Meredupnya Gerakan (Mahasiswa) Kritis


Sepertinya gerakan mahasiswa saat ini sudah mulai meredup. Suara-suara kritis mahasiswa sudah jarang terdengar. Padahal, persoalan bangsa semakin besar.
Dalam bidang politik dan hukum misalnya, persoalan korupsi dan mandulnya penegakan hukum merupakan persolan mendasar. Sementara dalam bidang ekonomi ditandai dengan ketidakberdayaan rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan segala aspek kehidupan berbangsa ditandai dengan segudang persoalan. Lantas, dimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change dan agent of social control?
Kalau kita amati akhir-akhir ini, suara kritis justru datang dari masyarakat biasa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Misalnya suara penolakan gedung baru DPR dan kritikan terhadap pemerintahan SBY-Boediono, lebih sering disuarakan masyarakat biasa. Timbul pertanyaan, ada apa dengan gerakan mahasiswa sekarang ini?
Faktor Penyebab :
Kalau dianalisis, banyak faktor penyebab tumpulnya taring gerakan mahasiswa. Antara lain; sistem pendidikan yang membatasi masa studi, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan segelintir orang, terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan teknologi informasi.
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahannya, maka mahasiswa bersangkutan harus siap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa studi mahasiswa di PTN berkisar antara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya hanya 3-4 tahun.
Kondisi demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilai yang tinggi, berupaya cepat tamat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi. Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa organisasi akan mengganggu perkuliahan. Kalau pun ikut berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung nilai dan cepat tamat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai jarang diminati mahasiswa.
Pembatasan masa studi tersebut lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Mahasiswa diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang sistem pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk dan kampus adalah mesin penghasil produk. Mahasiswa sebagai produk akan diserahkan kepada pasar. Sistem seperti ini secara tidak langsung melemahkan gerakan mahasiswa. Karena sistem pasar tidak pernah menginginkan suara-suara kritis.
Kalau pun ada organisasi yang kritis, sangat sulit menyatukan sikap dengan organisasi kritis yang lain, meskipun perjuangannya sama yakni memperjuangkan rakyat. Hal ini terjadi karena sudah ada saling mencurigai dengan kelompok lain, apalagi hal yang dikritisi adalah isu politik. Tidak terkonsolidasinya gerakan ini tidak terlepas dari tidak adanya isu bersama yang dijadikan sebagai perjuangan bersama.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 yang mempunyai isu bersama yakni menjatuhkan pemerintah yang berkuasa karena dinilai telah melanggar konstitusi. Gerakan mahasiswa itu pun bisa bersatu karena situasi politik dan ekonomi pada masa itu sedang kacau sehingga hal yang diinginkan adalah perubahan.
Sedangkan sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya hanya sibuk bersaing menanamkan pengaruh di kampus. Hanya saja yang paling menonjol adalah eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan mahasiswa baru tampak jelas “persaingan” mencari kader-kader baru. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader baru.
Dalam demokrasi di kampus melalui pemilihan presiden mahasiswa (tingkat universitas), gubernur mahasiswa (tingkat fakultas), dan ketua himpunan mahasiswa (tingkat jurusan/departemen), yang tampak adalah kepentingan segelintir orang dan kepentingan organisasi tertentu, termasuk organisasi ekstra kampus. Maka tidak mengherankan, organisasi kemahasiswaan di kampus, katakanlah senat mahasiswa, nihil dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa itu sendiri.
Parahnya, jabatan-jabatan sebagai senat mahasiswa hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Misalnya, meningkatkan posisi tawar untuk memperoleh beasiswa, membuat proyek-proyek kegiatan, dan kegiatan yang tak ada hubungannya dengan aspirasi mahasiswa. Sialnya, senat mahasiswa ini bisa “dibeli” dan dijinakkan oleh pihak birokrasi kampus.
Mahasiswa menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun eksternal kampus. Ini jelas-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan. Kondisi ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa, persoalan kampus, dan bangsa.
Tekanan dari pihak kampus juga membatasi ruang gerakan mahasiswa. Misalnya dengan melarang menempelkan selebaran penyadaran di tembok-tembok kampus, melarang diskusi-diskusi kritis di dalam kampus, melarang mimbar bebas dan aksi demonstrasi di dalam kampus. Padahal, konstitusi memberikan kebebasan bersuara dan berserikat kepada semua warga negara. Namun, kampus sebagai tempat melahirkan calon-calon pemimpin bangsa justru membatasi kebebasan bersuara tersebut.
Hampir semua kampus membatasi mahasiswa menyampaikan suara kritisnya.
Satpam, pegawai, dan mahasiswa “kaki tangan” birokrasi kampus, bahkan preman, dijadikan sebagai tembok penghambat gerakan mahasiswa kritis di kampus. Mahasiswa yang kritis akan ditekan. Ada juga mahasiswa yang dijadikan sebagai “mata-mata” untuk mengawasi mahasiswa yang dianggap kritis.
Terakhir, gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan kemajuan teknologi. Misalnya jejaring sosial seperti facebook, dan permainan game online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dan kurang peduli dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi terhadap lemahnya gerakan mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara “berkunjung” ke desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.
Apa yang terjadi dengan bangsa ini ke depan jika mahasiswa yang katanya sebagai agent of social control; pada kenyataannya apatis, hedonis, dan pragmatis? Apa yang terjadi jika mahasiswa hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal? Jawabannya sudah pasti bangsa ini akan semakin terpuruk. Lantas, bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif. Hidup mahasiswa!

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *