Kita, Natal, dan Pandemi


Natal adalah sebuah perayaan kegembiraan. Pada saat yang sama, Natal adalah juga perayaan perjuangan bersama menuju kemenangan kehidupan.

Natal adalah sebuah perayaan kegembiraan. Betapa tidak. Dalam perayaan Natal, umat Kristiani—dan orang-orang lain yang tertarik untuk ikut merayakannya—diingatkan kembali akan sebuah peristiwa besar. Peristiwa besar itu adalah peristiwa kelahiran Kristus. Ia lahir di kandang lembab dan sederhana, tetapi berita kelahiran-Nya diwartakan oleh serombongan malaikat yang menyatakan diri sebagai pewarta kabar ”kesukaan besar” (Lukas 2:10).

Yang mendapat warta pertama adalah para gembala yang sempat terkejut, tetapi yang ketika bertemu dengan Bayi dipenuhi dengan kegembiraan luar biasa. Selanjutnya ketika tiga orang Majus yang bijak dan datang jauh dari Timur bertemu dengan Sang Bayi, mereka pun dipenuhi dengan kegembiraan yang sama.

Secara sederhana, kegembiraan itu terangkum dalam ungkapan singkat Gloria in excelsis Deo. Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi. Natal adalah sebuah peristiwa kegembiraan.

Natal adalah sebuah peristiwa kegembiraan.

Bertahan hidup

Namun, tampaknya peristiwa kegembiraan dalam kisah Natal itu belumlah keseluruhan cerita. Ada cerita yang lain. Dalam cerita yang lain itu peristiwanya bukan peristiwa kegembiraan, melainkan peristiwa ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Sebagaiman kita tahu, ketika ingin mengunjungi Bayi Kristus, ketiga orang Majus dari Timur di atas singgah ke istana Raja Herodes dan karena itu Herodes merasa bahwa telah lahir seorang Bayi yang potensial menjadi ancaman bagi kekuasaannya. Herodes berencana untuk membunuh Bayi tersebut.

Sementara itu, mendapat penglihatan tentang rencana pembunuhan oleh Herodes, Bapa Yusuf sebagai kepala keluarga mengajak Bunda Maria dan Sang Bayi untuk menyelamatkan diri dan mengungsi. Mereka berkemas lalu mengungsi ke Mesir (Matius 2:13).

Kita tahu, pengungsian ke Mesir bukanlah sebuah peristiwa kegembiraan. Pengungsian itu harus ditempuh dengan perjalanan jauh penuh ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup, khususnya di bawah ancaman kematian yang datang dari Herodes.

Petugas gereja, Yohanes Hari, mempersiapkan patung-patung untuk goa natal di Gereja Katedral Jakarta, Senin (23/12/2013). 

Petugas gereja, Yohanes Hari, mempersiapkan patung-patung untuk goa natal di Gereja Katedral Jakarta, Senin (23/12/2013).

Dari segi jarak, kota Betlehem, tempat Kristus dilahirkan, dan wilayah Mesir yang mereka tuju bukanlah jarak yang dekat. Dua tempat itu dipisahkan oleh Jasirah Sinai yang membentang luas dengan jarak total sekitar 750 kilometer (Wardaya 2020). Jarak yang jauh itu harus mereka tempuh dengan berjalan kaki dan tentu saja sambil sesekali menengok ke belakang, siapa tahu ada tentara Herodes yang sedang membuntuti.

Di tengah perjalanan jauh itu, bisa dibayangkan Bapa Yusuf dan Bunda Maria tidak tahu dengan pasti apakah nantinya mereka akan benar-benar mampu menempuh jarak sejauh itu atau tidak. Sesampai di tempat tujuan, mereka mungkin juga tidak tahu pasti akan berapa lama mereka harus mengungsi.

Kemungkinan mereka juga tidak tahu dengan pasti bagaimana akan bisa menyambung hidup selama berada di pengungsian. Dalam kisah mereka, ada banyak ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Dalam kisah mereka, ada banyak ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Covid-19

Kisah demikian tentu dengan cepat mengingatkan kita akan kisah serupa yang sedang kita alami bersama. Sebagai anggota keluarga besar umat manusia, sekarang ini kita juga sedang mengalami ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup akibat adanya pandemi covid-19.

Semula pandemi ini terjadi di sebuah tempat di daratan Asia, tetapi dengan cepat ia menyebar ke seluruh dunia. Tak terkecuali, pandemi itu juga menyebar ke negeri kita.

Bak Bapa Yusuf dan Bunda Maria yang tiba-tiba mendapat pemberitahuan tentang adanya ancaman kematian oleh Herodes, kita terentak mendengar berita tentang cepatnya kematian yang bisa ditimbulkan oleh pandemi ini. Bak Bapa Yusuf dan Bunda Maria yang harus bergegas menyelamatkan diri, kita terpaksa bergegas untuk mengambil sikap dan menyelamatkan diri.

Entakan itu menjadi semakin kuat ketika kita tahu, di banyak tempat di dunia ada sekian banyak orang yang terdampak oleh pandemi ini. Banyak dari mereka tidak bisa bertahan lalu tumbang karenanya.

Sanak saudara dari kejauhan dalam pemakaman dengan protokol Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Kamis (3/12/2020).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sanak saudara dari kejauhan dalam pemakaman dengan protokol Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Kamis (3/12/2020).

Tak lama kemudian, situasi serupa terjadi pula di negeri kita. Mirip dengan apa yang terjadi di negara-negara lain, di negeri kita pun ada banyak yang kemudian terpapar. Ada banyak yang berhasil sembuh dan mampu memulihkan diri, tetapi tidak sedikit yang terpaksa pergi meninggalkan kita untuk selamanya.

Melihat semua itu, kita tidak hanya terentak, tetapi juga diliputi oleh suasana ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup. Kita sadari, begitu dahsyatnya pandemi ini sehingga bahkan sampai detik ini pun tak ada orang yang bisa memastikan diri apakah pada akhirnya nanti ia akan selamat atau tidak.

Dari rakyat biasa hingga para kepala negara, dari para pengais rezeki di tempat-tempat penampungan sampah hingga para pengusaha kaya raya, dari para pesohor dunia maya hingga penduduk sederhana yang belum begitu akrab dengan internet, semuanya berada dalam bayang-bayang maut pandemi Covid-19.

Ibaratnya, sebagai sebuah keluarga besar umat manusia kita ini seperti sedang bersama-sama mengungsi untuk menyelamatkan diri, itu pun dalam suasana ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Kendati demikian, kita tidak boleh putus asa.

Pemenang

Kendati demikian, kita tidak boleh putus asa. Melanjutkan kisah pengungsian ke Mesir di atas, dalam pengungsiannya Bapa Yusuf dan Bunda Maria tidak pernah putus asa. Mereka menolak menyerah. Berada dalam suasana pelarian yang diwarnai oleh ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup, mereka berjuang untuk tetap bisa bertahan dan menang.

Iman akan Tuhan yang mereka miliki, harapan akan akhir yang cemerlang yang selalu mereka genggam, serta semangat kasih yang mereka hidupi, selalu menguatkan mereka di tengah ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup itu.

Kita tahu, akhirnya mereka menang. Herodes meninggal dan bersamaan dengan itu ancaman kematian sirna. Mereka bergegas untuk meninggalkan Mesir. Masa pengungsian dan pengembaraan telah berakhir (Matius 2:19-21).

Mereka pun kembali ke tempat asal mereka seraya membesarkan Sang Bayi. Sang Bayi tumbuh menjadi besar dan kelak akan menjadi sumber iman, harapan dan kasih bagi banyak orang dalam sejarah panjang umat manusia.

Kita berharap, semoga dalam masa ”pengungsian” dan ”pengembaraan” kita yang penuh ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup akibat pandemi ini, kita juga menang.

Paus Fransiskus memimpin misa Minggu Palma di Basilika Santo Petrus tanpa partisipasi publik untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Vatikan, 5 April 2020.
REUTERS/ALBERTO PIZZOLI/POOL

Paus Fransiskus memimpin misa Minggu Palma di Basilika Santo Petrus tanpa partisipasi publik untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Vatikan, 5 April 2020.

Semoga di tengah dahsyatnya pandemi ini iman kita sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa tetap kokoh, semoga harapan akan berakhirnya ancaman kematian akibat wabah ini tetap kuat, dan semoga kasih kita kepada mereka yang terdampak oleh pandemi tetap melimpah.

Selanjutnya, semoga kita tetap waspada dan mengikuti protokol kesehatan yang ada karena kita tahu kalau kita sehat, maka kita akan mampu membantu mereka yang membutuhkan bantuan kita. Terkait dengan hal ini, kita jadi ingat akan pesan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam buku Let Us Dream (2020) itu: keselamatan pribadi masing-masing dari kita amat erat berkait dan berkelindan dengan keselamatan manusia-manusia lain sebagai sesama kita.

Semoga kesadaran demikian akan membantu kita keluar dari pandemi ini sebagai pemenang-pemenang kehidupan. Semoga kemenangan itu nantinya akan menjadikan kita sebagai manusia-manusia yang lebih unggul—baik sebagai pribadi-pribadi maupun sebagai bangsa. Natal adalah sebuah perayaan kegembiraan. Pada saat yang sama, Natal adalah juga perayaan perjuangan bersama menuju kemenangan kehidupan.

(Baskara T Wardaya, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) ( Kps / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *