Keterlibatan TNI dalam Kongres PSSI


Jakarta – Dalam sebuah kesempatan, Ketua Komite Normalisasi PSSI Agum Gumelar merasa prihatin dengan banyak intimidasi yang dilakukan oleh sejumlah perwira militer terhadap peserta Kongres PSSI. Intimidasi itu dilakukan agar peserta kongres menandatangani mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Agum Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi.

Intimidasi itu dilakukan bisa jadi karena kekecewaan dari salah satu kandidat Ketua Umum PSSI, yakni George T. Toisuta, yang saat ini menjabat sebagai Kasad, yang tidak diperkenankan oleh FIFA untuk maju sebagai calon Ketua Umum PSSI Kongres PSSI 2011. Bila hal ini benar, tentu TNI telah dua kali melakukan intervensi atau melakukan intimidasi dalam Kongres PSSI.

Sebelumnya, pada saat Kongres PSSI yang pernah digelar di Pekanbaru Riau, beberapa bulan yang lalu, TNI melakukan hal yang sama. Dilihat dari tayangan televisi yang muncul, TNI, pada saat itu, seolah-olah menjadi cheer leader. TNI di acara itu di depan pintu masuk hotel mengibarkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia
Raya.

Kedatangan TNI dalam arena kongres itu menurut Panglima TNI Agus Suhartono saat Raker dengan Komisi I DPR, 4 April 2011, mengatakan kedatangan TNI di arena kongres merupakan permintaan kepolisian setempat. Namun menjadi pertanyaan, saat ada kericuhan ketika peserta hendak memaksa masuk ruang kongres, mereka tidak tampak, dan hanya polisi yang sibuk mengamankan peserta yang memaksa masuk ruangan itu. Bila yang demikian terjadi, maka apa yang dilakukan oleh TNI selama ini dalam Kongres PSSI menyalahi fungsi dan tugasnya. Berdasarkan UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI, tugas pokok TNI saat ini adalah sebagai alat pertahanan.

Keterlibatan TNI dalam Kongres PSSI ini harus menjadi pelajaran bahwa itu tidak boleh terjadi lagi. Meski apa yang dikatakan oleh Panglima TNI bahwa hadirnya TNI untuk membantu polisi dan juga dikatakan oleh Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigjen TNI Wiryantoro bahwa Jenderal TNI George Toisutta tidak dalam kapasitas sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat ketika dicalonkan sebagai ketua umum PSSI periode 2011-2015, sehingga tidak benar anggapan bahwa ada upaya perorangan untuk memanfaatkan TNI demi kepentingan pribadi.

TNI hadir dalam moment-moment di luar fungsinya sebagai alat pertahanan, semasa
Orde Baru bukan suatu hal yang aneh. Dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI, ABRI sebagai kekuatan politik dan pertahanan, sering ‘memaksakan’ kehendak agar siapa yang sudah dipilih oleh pemerintah harus dilakukan dalam moment seperti itu. Sehingga selama Orde Baru banyak tentara aktif atau purnawirawan menjadi ketua di bidang apa saja, mulai dari olah raga hingga organisasi kekerabatan.

TNI bersedia turun ke lapangan dalam wilayah yang selama ini menjadi wilayah polisi, bisa jadi karena terjadinya kekosongan tugas di bidang pertahanan. Kekosongan ini bisa terjadi karena alasan Indonesia berada dalam wilayah yang damai, tidak muncul kemungkinan perang, sehingga fungsi pertahanan tidak berfungsi. Lain halnya bila negara dalam keadaan perang, maka TNI akan melakukan tugasnya, dan tidak ada waktu bila disuruh melakukan tugas di luar fungsinya.

TNI turun dalam Kongres PSSI bisa juga dikarenakan selama ini TNI bisa dikatakan ‘nganggur’. Nganggur karena fungsi dan tugasnya tidak digunakan oleh Panglima Tertinggi (Presiden) untuk melaksanakan tugasnya dan fungsinya sebagai alat pertahanan. Ketika wilayah Indonesia berkali-kali diserobot oleh tetangga, khususnya Malaysia, Presiden SBY tidak mengomando TNI untuk bergerak, bahkan SBY lebih cenderung menggunakan cara-cara lain yang tidak melibatkan TNI, namun lebih mengedepankan para diplomat.

Faktor-faktor itulah yang menyebabkan TNI tidak mempunyai pekerjaan sehingga mau-mau saja ketika diturunkan di wilayah yang sebenanrnya bukan tugasnya. Nah untuk mencegah TNI tidak terlibat dalam kerja di luar wilayahnya, maka TNI harus profesionalkan. Untuk itu maka anggaran buat TNI harus dibuat wajar, syukur kalau ideal.

Apa yang dilakukan TNI dalam Kongres PSSI bila seperti di atas, seolah-olah TNI tidak pernah meninggalkan kebiasaan lama yakni menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Cara-cara kekerasan ini juga masih digunakan TNI ketika mempertahankan aset yang dirasa menjadi milik, sehingga ketika cara kekerasan ini digunakan maka pihak sipil pasti akan berada pada posisi yang kalah, sebab mereka berada di bawah todongan senjata. Lihat saja bagaimana konflik antara rakyat dan TNI yang terjadi di Desa Setrojenar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dan di Desa Alas Tlogo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Seharusnya ketika menghadapi masalah di luar tugasnya, TNI harus lebih mengedepankan penggunaan dengan hukum. Seharusnya jauh-jauh hari George Toisutta menempuh jalur hukum lewat Mahkamah Olahraga Internasional untuk membatalkan putusan FIFA itu, sehingga permasalahannya tidak serunyam seperti saat ini. Mungkin George Toisutta sebagai seorang prajurit tulen sehingga lebih suka menggunakan cara-cara militer untuk mencapai tujuannya.

Menjadi pertanyaan, apa hebatnya PSSI bagi kepentingan TNI sehingga Panglima TNI dan institusi TNI seolah-olah membiarkan aparat TNI dijadikan tim sukses George Toisutta.
Bukankah menjadi pengurus PSSI selama ini rugi dan membikin malu semata. Bukankah PSSI selama ini selain banyak menghabiskan anggaran namun tidak ada prestasi. Bila TNI masih mendukung salah satu calon Ketua Umum PSSI maka bila PSSI gagal maka TNI harus berani bertanggungjawab, berani nggak?

*) Ardi Winangun pernah bekerja di Civil-Militery Relations Studies (Vilters).

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *