Minoritas


Gus Dur memang benar. Ternyata, hidup sebagai minoritas itu susah. Maka, perjuangan Gus Dur membela kaum minoritas di persada Nusantara tercinta ini sungguh luhur.

Jaya Suprana - penulis

Di luar pilihan dan kehendak diri sendiri, saya dilahirkan di bumi Indonesia sebagai manusia yang secara antropologis tergolong etnis Tionghoa. Akibat lahir-batin bertumbuh-kembang di keluarga yang bersikap dan berperilaku budaya Jawa, semula saya tidak sadar bahwa berdasarkan statistik populasi Indonesia saya tergolong minoritas.

Semula saya merasa sama saja seperti warga negara Indonesia lain sebab perilaku saya memang lebih berbudaya Indonesia ketimbang Tionghoa. Saya tidak bisa makan pakai sumpit, tidak bisa berbahasa Tionghoa nasional (Mandarin) ataupun dialek, tidak setuju komunisme yang dianut RRTiongkok, lebih mengagumi Semar ketimbang Jilayhud, meyakini Anoman lebih sakti ketimbang Sun Go Kong, dan sukma lebih tergetar di saat mendengar “Indonesia Raya” ketimbang lagu kebangsaan RRTiongkok yang namanya saja saya tidak tahu. Di saat

Gus Dur

mendengar alunan lagu “Indonesia Pusaka”, saya tidak pernah mampu menahan tetesan air mata terharu. Repertoar konser keliling saya di delapan belas negara hanya musik Nusantara tanpa musik Barat apalagi Tiongkok. Pendek kata, akibat yakin bahwa saya warga negara Indonesia sejati, maka saya gigih menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia!

Hanya saat mengurus keperluan administratif, saya baru tersadar bahwa meski de jure sudah resmi menjadi warga negara de facto saya diperlakukan seperti bukan warga negara Indonesia. Terutama saat huru-hara rasialis yang terjadi menjelang ataupun pascareformasi secara berkala, mendadak saya sadar bahwa ternyata saya keturunan Tionghoa.

Meski tanpa salah apalagi dosa –kecuali kebetulan dilahirkan di Indonesia oleh ibunda keturunan Tionghoa–saat huru-hara rasialis memang lebih baik saya menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh para huru-harawan yang mendadak bernafsu ingin membasmi habis mereka yang tampak seperti orang Tionghoa.

Teman-teman suku Manado, Dayak, atau Sunda sebaiknya juga jangan menampakkan diri saat para huru-harawan sedang dalam kondisi amarah membara karena warna kulit dan bentuk mata mereka mirip Tionghoa! Sebaliknya, ayah saya yang kebetulan tidak bermata sipit dan berwarna kulit sawo matang malah selalu aman dan selamat dari angkara murka para huru-harawan anti-Tionghoa.

Nasib – Saya sebenarnya sudah terbiasa sehingga pasrah didiskriminasi sebagai minoritas. Namun, mendadak datanglah Gus Dur ke marcapada untuk membela kepentingan dan menjunjung tinggi hak asasi kaum minoritas yang juga manusia. Dengan gaya tanpa peduli tentangan apa, mana dan siapa pun, Gus Dur membasmi segenap larangan terhadap semua yang berbau Tionghoa. Mulai dari aksara, bahasa Tionghoa, sampai hari raya Imlek. Malah sebaliknya, praktik diskriminasi ras resmi dilarang melalui UU Anti-Diskriminasi Ras.

Berkat Gus Dur, tiba masa habis-gelap-datang-terang bagi kaum minoritas warga Indonesia keturunan Tionghoa. Euforia kegembiraan dan kebahagiaan mewarnai kehidupan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang sebelumnya sudah terbiasa didiskriminasi!

Namun, nasib saya sebagai minoritas belum selesai. Ternyata, saya tergolong minoritas di dalam minoritas! Di masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, juga masih ada diskriminasi. Warga keturunan Tionghoa di Indonesia masih terpecah-pecah menjadi aneka-ragam suku, antara lain Khek, Hok Jia, Konghu, Tiochiu, Hakka, dan Babah. Ada suku yang merasa diri lebih superior ketimbang suku lain, padahal sama- sama Tionghoa. Secara psikokultural, warga keturunan Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi kelompok yang menganggap diri asli dan kelompok yang dianggap tidak-asli.

Yang merasa dirinya asli, mengutamakan Tanah Leluhur sebagai tempat asal-usul para leluhurnya, sementara yang dianggap tidak-asli menjunjung tinggi Tanah Air di mana dirinya dilahirkan. Yang merasa asli menganggap dirinya berharkat-martabat lebih tinggi ketimbang yang dikelompokkan tidak-asli.

Naas, ternyata kesukuan saya tergolong ke Babah yang dianggap tidak asli. Ketidak-aslian saya masih diperparah perilaku sikap- pribadi saya yang memang telanjur lebih berbudaya Jawa ketimbang Tionghoa. Keminoritasan pribadi saya di dalam keminoritasan kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia makin diperminoritas falsafah hidup saya yang bukan Konfusius, melainkan falsafah Jawa: ojo dumeh.

Alhasil, perilaku bisnis saya terlalu berat dibebani nilai-nilai etika, moral, dan moral hingga saya tidak pernah tega memanfaatkan hubungan pribadi dengan teman-teman yang kebetulan memiliki kekuasaan politik atau militer untuk tujuan bisnis. Tidak mengherankan apabila di antara sesama keturunan Tionghoa, saya dianggap makhluk bo cwan, bo lui, bo jai, yang artinya tidak menguntungkan, tidak mendatangkan duwit, sehingga akhirnya ya tidak berguna!

Lebih parah lagi, akibat lebih membela Tanah Air ketimbang Tanah Leluhur, saya kerap dituduh durhaka, pengkhianat, dan kirno (mungkir cino). Saya belum sempat curhat tentang nasib keminoritasan di dalam minoritas yang diperminoritas itu kepada Gus Dur sebab sang mahaguru bangsa dan mahapembela minoritas tersebut telah terlalu dini meninggalkan dunia fana ini. (Penulis adalah  Budayawan Indonesia/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *