MK Putuskan KPK Tak Perlu Izin Dewan Pengawas untuk Menyadap, Menggeledah, dan Menyita


Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan memberikan izin tertulis kepada lembaga antikorupsi terkait penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Dewas berharap putusan MK tersebut memperkuat kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

“Dewas tentu menghormati keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.”

“Dengan tidak adanya keharusan minta izin Dewas, semoga saja bisa meningkatkan kinerja penindakan KPK,” kata anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris saat dikonfirmasi, Rabu (5/5/2021).

Hal senada dikatakan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

Dengan putusan MK, kata Tumpak, Dewas tidak akan lagi menerbitkan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

“Tentunya kita harus menghormati putusan MK yang sejak diucapkan telah mulai berlaku, dan selanjutnya Dewas tidak menerbitkan izin sadap, geledah, dan sita lagi.”

“Tiga tugas lain dari Dewas tetap dilaksanakan secara efektif,” kata Tumpak.

Tumpak mengaku belum mengetahui sejauh mana pengaruh putusan itu terhadap kerja KPK.

Namun, Tumpak berharap putusan itu semakin memperkuat kerja KPK dalam menindak korupsi.

“Tentang apakah KPK akan menjadi lebih kuat dengan dicabutnya tugas Dewas memberikan izin tersebut, tentunya kita lihat dalam pelaksanaannya ke depan.”

“Harapannya tentu akan lebih baik,” tuturnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian dari gugatan uji materil terhadap UU 19/2019 tentang KPK, pada perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 yang digugat oleh Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dkk.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, dalam sidang yang disiarkan secara virtual, Selasa (4/5/2021).

Fathul menggugat pasal 12B, 37 B ayat 1 huruf B, dan pasal 47 ayat 2 UU KPK, yang mengatur tentang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK merupakan bagian dari tindakan pro justisia.

“Maka izin dari Dewan Pengawas yang bukan merupakan unsur penegak hukum menjadi tidak tepat,” ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih, saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Atas dasar itu, Mahkamah menyatakan frase di Pasal 47 ayat 1 yang berbunyi “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”, akan dimaknai menjadi “dengan memberitahukan Dewan Pengawas.”

Mahkamah mengatakan, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, hanya diwajibkan memberitahukan tindakan mereka kepada Dewan Pengawas atau Dewas KPK paling lambat 14 hari kerja, sejak penyadapan dilakukan.

“Sedang penggeledahan dan penyitaan diberitahukan kepada Dewan Pengawas 14 hari kerja sejak selesainya dilakukan penggeledahan/penyitaan,” ucap Mahkamah

Sebelumnya, MK menolak gugatan uji formil UU KPK, yang diajukan sejumlah mantan pimpinan KPK seperti Agus Rahardjo, Laode M Syarif, hingga Saut Situmorang.

Dalam sidang agenda pembacaan putusan perkara nomor 79/PUU-XVII/2019, MK menyatakan menolak permohonan provisi maupun pokok permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

“Mengadili dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon.”

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman membaca amar putusan dalam sidang daring, Selasa (4/5/2021).

Dalam pertimbangannya, MK menolak dalil pemohon soal UU 19/2019 tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum.

Dalil tersebut menurut MK tidak beralasan hukum.

MK berpendapat ternyata rancangan undang-undang a quo telah terdaftar dalam Prolegnas, dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas DPR.

Terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan undang-undang, hal tersebut berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut.

Sehingga, tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasinya.

Sementara soal asas keterbukaan, anggota Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan berdasarkan bukti lampiran dari DPR terkait rangkaian diskusi publik, DPR sudah melakukan sejumlah seminar nasional di beberapa universitas.

Seperti, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara, hingga Universtias Nasional Jakarta.

DPR juga telah melakukan RDPU dengan akademisi Universitas Ibnu Chaldun, RDPU dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia, RDPU dengan Yusril Ihza Mahendra, dan RDPU dengan Romli Atmasasmita.

Berdasarkan surat DPR, DPR tanggal 3 Februari 2016 mengundang pimpinan KPK untuk RDP pengharmonisasian RUU 19/2019.

Namun, Mahkamah menemukan fakta beberapa kali pihak KPK menolak hadir dalam pembahasan revisi UU KPK.

“Hal demikian berarti bukan pembentuk UU (Presiden dan DPR) yang tidak mau melibatkan KPK, tapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan,” ujar Saldi Isra.

Sedangkan soal dalil tidak kuorum, Mahkamah tidak punya keyakinan cukup soal kehadiran anggota DPR dalam rapat revisi UU KPK tersebut.

Sebab, pihak Pemohon hanya mengajukan bukti berupa fotokopi suasana rapat dan artikel media massa yang tidak menjelaskan keterpenuhan kuorum berdasarkan kehadiran fisik.

Di sisi lain, DPR juga hanya mengajukan bukti rekapitulasi yang memuat kehadiran anggota, serta video rapat paripurna.

Menurut MK, pembuktian tidak cukup hanya dengan menyerahkan daftar hadir, apalagi jumlah rekapitulasi kehadiran.

“Berdasarkan fakta tersebut, untuk kepentingan pembuktian pengujian formil pemohon dan pembentuk UU tidak cukup hanya mengajukan bukti untuk membuktikan kehadiran anggota DPR hanya daftar hadir yang ditandatangani.”

“Apalagi hanya menyerahkan jumlah rekapitulasi kehadiran,” jelasnya. ( WK / IM )

 

 

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *