Merpati Tua Makin Sengsara . Cerita Lama Memanas Kembali


DUA cangkir teh hangat dan sepiring kacang menemani pertemuan Iwan Nurjadin dan Sardjono Jhony Tjitrokusumo di Majapahit Lounge, Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Sabtu tiga pekan lalu. Mereka mengobrol santai. Sesekali diselingi canda tawa. Namun materi pembicaraan empat mata sore itu sangat serius. Iwan, pengacara dari kantor hukum Nurdjadin Sumono Mulyadi Pratanto, menagih komitmen Sardjono, Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, membayar sewa dua pesawat kepada Jetlease Inc.

Iwan ditunjuk perusahaan penyewaan pesawat asal Houston, Amerika Serikat, itu untuk menangani piutang di Merpati. Jumlahnya memang tak besar-besar amat. Saat pertemuan tiga pekan lalu tagihannya hanya US$ 600 ribu (sekitar Rp 5,4 miliar). Tapi, Selasa pekan lalu, tunggakan bertambah menjadi US$ 750 ribu. Itu pun belum termasuk denda keterlambatan pembayaran. “Angkanya terus bergerak karena berganti bulan dan jumlah pemakaian pesawatnya,” kata Iwan kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Menurut Presiden Jetlease Inc Jeremy Turner, Merpati terakhir kali membayar sewa dan dana cadangan pera-watan dua bulan lalu. “Mereka memohon, benar-benar kehabisan uang,” katanya lewat surat elektronik, Rabu lalu. Merpati berdalih belum menerima dana restrukturisasi dari pemerintah. Jetlease- tak mau tahu. Pekan lalu, mereka mengancam akan menyita pesawat-pesawat yang disewa Merpati.

Sardjono membenarkan Merpati belum membayar sewa pesawat dari Jetlease. Tapi ternyata tagihan bukan hanya datang dari perusahaan ini. Tagihan juga datang dari tujuh lessor (perusahaan penyewaan) lainnya, yakni ACG Acquisition, Aircastle Intrepid, Jetscape, Apollo, Aeroturbine, ST Aerospace, dan Shanon. Tiga lessor terakhir menyewakan mesin pesawat. “Mau bagaimana lagi, duitnya belum ada?” katanya kepada Tempo di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Tapi Sardjono membantah Merpati tak berkomitmen membayar sewa. Hingga Mei 2011, utang kepada delapan perusahaan penyewaan tadi tinggal tersisa US$ 4,8 juta dari posisi tahun lalu US$ 24,08 juta. “Asal sabar, pasti kami bayar, paling lambat akhir tahun.”

l l l

TAK mengagetkan bila Merpati kesulitan membayar sewa. Maskapai pelat merah ini memang sedang sempoyongan lantaran kekurangan modal. Tiga tahun sudah Merpati menjadi “pasien” PT Perusahaan Pengelola Aset, perusahaan pemerintah untuk menyehatkan badan usaha milik negara. Laporan keuangan Merpati membaik, tapi bukan dari keuntungan, melainkan berkurangnya kerugian.

Tahun lalu kerugian Merpati mencapai Rp 192,7 miliar, lumayan bagus jika dibanding beberapa tahun sebelumnya, ketika perusahaan ini tekor hingga lebih dari setengah triliun rupiah. Memang, pada 2009 Merpati sempat untung Rp 16,6 miliar. Tapi itu pun dari hasil penjualan gedung senilai Rp 185 miliar kepada Badan SAR Nasional. “Sebenarnya sekarang mulai membaik, tapi memang belum sempurna,” kata Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset Boyke Eko Wibowo Mukijat di Jakarta pekan lalu.

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah Merpati dari kebangkrutan. Sejak 1997 hingga 2007, pemerintah membantu Merpati dengan menambah modal baru-berupa penempatan modal negara-Rp 1,34 triliun. Tapi hanya Rp 534 miliar berupa dana segar. Sisanya nontunai, berupa pengalihan saham PT Garuda Indonesia dan modal alat kerja, seperti 17 unit F-28 dan tiga unit Fokker 100.

Terakhir kali Merpati memperoleh dana Rp 310 miliar dari Perusahaan Pengelola Aset pada 2008. Dana pinjaman program restrukturisasi tahun pertama ini belakangan dicairkan Rp 293,6 miliar. Dua pertiga di antaranya untuk merumahkan 1.171 karyawan, sehingga kini pegawai maskapai tersisa 1.300-an karyawan serta 800 pegawai sewa (outsourcing).

Toh, defisit seolah tak mau lepas dari keuangan Merpati. Komisaris Utama Merpati, Said Didu, menilai jumlah armada Merpati sebanyak 34 pesawat tak akan bisa menopang biaya operasional perseroan. Apalagi Merpati diberi mandat melayani rute perintis yang berskala bisnis kecil di Indonesia timur. Untuk mencapai titik impas (break even point), Merpati sedikitnya harus mengoperasikan 70 pesawat terbang.

Itu sebabnya, sejak pertengahan tahun lalu Merpati menyusun rencana bisnis untuk lima tahun mendatang. Isinya rencana restrukturisasi tahap kedua yang akan dilakukan tahun ini. Singkat kata, Merpati butuh dana segar lagi dari pemerintah. “Dari mana lagi kalau bukan pemerintah?” ujar Said. Merpati sadar, dengan neraca keuangan minus ratusan miliar rupiah, mustahil memperoleh duit dari lembaga pembiayaan.

Sejak awal Januari lalu, tim dari Perusahaan Pengelola Aset mengkaji rencana bisnis yang rampung dibuat oleh Merpati pada akhir 2010. Dalam perencanaannya, maskapai yang tahun depan genap separuh abad itu berharap memperoleh suntikan dana segar Rp 600 miliar.

Masalahnya, “pasien” Perusahaan Pengelola Aset bukan hanya Merpati. Dalam setahun terakhir 16 perusahaan milik negara lainnya juga jadi langganan, seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Indonesia. Alhasil, Perusahaan Pengelola Aset hanya mampu mendanai Merpati untuk restrukturisasi tahap kedua sebesar Rp 561,7 miliar. “Itu semua akan diambil dari dana penyertaan modal negara,” kata Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Pengelola Aset Renny Rorong.

Ternyata persoalan tak sesederhana itu. Meski diberi pinjaman lagi, Merpati tak akan sembuh selama beban utang tak berkurang. Tahun lalu saja, selain tagihan dari para lessor, tagihan kepada Merpati mencapai lebih dari Rp 4 triliun, dua kali lipat dari total asetnya. Utang Rp 1,9 triliun berasal dari swasta dan perusahaan milik negara lainnya, seperti PT Pertamina, PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, dan PT Perusahaan Pengelola Aset. Sisanya berasal dari program penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement) untuk pengadaan 15 unit MA-60 dari Xi’an Aircraft Industrial Corporation, Cina.

Sadar perusahaan tak akan bisa bertahan dengan kondisi tersebut, Merpati tak hanya mengiba suntikan dana, tapi juga berharap seluruh utang tadi dialihkan menjadi penyertaan modal. “Inilah yang bikin lama. Kreditor-kreditor mereka tak akan mau,” kata sumber di Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Sebaliknya, menurut Jhony dan Said, konversi saham seperti itu wajar dilakukan, seperti halnya ketika PT Bank Mandiri Tbk mengkonversi utang PT Garuda Indonesia Tbk dalam program restrukturisasi maskapai nasional terbesar itu.

Meskipun terkesan lambat, naga-naganya keinginan Merpati bakal kesampaian. Dalam hasil kajian Perusahaan Pengelola Aset yang rampung dua pekan lalu, terdapat opsi pengalihan utang Merpati sebesar Rp 2,1 triliun dari program pengadaan MA-60 menjadi penyertaan modal negara. Jika opsi tersebut dipilih, total utang Merpati tahun depan tinggal Rp 2,39 triliun. Dengan begitu kecukupan kas Merpati membayar utang sebesar 16 persen dan akan lunas enam tahun kemudian.

Sebaliknya, jika utang pembelian MA-60 tak dikonversi, total utang Merpati mencapai Rp 4,63 triliun dan baru akan lunas 12 tahun lagi. “Sudah kami ajukan dan sekarang tinggal menunggu keputusan Komite Restrukturisasi dan Revitalisasi,” kata Boyke. Program penyehatan tak akan dilakukan jika tak memperoleh persetujuan Komite Restrukturisasi, yang terdiri dari Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan. “Sudah diterima, segera dijadwalkan pembahasannya,” kata Achiran Pandu Djajanto, Deputi Menteri BUMN.

Dasar apes, belum sempat rencana restrukturisasi tahap kedua dibahas dalam Komite Restrukturisasi, Merpati kena musibah. Pesawat MA-60 dengan nomor registrasi PK MZK jatuh ke laut dekat Bandara Utarung, Kaimana, Papua Barat, Sabtu siang dua pekan lalu. Sebanyak 19 penumpang dan 6 awak Merpati tewas. Kecelakaan MA-60 ini langsung mengundang perhatian media, tak terkecuali Dewan Perwakilan Rakyat.

Pekan lalu, dua hari berturut-turut Komisi Keuangan DPR memanggil pemerintah dan direksi Merpati. Alih-alih membicarakan sengkarut keuangan Merpati, anggota Dewan malah mencecar proses pengadaan MA-60 dari Xi’an Aircraft (lihat “Cerita Lama Memanas Kembali”).

Kejadian itu memperberat bisnis Merpati. Selain rencana persetujuan dana restrukturisasi tahun ini terancam molor, berkurangnya armada menggerus potensi pendapatan. Walhasil, sementara ini Iwan hanya bisa gigit jari. “Yang bisa menolong Merpati sepertinya cuma pemerintah,” katanya. Meskipun begitu, ancaman Jetlease menarik dua pesawat Boeingnya tetap berlaku jika bulan depan Merpati tak mencicil utangnya.

 

Cerita Lama Memanas Kembali

CERITA lama kontroversi pengadaan pesawat Merpati Nusantara Airlines tipe MA-60 sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kamis siang pekan lalu, Presiden langsung memimpin rapat kabinet untuk membahas pesawat yang dibeli dari Xi’an Aircraft Industrial Corporation, China, itu. Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar dan Menteri Perhubungan diminta menjelaskan latar belakang pembelian pesawat tersebut. “Biar masyarakat dapat penjelasan gamblang,” kata Yudhoyono di Jakarta.
MA-60 jadi buah mulut setelah jatuh ke laut dekat Bandar Udara Utarung, Kaimana, Papua Barat, Sabtu dua pekan lalu. Sebanyak 19 penumpang dan 6 awak Merpati tewas. Media lalu meng-ungkit-ungkit pengadaan pesawat berbaling-baling ganda itu, yang prosesnya dilakukan sejak enam tahun silam. MA-60 semakin menjadi bola panas setelah Dewan Perwakilan Rakyat ikut berkoar-koar.
Dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR, Selasa dan Rabu malam pekan lalu, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat mencecar perwakilan pemerintah yang dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Mulia Nasution. Para anggota Komisi Keuangan tak menggubris penjelasan tentang kinerja keuangan Merpati. Mereka hanya berfokus menyoroti kontroversi pengadaan MA-60 dari Tiongkok.
Anggota Komisi XI, Arif Budimanta, merasa ada kejanggalan dalam pembelian MA-60. Semula proses pengadaannya dilakukan secara bisnis (business to business) antara Merpati dan Xi’an. Tapi belakangan diubah menjadi kesepakatan antarpemerintah (government to government). “Ini mengherankan,” ujar anggota dari Fraksi PDI Perjuangan itu. “Kami minta penjelasan mengapa kontrak sudah dulu diteken sebelum ada persetujuan dari DPR,” ujar Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menambahkan.

l l l

PENGADAAN MA-60 bermula dari keinginan Merpati memiliki pesawat komuter propeler berkapasitas 50 penumpang yang bisa menjangkau 200 kabupaten, terutama di Indonesia timur. Sumber Tempo mengisahkan, manajemen Merpati telah menemui pabrikan pesawat top, seperti Bombardier Canada (produsen pesawat Q-400), Avions de Transport Regional (produsen pesawat patungan Italia dan Prancis), serta Embraer (produsen pesawat Brasil).
Tapi pendanaan selalu menghambat upaya ini. “Mereka tidak bersedia memberi 100 persen pembiayaan,” ujarnya. Bank Exim dan pemerintah produsen pesawat tersebut memasang bunga komersial. Itu pun mesti dijamin pemerintah Indonesia.
Awal 2005, kata dia, Xi’an menawarkan MA-60. Semula manajemen Merpati menolak karena “sindrom buatan China”. Tapi manajemen Xi’an menjelaskan semua komponen utama MA-60 menggunakan teknologi Barat. Mesinnya dari Pratt Whitney Amerika Serikat atau propeler dari Sustrand Amerika. Desain Cina hanya modifikasi bingkai udara, yang aslinya dari Antonov Rusia. Manajemen Merpati kepincut.
Singkat cerita, Direktur Utama Merpati saat itu, Hotasi Nababan, menandatangani kontrak jual-beli pesawat dengan Xi’an. Merpati setuju membeli 15 unit MA-60 senilai US$ 232,4 juta (sekitar Rp 2 triliun) pada 7 Juni 2006. Awalnya, transaksi akan dilakukan secara bisnis antara Merpati dan Xi’an. Tapi, lantaran Merpati tak punya uang, skema diubah menjadi perjanjian antarpemerintah.
Kebetulan pemerintah China dan Indonesia juga setuju. Lalu dituangkan dalam sebuah perjanjian pinjaman (government concession loan agreement) antara Bank Exim China (The Export-Import Bank of China) dan Departemen Keuangan pada 5 Agustus 2008.
Bank Exim China akan memberikan fasilitas pembiayaan maksimal 1,8 miliar renminbi. Masa pinjamannya maksimal 15 tahun, dengan bunga 2,5 persen per tahun. Lantaran pinjaman Bank Exim China diberikan kepada pemerintah Indonesia, Merpati harus menandatangani perjanjian penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement) dengan Departemen Keuangan, agar bisa mendapatkan kredit pembelian pesawat itu.
Namun transaksi tak berjalan mulus. Pemerintah tak kunjung meneken perjanjian penerusan pinjaman dengan Merpati. Penyebabnya, Komisaris Utama Merpati Said Didu menolak meneken rekomendasi kepada direksi untuk melakukan transaksi itu. Said keberatan harga jual MA-60 US$ 15 juta sebiji dan risiko bisnis yang ditanggung Merpati. “Saya minta kontrak diamendemen,” ujarnya di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Dalam kontrak amendemen, kata Said, komisaris dan direksi Merpati meminta transaksi dilakukan dalam mata uang rupiah. Tujuannya menghindari dampak depresiasi (pelemahan) renminbi China terhadap dolar Amerika, dan juga rupiahsemakin lemah yuan China, nilai yang dibayar Indonesia semakin mahal.
Selain itu, Xi’an Aircraft harus memberikan perawatan gratis, termasuk suku cadangnya, tatkala MA-60 rusak akibat baby sickness alias kerusakan dini ketika pesawat baru saja dioperasikan. Xi’an juga, ujar Said, harus membeli kembali MA-60 bila pesawat itu rusak sebelum massa kontrak habis 25 tahun. “Xi’an harus ambil dengan harga buku, bukan harga pasar.”
Keinginan Merpati merevisi kontrak pembelian MA-60 mentok. Xi’an belum merespons. Pemerintah Negeri Tirai Bambu memprotes karena Indonesia tak kunjung meneken perjanjian penerusan. Hampir dua tahun pembelian MA-60 terkatung-katung. Belakangan Xi’an melunak. Produsen pesawat berbasis di Distrik Yanliang, Provinsi Shaanxi, ini mau mengamendemen kontrak jual-beli MA-60 pada Oktober 2009. “Dengan kontrak baru, Merpati tak punya risiko bisnis lagi,” kata Said.
Kementerian Keuangan juga mengubah perjanjian penerusan dengan Merpati. Transaksi disetujui dalam mata uang rupiah dengan kurs dolar dipatok maksimal Rp 10 ribu. Dengan amendemen kontrak dengan Xi’an dan pemerintah, kata Said, harga MA-60 jadi turun menjadi US$ 11,2 juta dari sebelumnya US$ 15 juta.
Setelah kontrak baru direvisi, akhirnya Said Didu mau meneken rekomendasi buat direksi. Selanjutnya perjanjian penerusan pinjaman dengan Merpati akhirnya diparaf Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada Juni 2010. Lima bulan kemudian, MA-60 akhirnya datang ke Indonesia.

l l l

SETELAH MA-60 diterima Merpati, bukan berarti persoalan tuntas. Maskapai pelat merah ini malah kelimpungan karena pemerintah “ingkar janji”, tak mengucurkan modal kerja Rp 30 miliar buat keperluan operasional 15 pesawat itu. “Dana ini buat modal membeli avtur (bahan bakar),” ujar Direktur Utama Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo di Jakarta pekan lalu.
Akhirnya Merpati gali lubang untuk menutup seretnya bantuan dana. Padahal keuangan perseroan ini sedang kembang-kempis. Sejak dua tahun lalu, Merpati meminta setoran tambahan duit Rp 600 miliar, plus konversi utang pembelian MA-60 senilai Rp 2,1 triliun menjadi saham.
Memiliki MA-60 juga tak lantas membuat Merpati sehat. Penyebabnya, hasil operasi pesawat itu tak bisa dinikmati maskapai ini karena harus disetorkan ke rekening penampungan pemerintah. “Merpati sekadar mengoperasikan, tak menerima apa pun,” kata Said.
Derita tak berhenti di situ. Meski sudah meneken pinjaman penerusan, sampai sekarang ternyata Merpati masih belum membayar management fee pengadaan MA-60 dan belum melunasi denda-dendanya. “Memang tak sanggup bayar, mau bagaimana lagi?” kata Sardjono.
Kecelakaan MA-60 di Papua jadi pukulan baru. Senin sore pekan lalu dua hari setelah insidenMenteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar menggelar rapat mendadak bersama komisaris dan direksi Merpati di kantor Kementerian BUMN.
Menurut sumber Tempo, Menteri mengkhawatirkan kontroversi pengadaan MA-60. Sejumlah petinggi kementerian itu mengusulkan pemerintah, komisaris, dan direksi Merpati menyamakan persepsi agar masalah MA-60 tak menggelinding jadi bola liar. “Persepsi yang mau disamakan soal tak ada makelar dalam pengadaan MA-60,” tuturnya.
Said Didu menolak usul ini. “Biarkan informasi pengadaan MA-60 sesuai dengan faktanya,” ujar sumber Tempo mengutip Said. Sayangnya, bekas Sekretaris Menteri BUMN ini enggan berkomentar banyak. “Tak perlulah diceritakan,” ujarnya.
Kini Merpati pusing tujuh keliling. Sebelum insiden kecelakaan dan polemik pengadaan MA-60 mencuat, tingkat keterisian penumpang pesawat lebih dari 65 persen. Sekarang paling banter hanya 60 persen. Sardjono pun waswas, ribut-ribut MA-60 membuat Merpati makin sempoyongan.
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

286 thoughts on “Merpati Tua Makin Sengsara . Cerita Lama Memanas Kembali

  1. Mrs Michellen
    February 28, 2015 at 3:30 am

    BERLAKU UNTUK KREDIT ANDA

    Apakah Anda seorang pengusaha atau wanita? Apakah Anda stres keuangan? Anda perlu uang untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memiliki pendapatan rendah dan sulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya? Jawabannya ada di sini, MichelleN Haward Kantor Pinjaman adalah jawaban untuk menawarkan semua jenis pinjaman kepada masyarakat atau siapa pun di Nees bantuan keuangan. Kami memberikan pinjaman sebesar 2% suku bunga untuk individu, perusahaan dan perusahaan di bawah kondisi yang jelas dan mudah. hubungi kami hari ini via e-mail di michellenhawardloans@gmail.com

    Catatan: Semua pemohon harus di atas 18 tahun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *