Dunia Berbeda, Diskriminasi Tetap Sama


Seorang perempuan Arab Saudi dijatuhi hukuman cambuk 10 kali karena mengemudi, Selasa (27/9). Untunglah, hukuman tersebut telah dicabut oleh Raja Abdullah. Meski keputusan itu belum resmi, namun beritanya di-twit oleh para Putri Arab Saudi.

“Alhamdullilah, pencambukan terhadap Shaima dibatalkan. Terima kasih untuk raja kita yang tercinta,” demikian bunyi “kicauan” Putri Amira al-Taweel, istri Pangeran Saudi Alwaleed bin Talal seperti dikutip BBCNews, Kamis (29/9).

Tidak seperti di Indonesia, kaum perempuan di Arab Saudi memang dilarang mengemudi sendirian. Meski larangan tersebut telah berlangsung lama, hukuman cambuk itu baru pertama kali dijatuhkan.

Biasanya, polisi hanya menghentikan mobil yang dikendarai perempuan, menanyai mereka, dan membiarkannya pergi setelah menandatangani surat perjanjian tidak akan mengemudi lagi. Sejak Juni lalu, puluhan perempuan Arab Saudi terus berlaga di jalanan untuk menghapus tabu itu.

Vonis yang dijatuhkan atas Shaima Jastaina (30) itu mengundang kemarahan aktivis penggiat kesetaraan hak perempuan. Padahal, dua hari sebelumnya Abdullah berjanji melindungi hak-hak perempuan dan membolehkan mereka berpartisipasi dalam pemilihan kota tahun 2015.

Raja Abdullah juga berjanji untuk menunjuk wakil perempuan dalam dewan penasihat, Dewan Syura, yang didominasi kaum pria.

Tantangan bagi Abdullah, yang terkenal sebagai reformis, untuk mendorong perubahan tanpa membuat marah ulama yang berkuasa, serta kalangan konservatif di Arab Saudi.

Abdullah menyatakan dia mendukung Dewan Ulama, namun aktivis menganggap vonis terhadap Shaima adalah balas dendam dari para elite ulama Arab Saudi yang mengendalikan pengadilan dan mengawasi polisi agama.

Aktivis penggiat hak perempuan, anggota Masyarakat Hak-hak Asasi Manusia Nasional Arab Saudi, Sohila Zein el-Abydeen menyatakan tidak seharusnya raja diperlakukan demikian oleh ulama. Dalam pembicaraan via telepon, dia menangis terisak-isak. “Vonis itu mengejutkan saya, tapi kami sudah menduga demikian,” kata Sohila.

Shaima dinyatakan bersalah karena mengemudi tanpa izin, kata aktivis Samar Badawi. Eksekusi hukuman biasanya dilakukan dalam sebulan mendatang. Menurut Samar, Shaima mengajukan banding atas keputusan tersebut.

Arab Saudi adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang perempuan, baik lokal maupun asing, mengemudi. Larangan itu memaksa banyak keluarga mempekerjakan sopir dengan gaji antara US$ 300-400 per bulan. Jika tidak mampu, terpaksa bergantung pada laki-laki di rumah untuk mengantar mereka bekerja, bersekolah, berbelanja, atau pergi ke dokter.

Tidak ada hukum tertulis yang melarang perempuan mengemudi. Namun larangan itu telah berakar dalam tradisi konservatif dan pandangan keagamaan yang membatasi gerak perempuan. Hal ini pulalah yang menjadikan perempuan rentan jatuh ke dalam “dosa”. Para aktivis menegaskan justifikasi keagamaan tidak relevan.

“Bagaimana bisa perempuan dicambuk karena mengemudi, sementara hukuman maksimum pelanggaran lalu lintas adalah denda dan bukan cambukan?” kata Sohila. “Bahkan istri-stri Nabi Muhammad pun mengendarai unta dan kuda karena itulah satu-satunya alat transportasi,” ujarnya lagi.

Bertempur

Sejak bulan Juni, puluhan wanita memimpin kampanye untuk menghapus tabu dan memberlakukan status quo baru. Penggerak kampanye, Manal al-Sherif, mengirim rekaman video dirinya menyetir di Facebook. Akibatnya, ia ditahan selama lebih dari 10 hari. Manal dibebaskan setelah menandatangani surat perjanjian tidak akan mengemudi lagi atau berbicara kepada media.

Sejak itu, perempuan tampak mengemudi sekali dua kali sepekan. Hingga Selasa, tidak satu pun yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Namun baru-baru ini, beberapa wanita dipanggil untuk diperiksa oleh jaksa dan diajukan ke pengadilan.

Salah satunya ibu rumah tangga Najalaa al-Harriri. Ia hanya mengemudi dua kali. Itu pun bukan karena membandel, tapi karena terdesak kebutuhan. “Saya tidak punya sopir. Saya perlu mengantar putra saya ke sekolah dan menjemput putri saya dari kantornya,” katanya via telepon dari Jeddah.

Di belahan dunia lainnya, perempuan Australia, khususnya yang bertugas di militer, bisa berbangga diri. Ini karena pemerintah secara resmi, Selasa, mencabut semua pembatasan terhadap peran perempuan yang bertugas di angkatan bersenjata.

Pemerintah berkesimpulan bahwa secara psikologis dan fisik, tak ada halangan bagi perempuan untuk bertempur dan menjadi anggota satuan khusus tentara di Australia.

“Mulai hari ini dan seterusnya, tugas perang maupun di garis depan tidak akan ada perkecualian bagi warga Australia berdasar jenis kelaminnya,” kata Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith, yang mengumumkan pernyataan resminya, Selasa.

Namun, ia mengakui, mungkin diperlukan waktu setidaknya lima tahun sebelum militer bisa menerapkan perubahan besar ini. Kini, militer Australia ada 59.000 personel, dan wanita bisa menempati sekitar 93 persen peran militer yang ada, antara lain tugas-tugas artileri dan strategi.

Negara tetangga Australia, Selandia Baru, terlebih dulu mengizinkan wanita menjalankan segala tugas militer di semua bidang, termasuk pertempuran di garis depan.

Apa yang terpapar dari dua belahan dunia ini makin menguatkan bahwa penegakan CEDAW (Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women) harus digalakkan. Meski perjanjian internasional ini sudah diratifikasi oleh lebih dari 177 negara, termasuk Indonesia, tapi masih sulit direalisasikan

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *