Mengapresiasi Museum Peranakan Tionghoa, Mengikuti Jejak Langkah Pendirinya


Mengapresiasi Museum Peranakan Tionghoa, Mengikuti Jejak Langkah Pendirinya

 dilaporkan” Setiawan Liu

Bogor, 9 Maret 2021/Indonesia Media – “ … Dia bagus, luar biasa. Apa yang dia cerita (ulasan) berdasarkan fakta sejarah. Misalkan cerita (ulasan) mengenai Jang Seng Ie (Rumah Sakit Husada yang didirikan Desember 1924) dibarengi dengan data-data yang tersimpan di Museum Peranakan Tionghoa (Serpong, Tangerang Selatan). Saya hormat dan salut. Karena dia begitu telaten mengoleksi data, artifacts ke-Tionghoa-an sejak tahun 2010 … “ (Linty Sastrodihardjo)

Komentar ibu Linty Sastrodihardjo (Lin Zhe Xiu) mengenai pendiri Museum Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar yakni konsistensi merawat kisah perjuangan dan jasa etnis Tionghoa bagi Indonesia.

Sebagaimana sejarah peradaban orang Tionghoa di Indonesia adalah bagian penting dalam perjalanan bangsa ini. Slogan ‘Etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia’ harga mati juga terus berdengung.

Dari apresiasi ibu Linty, saya pun terdorong untuk mengetahui lebih jauh mengenai ‘keunikan’ dan kelangkaan sosok Azmi Abubakar. Tak ada juga darah Tionghoa yang mengalir di tubuhnya. Azmi Abubakar berdarah Gayo, Aceh, yang lahir dan besar di Jakarta. Dengan latar belakang yang begitu berbeda, tak aneh jika banyak orang penasaran dan mempertanyakan alasan Azmi menyibukkan diri dengan persoalan etnis Tionghoa.

Saya buka YouTube, dan menyimak tayangan berbagai artifacts di Museum tersebut. Saya pun akhirnya terdorong untuk mencari artifacts lain, bukan untuk koleksi museum, tapi sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Azmi Abubakar sempat keliling berbagai kota di Indonesia termasuk Semarang (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), Bogor (Jawa Barat), Jakarta untuk mencari artifacts termasuk majalah, buku yang terbit tahun 1900 an. Saya terdorong mengikuti jejaknya. Saya menyempatkan diri menyusuri berbagai klenteng, rumah-rumah tua yang masih ditinggali orang Tionghoa di Glodok. Saya sempat menemukan Hiolo di gedung klenteng Toasebio (Dharma Jaya) Glodok. Selain hiolo, ada juga prasasti yang dibuat dari batu hasil galian pada lapisan paling bawah. Keduanya dibuat pada abad ke-17 dengan pahatan aksara syair mandarin kuno.

Karena masih belum puas, saya terus mencari situs yang masih menyimpan artifacts, inskripsi, informasi mengenai Tionghoa ratusan tahun lalu. Tanpa sengaja, saya terarah ke kawasan pecinan Suryakencana Bogor. Tepatnya, pas berseberangan dengan Pintu 1 Kebun Raya Bogor, masih berdiri tegak klenteng Hok Tek Bio atau Vihara Dhanagun sejak 1872, atau berusia sekitar 300 tahun. Saya perhatikan beberapa elemen, aksesoris di dalam klenteng tersebut. Begitu masuk ruang kebaktian utama, mata saya langsung tertuju pada  sekelebat seperti aksesoris, yakni papan-papan kayu berukiran tulisan/aksara mandarin. Bahkan salah satunya, ukiran aksara berwarna keemas-emasan.

“(papan kayu dengan ukiran) dibuat abad 1900 an. Kalau maknanya, saya nggak berani menafsirkan. karena ini bahasa syair. Maksudnya, semacam kata-kata rohani atau spiritualitas. (Arti/makna) bahwa dalam kesunyian, misalkan di alam semesta, ada Ketuhanan. (manusia) sambil mengamati bathin, mendapat ketenangan, spt meditasi. Di tengah alam semesta, kita melihat ke dalam atau introspeksi, mendapat ketenangan. Ini tafsir, tapi tidak terlalu accurate. Artinya (terjemahan syair) yang sebetulnya bisa kesana-kesini, karena bahasa tafsir.  Bisa saja, A menafsir, (hasilnya) berbeda dengan tafsiran si B, tafsiran si C. memang intinya, tidak terlalu jauh, melatih diri (terhadap hawa nafsu). tapi tidak bisa tepat, hanya gambaran umum,” kata pengurus klenteng Khoe Joeng Hin.

Ia mengajak saya keliling klenteng sambil menjelaskan elemen lain termasuk foto dan lukisan. Salah satu lukisan yang masih tersimpan, dibuat tahun 1831 dengan suasana pemandangan. Kota Bogor pada abad 18 seperti didramatisir dengan goresan kuas sang pelukis. Menurut Khoe Joeng Hin, zaman dulu Bogor didominasi dengan lahan pertanian, perkebunan. Selain itu, ada bagian (dari lukisan) berupa lapangan dimana orang-orang bermain, berkumpul bersama. Selama kurang lebih 17 tahun bekerja di klenteng, Khoe Joeng Hin sempat mengira bahwa sang pelukis hanya sebagai berimajinasi. Hasil imajinasi dituangkan melalui goresan kuas pada kanvas lukisan. “Lukisan, foto dibuat pada abad 18. Tapi kalau papan kayu (ukiran aksara mandarin), sebagian dibuat pada abad 18, dan tahun 1900. Semua elemen (lukisan, foto, papan ukiran) hampir mirip (maknanya). Tadinya (papan ukiran) ada sepasang, tapi dipakai untuk ganjalan. Sekarang, tinggal satu (tersisa). Padahal, papan yang hilang tersebut dibuat tahun 1800 an,” kata laki-laki kelahiran November 1952, Bogor. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *