Menarik sekali kesaksian seorang ibu ini: dia melihat masinis masuk ke gerbong paling depan untuk
memberi tahu bahwa kereta segera menabrak mobil tangki, dan karena itu penumpang diminta segera
pindah ke gerbong di belakangnya. Ruang masinis memang menjadi satu dengan gerbong paling depan
yang dikhususkan untuk penumpang wanita. Setelah memberi tahu adanya bahaya itu, sang masinis
bergegas kembali ke ruang kemudi. Sesaat kemudian terjadilah musibah itu. Sang masinis sendiri
meninggal dunia, bersama dua rekan kerjanya di ruang itu. Mungkin yang memberitahukan bahaya
tadi bukan masinis, tapi asisten masinis. Penumpang tentu tidak bisa membedakan mana masinis dan
mana asistennya. Itu tidak penting. Yang penting kita catat adalah jiwa pengorbanannya itu. Dia begitu
memikirkan keselamatan penumpang melebihi keselamatannya sendiri. Dia meninggal hanya sesaat
setelah berusaha menyelamatkan para penumpang. Sang masinis tidak kalah patriotik. Bisa jadi dialah
yang memerintahkan asistennya untuk memberi tahu penumpang. Dia sendiri harus melakukan apa yang
harus dia kerjakan: mengerem secara normal dan tidak mengerem secara darurat. Kalau saja sang masinis
panik dan melakukan pengereman darurat, bisa saja yang terjadi akan lebih tragis: gerbong-gerbong
kereta terguling berantakan. Tindih-menindih. Korban akan lebih banyak.
Saya setuju dengan Dirut KAI Ignasius Jonan bahwa masinis dan asistennya adalah patriot-patriot
penyelamat penumpang! Saya memuji kepekaan Jonan yang menangani sang patriot dengan sebaik-
baiknya: anggota keluarga terdekat akan diangkat menjadi karyawan KAI, anak-anaknya akan dibiayai
sekolahnya sampai lulus perguruan tinggi. Sejak peristiwa itu saya memang tidak henti-hentinya
berkomunikasi dengan Jonan mengenai apa yang harus dilakukan. Dari kesaksian ibu itu satu kesimpulan
sementara bisa diambil. Sang masinis, dari jarak yang masih jauh, sudah melihat ada mobil tangki dalam
posisi berhenti melintang di atas rel. Mobil tangki itu tidak bergerak maju. Berarti ada tiga kemungkinan:
mogok di tengah rel (rasanya tidak), tidak bisa maju karena ada kendaraan padat di depannya, atau dari
arah berlawanan penuh juga dengan kendaraan.
Kita sama-sama memiliki pengalaman serupa. Di saat akan ada kereta lewat, banyak kendaraan
mengambil posisi sangat kanan. Dengan harapan, begitu kereta lewat, mereka bisa tancap gas dulu.
Jadi, bisa saja saat mobil tangki akan menyeberangi rel itu palangnya memang belum menutup. Tapi,
begitu truk tangki berada di atas rel, terjadilah situasi lalu lintas yang ruwet tersebut. Jalan yang dilalui
mobil tangki itu bukanlah jalan lebar. Dua arah pula. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mobil yang
mengangkut BBM 24.000 liter itu melakukan manuver di jalan yang begitu sempit, dua arah pula!
Ini juga menyisakan pertanyaan: mengapa mobil tangki segede gajah itu boleh melewati jalan sekecil itu!
Apakah memang tidak ada rambu yang melarangnya? Apakah dapat izin khusus?
Tentu semua pertanyaan akan terjawab setelah polisi memperoleh pengakuan dari sopir dan kernetnya.
Dua orang itu kini masih dirawat karena luka bakar yang parah. Bahkan, tubuh si kernet terbakar 80
persen karena saat kejadian sepatunya dilepas. Dengan cerita seperti itu tidak relevan lagi mempersoalkan
palang pintu sudah menutup atau belum. Apalagi, seperti kata Jonan, fungsi palang pintu KA tidak untuk
mencegak mobil. “Palang pintu itu menurut UU untuk memperlancar perjalanan kereta,” ujar Jonan.
Kalau itu betul, berarti selama ini banyak yang salah sangka. Termasuk saya. Dikira fungsi palang itu
untuk mencegah mobil lewat. Untuk pengendara kendaraan bermotor, penyelamatnya bukan palang pintu,
tapi rambu lalu lintas. Menurut aturan, begitu pengendara melihat ada rambu rel kereta di daerah itu, dia
harus hati-hati: berhenti, tengok kanan, tengok kiri, baru memutuskan untuk menyeberangi rel.
Ini identik dengan contoh berikut: ketika Anda tidak boleh memasuki satu jalan, di mulut jalan itu tidak
perlu dipasangi palang pintu, melainkan cukup rambu ferboden. Seharusnya semua hal itu cukup dengan
rambu. Begitulah aturan yang berlaku.Saya juga minta agar anak perusahaan Pertamina melakukan
reedukasi untuk para sopir mobil tangki minyak, gas, dan elpiji. Harus ada latihan khusus, pendidikan
khusus, dan tes kejiwaan khusus. Kepatuhan pada rambu lalu lintas harus seperti disiplinnya orang-orang
Jepang. Barang yang mereka angkut sangat sensitif. Bukan roti atau ice cream! Mobil Pertamina harus
jadi teladan: begitu ada rambu rel kereta, tidak boleh lagi beralasan palang pintu belum ditutup.
Pertamina sudah akan melakukan itu. Juga sudah melakukan langkah penyantunan yang maksimal:
menanggung biaya pengobatan, biaya sekolah anak-anak mereka, dan seterusnya. Pertamina juga tengah
mencari alamat seorang gadis asal Palembang yang menderita luka bakar di kedua tangannya. Gadis ini
datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dia keliling Jakarta untuk mencari lowongan. Karena itu,
Pertamina akan mengangkatnya menjadi karyawan. Apalagi, ternyata, gadis itu memiliki kemampuan
khusus: menguasai lima bahasa asing.
Saya sangat merasakan guncangan jiwa Jonan sehingga saya memakluminya ketika dia agak emosional.
Bayangkan, di saat lagi gencar-gencarnya memperbaiki kinerja KAI, di saat banyak penghargaan yang
dia terima, di saat semangatnya lagi membubung setinggi-tingginya, terjadilah kecelakaan itu. Jonan,
begitulah kehidupan ini. Kadang ada orang tiba-tiba terkena stroke justru ketika sedang jaya-jayanya.
Kadang orang ditinggal mati calon suami ketika undangan perkawinan sudah diedarkan. Itulah kehidupan.
Kadang seorang yang bertahun-tahun mimpi punya mobil, begitu bisa membeli mobil baru yang
diidamkannya dengan cara mencicil, sebuah truk menabraknya dari belakang pada hari pertama dicoba
di jalan raya. Ada kalanya orang sudah berbuat baik pun masih akan dicela. Orang jahat pun kadang bisa
jadi pahlawan.
Tuhan, alhamdulillah lautku pasang
Tuhan, alhamdulillah lautku surut
Tuhan, alhamdulillah badanku sehat
Tuhan, alhamdulillah badanku meriang
Tuhan, alhamdulillah lautku tenang
Tuhan, alhamdulillah lautku bergelombang
Tuhan, alhamdulillah.
(Penulis adalah Menteri BUMN RI/IM)
harusnya PTKAI juga menyantunkan pegawainya,
kemarin saya mengalami, membeli tiket kereta jurusan surabaya-malang
harga tiket 5.500
saya kasih uang 50ribu katanya ga ada kembaliannya
lalu saya rogoh2 tas dan kantung2 celana dan menemukan 5.200
karna kurang 300rupiah saya terpaksa kembali menyerahkan uang 50rb tersebut
mbaknya tetep ngotot bilang gak ada kembaliannya, mbak tuker dulu aja
padahal antrian di belakang lumayan ,
orang yang pas berada di belakang saya mungkin bisa mengerti keadaannya
tapi yg di belakangnya lagi? bener2 harga diri saya tercabik2 hanya karna 300rupiah itu, gak logis aja masa PTKAI ga punya uang 44.500 buat kembalian? dan saya jadi malas naik kereta kalo penjaga tiketnya mbak yg itu..bus kota loh bisa ngasih kembalian segitu masa PTKAI ga bisa, Mustahil -_-