Diplomat RI di Suriah, Kerap Bersinggungan dengan Maut


“Ada beberapa kali pengalaman di mana saya hampir terkena peluru.”

Pengalaman menjadi diplomat dan bertugas di daerah konflik tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Rahmat Artya Hindiarta. Menurut Rahmat, bekerja di Suriah adalah sebuah pengalaman yang mendebarkan.

Betapa tidak, di saat negara itu tengah dibelit peperangan saudara sejak tahun 2011, nyawa dia dapat terancam kapan pun. Cerita itu dibagi ketika ditemui usai menghadiri acara media gathering di ruang Palapa, Gedung Kemlu, Jumat 20 September 2013.

Rahmat yang bertugas di Damaskus dari tahun 2010-2013 ini menceritakan kerap hampir bersinggungan dengan maut.

“Ada beberapa kali pengalaman di mana saya hampir terkena peluru nyasar saat di Damaskus. Lalu saat sedang berada di apartemen Kemlu di lantai empat, tiba-tiba kena lemparan bom mortir, sehingga semua jendela pecah,” ujar Rahmat bercerita soal pengalamannya ketika masih bertugas dulu.

Dia menambahkan dulu saat sebuah bom mobil meledak di dekat gedung KBRI di Damaskus, getarannya dapat dia rasakan saat berada di dalam.

Dia berkisah dulu saat konflik belum melanda negara itu, situasi di Suriah sama seperti di negara lainnya. Bahkan cukup kaum muslim di sana termasuk moderat.

“Warga Suriah sangat bersahabat dan cukup menghargai orang asing. Perempuan dapat berjalan dengan bebas bahkan di malam hari. Banyak di antara mereka yang tidak mengenakan burka atau jilbab,” ujar Rahmat.

Namun kini, situasi itu berubah 180 derajat. Rahmat berujar selama bertugas di sana pasca perang sipil, prioritas yang ada di kepalanya hanya ingin menyelamatkan WNI dan dapat memulangkan mereka ke tanah air.

Menurut data yang ada di Kemlu, jumlah WNI di Suriah mencapai 12 ribu orang. Sebagian besar merupakan Tenaga Kerja Wanita. Mereka tersebar di Damaskus dan Aleppo.

Sebanyak 8.999 TKW telah dipulangkan ke Indonesia. Kini masih tersisa 3.573 WNI yang masih ada di Suriah.

Rahmat mengatakan alasan banyak TKW di Suriah, karena Pemerintah melarang menerima tenaga kerja asing laki-laki. Tiap TKW di sana dibatasi maksimal hanya boleh bekerja selama tiga tahun.

Mengingat cukup banyak jumlah WNI di kota Aleppo, Rahmat kerap harus mengunjungi kota itu walau didera konflik. Dia berkunjung ke sana rutin seminggu sekali untuk memastikan WNI di sana selamat.

“Alhasil karena saya sering berkunjung ke Aleppo, saya pernah dipanggil oleh mantan Gubernurnya. Dia menanyakan motif saya sering datang ke Aleppo. Ya, saya katakan kalau saya berkunjung ke sana untuk mengecek para TKW,” kata dia.

Sang mantan Gubernur itu kemudian merasa salut karena Pemerintah Indonesia peduli terhadap warganya. Dia bahkan bercerita turut memiliki TKW di kediamannya.

“Mantan Gubernur ini bercerita kalau anaknya justru lebih dekat ke TKW yang bekerja di rumahnya ketimbang ke ibu kandungnya sendiri,” ujar Rahmat yang diiringi tawa awak media.

Untuk dapat memulangkan TKW, kata Rahmat, agak sulit karena hanya dapat melalui jalur darat yakni melalui Lebanon. Semua penerbangan internasional menuju Suriah sudah ditutup sejak tahun 2012.

Ditanya apakah ada WNI yang menjadi korban tewas selama konflik berlangsung. Rahmat menyebut ada satu TKW yang tewas tahun 2012 dan jenazahnya telah dipulangkan ke Indonesia pada Desember tahun lalu.

“Jadi TKW ini sedang berjalan-jalan dengan majikannya. Lalu tiba-tiba mereka dirampok dan ditembaki oleh sekelompok orang bersenjata,” ujar Rahmat.

TKW mati di tempat, sementara sang majikan meregang nyawa di RS. Kini, Kemlu tengah bersiap memulangkan sebanyak 45 orang WNI pada bulan September ini.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *