang
seharusnya tidak memenuhi syarat minimal perolehan suara. Fenomena semacam
inilah yang harus diwaspadai dan menjadi perhatian kita bersama, dimana sisa kursi
akibat kurangnya jumlah suara yang masuk akan kembali diperebutkan partai politik
melalui perhitungan tahap ke dua, tiga dan seterusnya yang pada akhirnya kursi
yang kosong akan tetap diisi oleh kader partai politik yang memperoleh suara minim
sekalipun.
Intinya sisa kursi yang seyogianya adalah suara mereka yang tak memilih akan
dialihkan dan dikonversikan keseluruh partai yang lolos ke parlemen dan dibagi
secara proporsional menurut perolehan suara masing-masing partai politik. Jadi jika
kita tidak memilih maka sistem akan memilihkan dengan paksa sebuah pilihan untuk
kita, dan yang pasti pilihan itu tidak pernah terbayangkan oleh pemilih itu sendiri
sungguh ironis but “that’s the fact”. Perlu diketahui juga bahwa pembagian jatah sisa
kursi akibat rendahnya partisisipasi pemilih akan semakin terakumulasi dengan kursi
yang ‘ditinggalkan’ oleh peserta/partai yang tak lolos ke parlemen akibat penetapan
ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 3.5%. Dengan kata lain partai
politik yang lolos ke parlemen akan semakin banyak memperoleh kursi ‘gratis’ tanpa
bersusah payah berjuang dalam kancah politik sehingga dalam perjalanannya akan
berdampak pada psikologis anggota dewan tersebut (corrupt).
Jika kondisi ini terus terjadi, maka tidak perlu heran jika semakin banyak anggota
dewan yang tak memperdulikan aspirasi rakyat, dan secara kualitaspun juga patut
dipertanyakan, mereka sadar keterpilihannya juga berkat banyaknya yang tak
memilih (golput/ suaranya minim). Setelah hal itu terjadi sudah dipastikan akan
banyak bermunculan pahlawan kesiangan yang taunya hanya mengeluh namun
tidak memberikan kontribusi sama sekali atau Golput dan sebagainya karena
pada akhirnya masyarakat jugalah yang akan dirugikan dengan tingkah laku para
anggota dewan yang corrupt tersebut. Melalui tulisan ini penulis ingin menghimbau
masyarakat yang masih memiliki akal sehat dan logika berpikir yang jernih untuk
menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi 2014, karna sesungguhnya
kedaulatan itu ada ditangan kita (rakyat) dan sesungguhnya memilih itu juga dituntut
untuk bertanggungjawab, maka tidak memilih adalah sebuah tindakan yang lari dari
tanggungjawab, dan lari dari tanggung jawab adalah sebuah tindakan pengecut
dan sangat tidak bijak. Jangan jadi masyarakat yang suka mengeluh tapi jadilah
masyarakat perintis perubahan.
kamu menyakiti pemilih kamu,selanjutnya kamupun tdk akan dipilih lagi..itu hukum alam
kamu tdk kenal kami ,maka kamipun tdk kenal kamu..ngapain milih kamu
kamu tdk memperhatikan rakyat,rakyat juga tdk akan memilih kamu..
keberadaan kamu tdk bermanfaat bg rakyat,maka rakyat juga ga akan memilih kamu..
makanya kamu caleg mikir pake otak rakyat sdh pintar..jaman pembodohan sdh lewat
GOLPUT MEMANG BUKAN SOLUSI, TAPI GOLPUT SALAH SATU PIHAN DARI PADA SALAH MEMILIH WAKIT RAKYAT.