Lee Kuan Yew Desak Muslim Lebih Moderat


SINGAPURA- Bapak pendiri Singapura, Lee Kuan Yew, mendesak warga Muslim setempat untuk
menjadi orang Islam yang moderat demi membantu proses integrasi dan pembangunan bangsa di kota-
negara itu.

Populasi Singapura didominasi etnis Tionghoa, dengan ras Melayu Muslim dan India sebagai minoritas,
dan Lee selalu menekankan pentingnya harmoni ras. “Saya mengatakan saat ini bahwa kami dapat
mengintegrasikan semua agama dan ras kecuali Islam,” katanya dalam “Lee Kuan Yew: Truths to Keep
Singapore Going,” sebuah buku baru yang memuat pandangannya yang lugas tentang negara-kota itu dan
masa depan. “Saya pikir kami berkembang sangat baik sampai gelombang Islam datang dan jika Anda
tanya saya tentang pengamatan saya, masyarakat lain memiliki integrasi yang lebih mudah -pertemanan,
pernikahan (antar-agama) dan seterusnya …” katanya.

“Saya pikir orang Muslim secara sosial tidak menyebabkan masalah apapun, tetapi mereka berbeda
dan terpisah,” tambah Lee. Ia menyerukan kepada masyarakat Muslim setempat untuk menjadi lebih
moderat. Ketika peluncuran buku itu, Jumat lalu, Lee yang menggambarkan dirinya sebagai seorang
pragmatis, memperingatkan warga Singapura terhadap kepuasan. Ia mengatakan, republik yang sebagian
besar penduduknya beretnis Tionghoa itu masih merupakan sebuah bangsa yang sedang dalam proses
membentuk jatidiri (a nation in the making).

Dalam buku itu, Lee menggambarkan Singapura sebagai “gedung 80 lantai di lahan berawa.” Ia
mengatakan negaranya harus bersaing dalam kondisi permusuhan dengan negara tetangga yang lebih
besar. “Kami punya tetangga yang ramah? Yang benar saja!” katanya.

Singapura dikeluarkan dari Federasi Malaysia tahun 1965, sebagian besar karena kebijakan Kuala
Lumpur yang condong membela etnis Melayu, dan sejak itu negara tersebut membangun militer yang
paling modern di Asia Tenggara demi menghalangi agresi asing.

Beralih ke politik lokal, Lee mengatakan, Partai Aksi Rakyat (PAP) yang berkuasa, yang telah berada
ditampuk kekuasaan sejak tahun 1959 ketika Singapura mendapatkan otonomi politik dari kolonial
Inggris, pada suatu hari nanti akan kehilangan cengkeramannya pada kekuasaan. “Akan datang suatu
waktu ketika akhirnya masyarakat akan berkata, lihat, mari kita coba sisi yang lain, baik karena PAP telah
menurun kualitasnya maupun karena oposisi telah memiliki sebuah tim yang sama (kualitasnya) dengan
PAP. Hari itu akan datang. Dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, saya tidak berpikir itu akan terjadi.
Setelah itu, saya tidak bisa katakan.”

Lee mengatakan, meskipun sebuah survei menunjukkan hal yang sebaliknya, ia percaya Singapura belum
siap untuk memiliki seorang perdana menteri yang bukan dari etnis Tionghoa. “Sebuah jajak pendapat
menyatakan bahwa 90 persen etnis Tionghoa Singapura akan memilih orang dari etnis non-Tionghoa
sebagai Perdana Menteri. Ya, itu ideal. Anda percaya jajak pendapat itu? itu sepenuhnya sampah. Mereka
mengemukakan apa yang secara politis benar,” katanya.

Dia juga membela kebijakan yang mempromosikan perkawinan antara warga Singapura yang
berpendidikan tinggi, sebuah kebijakan yang dilihat oleh para kritikus sebagai bentuk rekayasa sosial, dan
menepis anggapan tentang cinta pada pandangan pertama. “Orang-orang mendapatkan pendidikan, orang
yang cerdas muncul, mereka menikahi pasangan yang sama-sama terdidik. Hasilnya adalah anak-anak
mereka mungkin lebih pintar dari anak-anak para tukang kebun,” katanya. “Ini sebuah fakta kehidupan.
Anda mendapatkan kuda yang baik, Anda tentu tidak ingin kuda yang tak berguna kawin dengan dengan
kuda Anda yang baik itu. Anda mendapatkan anak kuda yang buruk.” Ia melanjutkan, orang yang tertarik
oleh karakteristik fisik mungkin akan menyesalinya.

Lee juga mengungkapkan bahwa dia telah menyumbangkan semua penghasilannya (10 juta dollar AS)
sejak mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada tahun 1990, setelah 31 tahun berkuasa. Para
menteri kabinet Singapura memperoleh bayaran tertinggi di dunia sebagai bagian dari strategi mencegah
korupsi dan menarik orang-orang berbakat dari sektor swasta.

Lee, yang memegang gelar khusus Menteri Mentor, sekarang menjabat sebagai penasihat anaknya,
Perdana Menteri Lee Hsien Loong, yang berkuasa sejak tahun 2004. Di tengah semua pembicaraan yang
bernada keras, Lee menunjukkan sisi lembutnya ketika ditanya tentang almarhum istrinya, Kwa Geok
Choo, yang meninggal pada usia 89 pada Oktober lalu. “Itu berarti lebih banyak kesendirian. Tak ada
teman bicara ketika pulang kerja,” kata Lee dalam buku itu, yang merupakan hasil wawancara eksklusif

dengan wartawan harian terkemuka negara itu, Straits Times.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *