ICIJ Ungkap Uang Panas Rp7,1 T di Bank-bank RI


 

Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) mengungkap dugaan aliran uang ‘panas’ yang mampir di bank-bank di Indonesia, baik bank BUMN maupun swasta. Nilainya mencapai US$504,65 juta setara Rp7,31 triliun (mengacu kurs Rp14.500 per dolar AS) dari 496 transaksi.

ICIJ adalah organisasi nirlaba yang beranggotakan 267 jurnalis investigasi dari 100 negara maupun kawasan berbasis di AS. Salah satu hasil investigasi ICIJ yang terkenal adalah dokumen Panama (Panama Papers) pada 2016 lalu, yang berisi dugaan praktik pencucian uang dan penggelapan pajak sejumlah pejabat negara dan pengusaha ternama.

Mengutip data ICIJ, aliran uang itu yang mampir di perbankan Indonesia terdiri dari transaksi keluar senilai US$286,16 juta dan transaksi masuk US$218,49 juta melalui 19 bank. Sebanyak 19 bank yang diduga menerima aliran uang tersebut, terdiri dari dua bank BUMN dan 17 bank swasta.

 

Temuan ICIJ itu bersumber dari dokumen rahasia otoritas AS, yakni Jaringan Penegakan Hukum atas Kejahatan Finansial Departemen Keuangan AS (US Department of Treasury’s Financial Crimes Enforcement Network) atau dikenal sebagai FinCEN.

Dokumen FinCEN mencakup lebih dari 2.100 laporan aktivitas mencurigakan yang diajukan oleh bank dan perusahaan keuangan lainnya ke badan tersebut.

Dalam dokumen itu, ICIJ menemukan lebih dari US$2 triliun dugaan transaksi haram dalam periode 1999-2017 melalui bank kelas kakap global. Dari jumlah tersebut, mayoritas melalui Deutsche Bank senilai US$1,3 triliun dan JPMorgan sebesar US$514 miliar.

Bank pelat merah yang disebutkan dalam laporan tersebut yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI). Bank Mandiri diduga menerima sebagian besar aliran uang senilai US$292,73 juta, setara 58 persen dari total aliran uang panas.

Angka tersebut terdiri dari US$250,39 juta transaksi keluar dan US$42,33 juta transaksi masuk, dengan total 111 transaksi.

Merespons hal tersebut, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rully Setiawan mengatakan seluruh informasi terkait nasabah merupakan rahasia bank sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Namun, ia memastikan bahwa Bank Mandiri konsisten menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Hal itu meliputi penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) sebagaimana ditetapkan dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (TPPU dan TPPT), peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ketentuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bank Mandiri juga menjalankan kewajiban pelaporan sebagaimana diamanatkan UU, terkait kriteria transaksi mencurigakan atau nominal tertentu.

“Bank Mandiri juga dalam menerapkan Program APU PPT-nya selain tunduk atas ketentuan tersebut di atas, juga berusaha agar selaras dengan international best practices sebagaimana rekomendasi FATF (Financial Action Task Force On Money Laundering),” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/9).

Bank pelat merah lainnya, BNI, diduga menerima aliran uang senilai US$10,94 juta dari dua transaksi. Menanggapi temuan itu, Sekretaris Perusahaan BNI Melly Meiliana menuturkan BNI selalu melakukan pemantauan atas profil dan transaksi nasabah, termasuk nasabah berisiko tinggi sesuai dengan ketentuan.

Apabila ditemukan transaksi keuangan mencurigakan, maka BNI akan melakukan analisa atas transaksi tersebut. Ia mengklaim BNI telah memiliki sistem monitoring yang mampu untuk mendeteksi pola-pola transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan.

“Selanjutnya kami wajib menyampaikannya kepada Financial Intelligence Unit (FIU) di Indonesia atau dalam hal ini PPATK,” tuturnya.

Aliran Jumbo ke Bank Swasta

ICIJ juga mencatat aliran uang haram di Indonesia lainnya melalui bank swasta baik nasional maupun multinasional yang memiliki sejumlah cabang di beberapa negara.

Salah satunya, PT Bank Central Asia Tbk. Bank swasta nomor wahid di Indonesia itu diduga menerima aliran uang senilai US$753,76 ribu dari 19 transaksi.

Menanggapi temuan itu, Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja menegaskan perusahaan telah mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku.

“BCA selalu comply (patuh) dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan Anti Pencucian Uang serta Pembiayaan Terorisme,” tuturnya.

Selain BCA, terdapat nama bank yang juga tercatat di pasar modal, PT Bank CIMB Niaga Tbk. Bank dengan kode saham BNGA itu juga diduga menerima aliran uang senilai US$44,89 juta dari 7 transaksi.

Terkait temuan itu, Direktur Compliance, Corporate Affairs and Legal Bank CIMB Niaga Fransiska Oei mengatakan perusahaan memiliki sistem otomatis untuk mendeteksi transaksi-transaksi yang memiliki unsur-unsur yang mencurigakan.

Jika ditemukan transaksi yang mencurigakan, pihak Bank CIMB Niaga akan melakukan investigasi dengan mengumpulkan berbagai informasi yang tersedia.

“Apabila transaksi dimaksud dipastikan positif memenuhi unsur-unsur transaksi yang mencurigakan sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, bank akan melakukan pelaporan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK,” ucapnya.

Selanjutnya, sejumlah bank swasta tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang masuk daftar dokumen FinCEN antara lain, PT Bank Danamon Indonesia Tbk diduga menerima aliran uang senilai US$3,1 juta dari 28 transaksi, PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk senilai US$130,82 juta dari 49 transaksi, dan PT Bank Panin Tbk senilai US$5,42 juta dari 19 transaksi.

Lalu, PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk senilai US$708,541 ribu dari 10 transaksi, PT Bank of India Indonesia Tbk senilai US$20,76 juta dari 5 transaksi, PT Bank OCBC NISP Tbk senilai US$2,70 juta dari 13 transaksi, dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk senilai US$5,32 juta dari 34 kali transaksi.

Selain itu, terdapat bank swasta multinasional yang mempunyai cabang di sejumlah negara. Meliputi, Bank DBS Indonesia diduga menerima aliran uang senilai US$3,5 juta dari 7 transaksi, Hong Kong Shanghai Banking Corp (HSBC) senilai US$2,99 dari 2 transaksi, dan PT Standard Chartered Bank senilai US$5,8 juta dari 3 kali transaksi.

Berikutnya, PT Bank UoB Indonesia senilai US$2,39 juta dari 24 transaksi, PT Bank ICBC Indonesia US$49,99 ribu dari 1 kali transaksi, Citibank senilai US$2 juta dari 1 kali transaksi, PT Bank Chinatrust Indonesia senilai US$554,29 ribu dari 39 transaksi, dan PT Bank Commonwealth senilai US$9,55 juta dari 149 transaksi.

Celah Aliran ‘Uang Haram’

Pengamat mengungkapkan masih terdapat celah untuk mengalirkan uang haram ke perbankan meski sudah ada sistem Know Your Customer (KYC). Sebagai catatan, sistem KYC diterapkan untuk mengenali dan mengetahui identitas nasabah.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan salah satu celahnya berasal dari persetujuan transaksi mencurigakan yang terkadang melibatkan oknum dalam bank sendiri. Jadi, meskipun sudah ada skema KYC, masih ada peluang oknum di bank yang meloloskan transaksi tersebut.

“Permasalahannya approval (persetujuan) transaksi yang mencurigakan terkadang melibatkan oknum pimpinan atau top manager bank sehingga transaksi yang ilegal bisa lolos. Ini bukan kejahatan keuangan biasa tapi sudah terstruktur dan punya rantai komando, ” ujar Bhima.

 

Di Indonesia sendiri, lanjut Bhima, KYC dilakukan dengan identifikasi nasabah melalui dokumen-dokumen terkait. Bank juga mengawasi rekening nasabah, meliputi dana yang masuk dan keluar pada setiap transaksi.

Jika terdapat profil nasabah yang tidak wajar, misalnya nasabah memiliki bisnis pertambangan tapi menerima uang dari bisnis yang bergerak di alat pertahanan maka hal tersebut bisa menjadi temuan.

“Kemudian bisa mempelajari sequence atau urutan dari transaksi. Kalau ada transaksi jumbo yang tidak wajar ini dipertanyakan dan bisa di crosscheck dengan nasabah,” tuturnya.

Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai skema KYC di Indonesia sudah berjalan. Namun, ia menuturkan masih terdapat sejumlah celah di dunia perbankan baik domestik maupun global untuk menyisipkan dana ilegal.

“Umumnya ada tiga skema yang biasa digunakan untuk uang gelap ini, misalnya parallel loantransfer pricing, dan back to back loan,” ucapnya.

Parallel loan yakni skema perusahaan induk memberikan pinjaman yang melibatkan anak perusahaannya di negara yang berbeda-beda. Pinjaman tersebut tidak diberikan secara langsung namun melalui perusahaan lain.

Selanjutnya, transfer pricing dimana perusahaan multinasional mengalihkan uang mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah.

Transfer pricing umumnya dilakukan untuk proses penghindaran pajak. Caranya menggunakan perusahaan yang ada di negara surga pajak kemudian perusahaan ini bertindak sebagai perusahaan cabang dan ditransfer ke sana seolah sumber dana beda,” tuturnya.

Kemudian, back to back loan sebetulnya skemanya tidak jauh beda dengan parallel loan. Namun, pada skema ini uang diberikan kepada anak perusahaan dengan nama yang sama. Pinjaman diberikan dengan menjaminkan aset likuid seperti uang kas, deposito, obligasi atau surat berharga lainya.

Diketahui laporan ICIJ memberikan dampak pada perdagangan saham pada Senin (22/9). Saham sejumlah bank kelas kakap dunia merosot kemarin, tak lepas dari mencuatnya laporan terkait keterlibatan bank dalam aliran ‘uang haram’ di tingkat global.( CNN / IM )

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *