In Memoriam Anton Medan (10 Oktober 1957 – 15 Maret 2021)


In Memoriam Anton Medan (10 Oktober 1957 – 15 Maret 2021)

‘Sekolahan’ di Balik Jeruji Besi, Menjadi Mualaf dan Perwujudan Bangsa Indonesia yang Kokoh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertengahan Desember 2020, saya menerima WhatsApp dari teman dekat mengenai sengketa warisan dengan kakak kandungnya, yakni sebuah rumah di Jakarta Barat. Ia meminta pendapat saya mengenai kakaknya yang ‘main patgulipat’ untuk mengambil warisan rumah tersebut. Ia mengaku bahwa pengacaranya sempat telpon dan claim ‘pengacara para petinggi negara’. Sehingga kawan saya merasa gentar dan minta pendapat. Pengacara tersebut memang sudah beberapa kali membela petinggi negara, dan sebagian menang. “Dia sepertinya pengacara yang kuat.” Tapi saya singkat saja merespons, upaya membantu solusinya. “Pengacara sekuat apapun, ataupun profesi bodyguard sekuat apapun, tetap punya titik kelemahan.”

Bahwa pengacara tersebut pernah menangis pada acara perdebatan di salah satu televisi swasta nasional Indonesia. Perdebatan antara pengacara dengan Anton Medan (Tan Hok Liang) sempat sengit dan hampir berujung adu jotos. Akhirnya, pengacara tersebut sempat hampir meneteskan air mata karena nggak tahan debat dengan Anton. Karena penjelasan saya dianggap logis, dan bisa menjadi solusi, teman saya langsung mencari lokasi pesantren Anton di bilangan Mangga Besar Jakarta Barat. Mungkin sebagai mantan preman kelas kakap, aktif di Persatuan Islam Tionghoa (PITI), sosok Anton bisa meredam ‘arogansi’ pengacara tersebut. Teman saya melihat bahwa pengalaman debat dengan pengacara tersebut bisa sebagai ‘reminder’ bahwa sosok Anton jangan dipandang sebelah mata.

Saya sempat temu beberapa kali dengan Anton di beberapa event termasuk Rakernas PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) di Batam, Prov. Kepri pada Oktober 2016. Sosoknya tetap kelihatan garang walaupun usianya sudah uzur. Ia sempat bercerita kepada saya bahwa ia tidak ujuk-ujuk menjadi preman. Mungkin kalau ditelusuri kisah hidupnya sampai melewati fase kehidupan kriminalitas, ia akan memulai (cerita) bagaimana kesulitan hidup di masa kecil. Ketika ia membantu beban kedua orang tuanya dengan berjualan kue, menjadi calo penumpang bus, dan lain sebagainya. Setiap pekerjaan yang digeluti pada usia belasan tahun adalah ‘sekolahan’ (keluar masuk penjara) menjadi preman kelas kakap.

Kendatipun ia masuk ‘sekolahan’ selama 14 kali (di balik jeruji besi) akibat perbuatan kriminalitasnya, hal itu belum cukup. Ia sudah sangat membaur dengan non-Tionghoa, bahkan memeluk agama Islam pada tahun 1992. Ia mendirikan pesantren, dan mengganti namanya menjadi Muhammad Ramdhan Effendi. ‘Sekolahan’ 14 kali masuk penjara plus menjadi mualaf, masih belum cukup. Karena sebagaimana orang Tionghoa di Indonesia dengan takdir ‘shio kambing (hitam)’, Anton sempat dijadikan ‘kambing hitam’ di balik kerusuhan Mei 1998. Sebelum masuk Islam, Anton dibesarkan di tengah-tengah politik gelap Indonesia. Itu selama pemerintahan Orde Baru Soeharto ketika preman digunakan dalam politik, bisnis dan instansi pemerintah. Kerusuhan yang awalnya merupakan demonstrasi mahasiswa untuk memprotes presiden Indonesia Soeharto berubah menjadi demonstrasi anti-Tionghoa di ibu kota Jakarta. Untungnya, Anton bisa lepas dari ‘shio kambing (hitam)’ rezim Orde Baru.

Mengikuti serangkaian cerita hitam-putih Anton sampai akhirnya meninggal dunia (15/3), ada persinggungan dengan permasalahan suku Tionghoa di Indonesia. Bahwa masuk ‘sekolahan’ (14 kali dipenjara) plus menjadi Mualaf mungkin tidak cukup untuk bisa lepas dari ‘shio kambing (hitam)’. Sementara dari tahun ke tahun, berbagai peristiwa rasialis anti Tionghoa di Indonesia sampai akhirnya ikrar ‘harga mati, etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia adalah perjuangan melewati turbulensi pembangunan bangsa, perwujudan bangsa Indonesia yang kokoh, rukun bersatu, menghargai hak asasi manusia, inklusif, pluralis. (setiawan Liu)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *