Menikmati Pesona Istana Maimun di Kota Medan


Padukan Timur-Barat, Tetap Melayu

Ada yang bilang, belum ke Medan bila belum menikmati pesona Istana Maimun. Ikon Kota Medan yang menyiratkan sisa kemegahan Kesultanan Melayu Deli itu memang tampil memesona dengan arsitektur campur-campur tapi tetap kental bernuansa Melayu.

TERLETAK di Jalan Brigjen Katamso, Istana Maimun bisa dicapai hanya 30 menit dari Bandara Polonia dan sejam dari Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara. Dari kejauhan saja, kita akan merasakan kuatnya daya tarik bangunan di atas tanah seluas 2.700 meter persegi yang didirikan sejak 1888 tersebut. Warna kuning bertebaran di istana 100 tahun yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Deli tersebut. Maklum, kuning itu memang warna khas Melayu.

Bangunan Istana Maimun terasa unik dengan perpaduan arsitektur Moghul, Timur Tengah, Spanyol, India, Belanda, dan Melayu. Pengaruh Belanda tampak pada bentuk pintu dan jendela yang lebar serta tinggi. Pengaruh Islam terlihat pada lengkungan atap yang sering kita lihat pada bangunan-bangunan di Timur Tengah, India, dan Turki.

”Bisa dibilang, ini perpaduan Timur dan Barat tanpa menghilangkan ciri Melayu yang tampak pada dinding istana yang terbuat dari kayu,” kata Wakil Sekretaris Umum Tengku Moharshyah.

Istana Maimun terdiri atas tiga ruang utama. Yakni, bangunan induk, sayap kanan, dan sayap kiri. Bangunan induk seluas 412 meter persegi itu biasa juga disebut balairung. Di sanalah singgasana kerajaan berada. Singgasana tersebut masih dipakai dalam acara-acara tertentu, terutama saat penobatan raja atau sembah sujud keluarga istana pada hari-hari besar Islam.

”Yang paling unik di sini adalah ruang pertemuan adat. Ruangan itu masih kami pakai sampai sekarang untuk pertemuan dengan Sultan Deli. Masyarakat Melayu menyebutnya Angkat Sembah kepada Sultan,” terangnya.

Perabot istana memancarkan pengaruh Eropa. Itu terlihat pada lampu-lampu kristal yang didatangkan dari Prancis serta kursi, meja, dan lemari yang didatangkan dari Belanda. Selain perabot, sebagian material bangunan didatangkan dari Eropa. Misalnya, ubin marmer. Banyak yang bilang, gaya Eropa itu berkaitan erat dengan arsitek istana, Kapten TH Van ERP, yang berkebangsaan Belanda.

Di dalam istana, terdapat 25 ruangan dengan desain interior unik yang memperlihatkan perpaduan seni dari berbagai negeri. ”Marmer yang dipakai di istana ini berbeda di tiap ruangan,” tutur Moharshyah.

Gaya Eropa itu kontras dengan bangunan bergaya khas Karo di luar ruangan. Menurut Moharshyah, itu berhubungan dengan asal-usul Sultan Deli I yang menikahi putri Kerajaan Sunggal. ”Sultan itu dianggap Kalimbubu. Setiap kegiatan kesultanan pasti melibatkan masyarakat Karo,” jelasnya.

Hanya 200 meter dari Istana Maimun, kita akan menemukan Masjid Raya Al Mashun yang tak kalah megah di Jalan SM Raja Medan. Masjid di atas tanah seluas lima hektare itu mulai dibangun Kesultanan Deli pada masa kepemimpinan Sultan Mamun al Rasyid Perkasa Alamsyah IX pada 21 Agustus 1906.

Masjid yang pembangunannya menghabiskan dana 500 ribu gulden itu dibuka untuk umum sejak 10 September 1909. Kini, dalam usianya yang sudah lebih dari seabad, bangunan itu masih tampak eksotis.

Menurut H Sutomo Nasution sebagai penanggung jawab Lapangan Masjid Raya, kemegahan masjid tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah kebesaran Kesultanan Deli. Jaraknya yang hanya 200 meter dari Istana Maimun mengindikasikan hal itu.

Untuk mendekatkan diri dengan warga sekitar, Kesultanan Deli mentradisikan acara berbuka bersama tiap Ramadan di Masjid Raya Al Mahsum dengan menyajikan bubur pedas khas Melayu. Ternyata, peminatnya kian banyak dari waktu ke waktu.

Juru masak Kesultanan Deli sampai sulit memenuhi kebutuhan bubu pedas untuk berbuka bersama. Akhirnya, setelah mempertahankan sajian bubur pedas hingga 50 tahun, Kesultanan Deli menyerahkan urusan memasak kepada nazir masjid.

Problemnya, tidak mudah memasak bubur pedas. Selain membutuhkan beragam bumbu, proses memasaknya tergolong lama. Atas persetujuan Kesultanan Deli, pengurus masjid memutuskan mengganti bubur pedas dengan bubur sup yang juga khas Melayu Deli.

Alasannya, pembuatannya tak serumit bubur pedas. Juga, kendati racikan bumbunya lebih sederhana, rasanya tidak kalah lezat. ”Sajian bubur sup itu masih berlanjut sampai sekarang,” ucap Sutomo.

Sayang, gedung megah itu mulai terkesan kurang perawatan. Sebagian kaca tampak pecah. Beberapa bagian atap juga bocor kala hujan mengguyur deras. Jumlah jamaah yang kian besar juga tak diimbangi dengan tempat pengambilan air wudu yang lebih besar.

Ikon lain Kota Medan yang tak boleh dilupakan adalah bangunan Menara Air yang kini menjadi milik PDAM Tirtanadi. Saat masuk Kota Medan dari arah selatan melalui Jalan Sisingamangaraja, kita akan disambut puncak menara penyimpanan air bersih yang ada sejak zaman Belanda (1908) tersebut.

Menara air setinggi 42 meter itu menyangga tempat penampungan air setinggi 14 meter dengan daya tampung 1.200 meter kubik. ”Sampai sekarang, menara air itu masih berfungsi dengan baik dan dikelola PDAM Tirtanadi,” jelas Asisten I Divisi Public Relation Tirtanadi Zaman Karya Mendrofa

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *