Jimly Asshiddiqie: Proses Hukum Studi 40 Pejabat ke AS


JAKARTA – Studi banding ke luar negeri sudah menjadi kebiasaan pejabat, birokrat, dan anggota legislatif di Indonesia. Pertanggungjawaban anggaran dan hasil studi pun tidak jelas.

Karena itu, sebagai shock terapy, penegak hukum perlu mengusut kegiatan studi 40 pejabat Indonesia ke Amerika Serikat (AS). Hal itu dikatakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie kepada SH, Kamis (15/9).

Ia menyatakan hal itu menanggapi keberangkatan 40 studi mengenai politik di Universitas Harvard, AS, Jumat (16/9) ini.

Rombongan terdiri dari 19 bupati/wali kota, 19 Kepala Bappeda, dan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri. Mereka akan belajar selama tiga minggu di Negeri Paman Sam.

Dalam studi itu para pejabat akan memaparkan pengembangan sumber daya alam dan pengelolaan pemerintahan. (lihat tabel potensi sumber daya alam 19 daerah).

Jimly mengatakan, penegak hukum harus memeriksa rombongan tersebut setelah mereka pulang studi banding. “Ini untuk shock terapy. Proses hukum mereka. Periksa darimana uangnya? Siapa yang mengizinkan? Apa saja kewajiban yang telah mereka tinggalkan selama pergi studi?” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini.

Dia mengatakan, inisiatif penegak hukum penting agar kebiasaan buruk yang sudah meluas ini bisa dihentikan. “Sekarang ini mulai dari hakim pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung, pejabat daerah sampai DPR pusat, sering studi banding,” ungkapnya.

Namun, pertanggungjawaban anggaran dan hasil studi tidak jelas. Untuk rombongan 40 pejabat, menurut Jimly, perlu dicari sumber anggarannya. Bila anggaran dari pihak swasta, penegak hukum bisa mempertanyakan apakah hal itu termasuk gratifikasi atau bukan.

Dia menyatakan, memang program studi banding 40 pejabat tersebut belum tentu berindikasi korupsi. Namun, setidaknya harus dipertanggungjawabkan. Menurut dia, harus ada tindakan dari penegak hukum agar tidak terlalu banyak kerugian negara gara-gara studi banding.

“Penegak hukum jangan terorientasi pada hasil, tetapi harus memberi pendidikan, agar jangan ada pejabat melakukan kegiatan pribadi yang sifatnya merugikan negara,” tuturnya

Selain itu, kegunaan studi banding juga bisa dipertanyakan. Ini karena para pejabat tersebut telah meninggalkan kewajibannya melayani masyarakat. “Itu kan termasuk korupsi juga namanya. Apalagi jika perjalanan didanai lembaga asing. Ini pengkhianatan negara atau bukan?” ungkapnya.

Lagi pula, menurut Jimly, lazimnya studi banding tidak dilakukan bupati atau wali kota. Pihak yang melakukan studi seharusnya staf dari institusi yang membutuhkan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *