Kisah Seorang Preman 1+2


Saya biasa memanggilnya Pak Ci. Panggilan tersebut terlontar saja dari mulut saya karena terasa pas didengar dan cocok bila melihat perawakan beliau yang sudah memasuki umur 50 tahun. Dengan rambut yang sudah memutih, tubuh tegap, berewokan dan tubuh penuh tato maka orang akan berpikir macam-macam tentang beliau. Sepanjang hidupnya beliau selalu dekat dengan dunia preman tapi beberapa tahun ini aktifitasnya sudah mulai berkurang.

Hampir 6 tahun saya berkenalan dengan beliau. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari kehidupan beliau walaupun awalnya menjaga jarak dan kuatir karena hampir selalu berdekatan dengan dunia kekerasan. Tetapi lama kelamaan saya merasa kehidupan beliau sama saja dengan kehidupan orang-orang pada umumnya.

Kemarin beliau berkunjung ke rumah saya. Ada beberapa kisah kehidupan beliau yang menarik perhatian saya. Beliau menceritakan awal-awal perkenalannya dengan dunia preman. Berikut adalah pengakuannya.

Sejak kecil saya telah kehilangan figur seorang ayah. Ayah saya, seorang tentara yang selalu meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama karena tugas kemana-mana. Saat saya duduk di sekolah dasar kelas 3, ayah tidak pernah lagi pulang ke rumah kami di Surabaya.

Ternyata baru saya mengetahuinya setelah ibu bercerita kalau ayah telah menikah lagi dengan wanita asal Madura pada saat dinas di Kalimantan Barat.  Sejak itu ayah tidak pernah memberikan nafkah kepada kami dan timbullah rasa dendam saya terhadap wanita-wanita Madura walaupun sebetulnya saya masih keturunan Madura (kakek dari Bapak berasal dari Madura)

Akhirnya ibu memutuskan untuk kembali tinggal di rumah warisan orang tuanya. Tetapi masalahnya adalah di rumah itu tinggal beberapa keluarga (adik-adik ibu) sehingga kami hanya menempati sebuah kamar kecil yang posisinya persis di belakang rumah.  Walaupun ibu merupakan anak sulung tetapi ibu selalu mengalah dengan alasan untuk menghindari terjadinya keributan di dalam keluarga besar.

Sayangnya adik-adik ibu tidak pernah mau mengerti dan selalu merasa sebagai yang punya hak atas rumah warisan tersebut. Memang rumah warisan tersebut besar sekali yaitu rumah  tua peninggalan jaman Belanda yang kokoh dengan banyak kamar.

Di Sekolah saya selalu merasa iri bila melihat sepupu dan teman-teman  jajan di sekolah. Sementara saya hanya diam dan menahan lapar saat istirahat sekolah karena ibu tidak bisa memberikan uang jajan.

Apalagi pada saat pelajaran olah raga, setelah selesai olahraga teman-teman bisa jajan di kantin untuk membeli minuman ringan. Sementara saya hanya bisa minum air keran untuk melepaskan dahaga. Hal itulah yang membuat saya dendam dan berkata dalam hati kalau saya harus punya uang dan bosan menjadi orang miskin.

Suatu hari saya melihat ibu menangis di dalam kamar sewaktu saya pulang sekolah. Ada apakah gerangan pikir saya. Setelah saya bertanya kepada adik, saya mengetahui kalau ibu habis dimarahi habis-habisan oleh paman karena adik berkelahi dengan anak paman dan menyebabkan hidung anak paman berdarah.

Paman mengancam akan mengusir dari rumah warisan tersebut apabila ibu tidak bisa mendidik adik. Padahal menurut pengakuan adik diketahui kalau anak paman selalu membuat ulah dan mengambil barang-barang milik adik.

Kejadian tersebut membuat dendam saya menjadi-jadi, akhirnya saya menemui ibu di dalam kamarnya dan langsung saya mencium kakinya sambil berkata, ” Bu, mulai saat ini saya akan keluar rumah. Bila Ibu tidak menyetujui maka saya ikhlas bila ibu tidak mengakui saya sebagai anak ibu karena pembangkangan saya. Tapi saya tetap akan berkunjung ke rumah ini untuk menemui ibu untuk meminta doa restu ibu “

Sejak saat itu saya meninggalkan rumah dan memantapkan diri untuk mandiri. Waktu itu saya berumur 12 tahun dan sempat merasa takut dan kuatir tentang apa yang terjadi dengan diri saya. Apa sich yang biosa dilakukan oleh anak berumur tersebut. Tetapi tekad tetaplah tekad.

Tanpa diduga saya bertemu dengan teman ayah. Beliau bekerja sebagai tukang parkir di lokalisasi Dolly Surabaya. Dengan sedikit memelas, saya meminta kepada beliau untuk bisa bekerja sebagai tukang parkir kepada beliau. Walaupun sempat menolak, akhir beliau memberikan pekerjaan tersebut di salah satu tempat di lokalisasi tersebut.

Selama 2 tahun saya mencari uang sebagai tukang parkir. Menurut saya lumayanlah karena saya punya penghasilan dan bisa membantu biaya sekolah adik walaupun tidak seberapa bantuan saya tersebut. Sampai suatu saat saya berkenalan dengan kepala preman di lokalisasi Dolly. Saya sempat menyatakan ingin bergabung dengan kumpulan mereka tetapi selalu ditolak dengan alasan saya masih kecil. Tetapi saya tidak pantang menyerah. Sesekali saya memperhatikan cara kerja para preman.

Ada satu peristiwa yang membuat perjalanan hidup saya berubah. Ada langganan PSK di lokalisasi yang berbuat ulah yaitu saat mabuk merusak barang-barang dan selalu tidak mau bayar setelah menggunakan layanan PSK. Tidak ada yang berani menegur langganan tersebut termasuk para preman.

Ternyata pelanggan tersebut adalah oknum angkatan. Kepala preman sempat dibuat pusing dibuatnya. Tidak tahu ada jin apa yang masuk ke diri saya akhinya saya memberanikan diri bicara dengan kepala preman dan sanggup menangani pelanggan tersebut.

Seluruh preman menertawakan saya. Anak kecil seperti saya sok belagu mau melawan pelanggan tersebut. Apa saya tidak takut mati. Saya anggap angin lalu tertawaan mereka dan yakin sanggup menangani ulah pelanggan tersebut. Kepala preman sempat merasa heran dan kaget apakah saya bisa. Saya katakan bisa asal dengan cara saya. Akhirnya kepala preman menyetujui dan berjanji kalau ini berhasil maka saya boleh menjadi anggota preman dan diberikan jatah lahan. Saya bilang ok kepadanya.

Seminggu terus berlalu tetapi tidak ada tindakan apapun terhadap oknum angkatan tersebut. Kepala preman mulai meragukan kemampuan saya. Tepat 10 hari, saya berhasil menaklukkan oknum tersebut. Bagaimanakah caranya?

Kisah Seorang Preman (2)

emang hidup ini penuh dengan kejutan dan keberuntungan. Itulah yang saya alami ketika harus berhadapan dengan oknum angkatan yang sering berbuat onar di lokalisasi Dolly.

Pada saat oknum tersebut melakukan aksinya, tidak ada yang berani menegurnya termasuk para preman sekalipun. Dengan kenekatan yang ada dalam diri walaupun tubuh kecil (saat itu berumur 14 tahun), saya memberanikan diri menegur oknum yang sedang mabuk berat. Betapa kagetnya oknum tersebut ketika mengetahui kalau yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Bila dibandingkan dengan postur tubuhnya, saya tidak ada apa-apanya. Oknum tersebut dengan mata merah tampak marah sekali kepada saya dan segeralah dia menghampiri. Saat tangan kanan kekarnya ingin memukul saya. Tiba-tiba saya memanggil namanya ” Om Anton (bukan nama sebenarnya) !!!!!! “.

Betapa kagetnya oknum tersebut ketika namanya dipanggil oleh saya. Secara reflek tangannya tidak jadi memukul saya.

” Siapa kamu ? Kok tahu nama saya?”

” Om, masak lupa sama saya?“

” Ohhhh kamu… kamu… anaknya….. “

” Iya Om saya anaknya Pak Suparlan (bukan nama sebenarnya) “

” Oalahhhhhh, hampir saja …ngapain kamu di sini “

Perlu diketahui Om Anton adalah anak buah Ayah sewaktu dinas di Surabaya. Dulu Om Anton sering datang ke rumah dan selalu minta nasehat kepada ayah bila mendapatkan masalah. Ayah jugalah yang mewakili Om Anton untuk melamar calon isterinya di hadapan keluarga besar calon isterinya dulu karena sudah lama Om Anton yatim piatu dan hidup sebatang kara.

Langsung Om Anton mengajak saya ke sebuah warung. Om Anton dengan kondisi masih mabuk tapi masih sadar menanyakan banyak hal terutama mengapa saya bisa berada di lingkungan lokalisasi. Maka saya menceritakan semuanya dengan detil mulai dari keluar rumah sampai saya menjadi tukang parkir dan ingin menjadi preman. Om Anton sempat memilintir leher saya dengan candanya.

Kok bisa-bisanya saya yang masih sekecil itu sudah berani untuk mandiri. Om Anton sempat prihatin ketika mengetahui kalau ayah meninggalkan kami sekeluarga demi seorang wanita Madura di Kalimantan. Tetapi saya sempat juga menyinggung ulah Om Anton di lokalisasi yang sangat menggangu dan apa yang menyebabkan Om Anton sering ke lokalisasi.

Rupanya Om Anton sudah bercerai dengan isterinya. Dikatakan isterinya telah kabur dari rumah dan membawa serta 2 anaknya kembali ke rumah orang tuanya di Malang. Setelah berpisah hampir setahun tiba-tiba Om Anton mendapatkan surat cerai dari Pengadilan Agama Malang (pernikahan mereka memang di Malang). Walaupun dalam hatinya menolak perceraian tersebut tetapi Om Anton menerima juga keputusan tersebut. Tapi yang menjadi masalah adalah Om Anton tidak bisa dan selalu dihalang-halangi bila ingin bertemu dengan kedua anaknya. Itulah yang membuat Om Anton menjadi stress berat dan sebagai pelariannya adalah main perempuan dan mabuk-mabukan walaupun tahu konsekuensinya bila ketangkap basah oleh Polisi Militer.

Banyak orang di lokalisasi merasa kaget, aneh, kagum dan takjub melihat saya dapat menaklukkan oknum angkatan malah saat itu saya ditraktir oleh oknum tersebut. Memang hidup ini penuh kejutan dan benar adanya kalau ada yang mengatakan kalau dunia ini tidak sebesar daun kelor.

Sejak kejadian malam itu, saya langsung terkenal dan diakui keberadaan saya di lingkungan preman. Dengan pengakuan tersebut berarti wilayah parkiran saya makin luas dan makin bertambahlah penghasilan saya. Dalam waktu singkat saya mempunyai uang banyak dan dengan uang tersebut saya bisa membantu biaya sekolah adik serta bisa membelikan pakaian dan perhiasan untuk ibu. Memang ibu mengetahui apa pekerjaan saya berdasarkan informasi yang diberikan oleh Om Anton. Tetapi ibu tahu sifat saya yang keras dan tidak bisa dibantah. Satu hal lagi Om Anton tidak lagi berbuat onar karena mungkin malu dilihat oleh saya malah Om Anton menjadi beking saya di tempat lokalisasi tersebut.

Tanpa terasa waktu terus berjalan, hidup saya bergumul dengan dunia preman. Silih berganti peristiwa yang saya alami mulai dari perkelahian memperebutkan lahan parkiran sampai urusan keamanan bagi para PSK. Sampai suatu hari saya berhadapan dengan sekelompok preman yang dibeking oleh oknum marinir mengenai perebutan lahan parkiran.

Setelah tidak ada kata sepakat dengan gelap mata saya mendatangi markas kelompok preman tersebut dan tanpa banyak tanya saya tusuk oknum marinir tersebut dengan belati yang selalu saya selipkan di balik celana. Betapa kaget kelompok preman tersebut (semuanya terdiam) dengan apa yang saya lakukan apalagi mengetahui oknum marinir tersebut mati di tangan saya.

Setelah itu saya menyerahkan diri ke kantor polisi. Akhirnya saya diputuskan bersalah oleh pengadilan negeri dan dihukum penjara selama 10 tahun. Yang meringankan hukuman adalah saya menyerahkan diri. Di penjara itulah saya mengenal tato dan beberapa bagian tubuh saya ditato sebagai bukti mantan bromocorah.

Karena sikap saya selama penjara dianggap baik maka beberapa kali saya mendapatkan remisi dan hanya 6 tahun saya di penjara. Keluar dari penjara saya tidak langsung pulang menemui ibu tapi saya datangi tempat lokalisasi Dolly. Semua teman-teman preman menyambut saya dengan meriah dan tanpa perasaan takut akan adanya dendam dari keluarga/teman oknum marinir yang saya bunuh maka saya menikmati penyambutan tersebut dengan mabuk-mabukan. Ternyata setelah 6 tahun saya tinggalkan tempat tersebut, banyak yang telah berubah dan penguasaan wilayah bukan lagi dikuasai oleh kepala preman yang lama. Walaupun demikian saya masih disegani oleh preman-preman tersebut.

Akhirnya saya memutuskan untuk istirahat dari dunia preman. Tetapi tetap saja dendam pribadi terhadap kelakuan ayah tidak bisa hilang. Setiap wanita Madura yang ditemui selalu saya akali baik merampas keperawanannya, memoroti hartanya sampai beberapa kali saya nikahkan. Kawin cerai dengan wanita Madura selalu menyertai hidup saya.

Sampai suatu hari saya berkenalan dengan seorang wanita Madura dan saya jatuh cinta kepadanya. Kemudian tanpa halangan saya dapat menikahinya. Saya berpikir mungkin inilah perjalanan akhir kehidupan kawin cerai saya. Dengan wanita ini saya dikarunia seorang puteri. Tapi kelahiran puteri saya inilah yang meyebabkan isteri kabur dan menceraikan saya.

Begini ceritanya, sebagai manusia saya percaya sekali dengan hukum karma. Ada perasaan takut kalau anak saya nanti mendapatkan karma atas apa yang saya perbuat. Untuk itulah saya sempat berbicara dengan ibu dan berharap saya mendapatkan seorang putra. Saya menganggap anak lelaki lebih tahan dan kuat menerima apabila hukum karma benar-benar terjadi. Dan tidak rela bila anak perempuan saya dirusak dan dipermainkan oleh laki-laki karena saya merasa perempuan takkan sanggup menderita menanggung karma yang saya takutkan tersebut.

Tahukah apa yang terjadi kemudian ?

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *