Cegah Kembalinya Pertarungan Ideologi Era Tahun 50-60 Dalam Politik Indonesia


 Mungkin akhirnya menjadi tidak terlalu mengejutkan jika pasca Pemilu 2019 ini menyisakan residu dalam rumah besar kerukunan sosial kita. Betapa tidak? Persaingan politik baik antar partai maupun antar pengusung Capres – Cawapres yang peak nya terjadi dalam kurun 7 bulan menjelang hari pencoblosan tak pelak menajam dan mengeras ke tingkat yang tak kita bayangkan sebelumnya. Rakyat bak terbelah.

Berseberangan di muka sungai persatuan, berhadap-hadapan dalam raut wajah yang penuh ejekan, ketidaksukaan, dan sebagian dari mereka: beringas dipenuhi amarah. Lebih jauh dari itu masing-masing pihak meyakini: ‘betapa bodoh dan sesatnya’ pilihan dari pihak yang berseberangan pilihan dengan mereka.

Apa sebab situasi akhirnya terjadi seperti ini? Apa yang salah? Ataukah ini memang sebuah keniscayaan dan konsekuensi normal atas model kontestasi di sebuah negara yang tengah membangun demokrasi dengan sehebat-hebatnya?

Kalau kita berefleksi sejenak, memutar waktu ke sekitar tahun 50 – 60, mungkin ada satu-dua pembelajaran yang bisa kita dapatkan. Sejarah perkembangan demokrasi Indonesia tahun 1950 1960 ditandai dengan era multi partai yang saling berebut peran dan pengaruh politik kepada pemerintahan, berkembangnya pengaruh komunis, serta pada akhirnya, gerakan radikal partai menjadi pemberontakan kepada negara.

Pemilu 1955 merupakan momentum yang memperlihatkan untuk pertama kalinya bahwa iklim politik Indonesia begitu terbuka dengan berbagai aliran. Selain pendekatan aliran, juga menggambarkan aliran-aliran pemikiran politik yang ada ketika itu, yaitu: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisasi Demokratis, dan Komunisme. Era tahun 1950-1960 sungguh merupakan masa memanasnya partai-partai politik dengan pendekatan ideologinya masing-masing.

Setiap partai politik merekrut kelompok-kelompok sosial tertentu untuk menjadi anggota atau pendukung partai. Hal ini berdampak kepada adanya pengidentikan partai dengan kelompok sosial di dalam masyarakat. Contohnya kala itu PKI identik dengan kelompok petani, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) identik dengan kelompok Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik dengan NU, serta PNI yang identik dengan kelompok ‘abangan’.

Selanjutnya mudah diduga, adanya pemisahan secara ekstrim kelompok-kelompok sosial ini akhirnya memancing terjadinya konflik antar kelompok sosial sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai menyerang partai lainnya yang berbeda ideologi dengan mereka. Mereka masing-masing mencari cara untuk menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap mampu mengurangi pengaruh/reputasi atau bahkan menjatuhkan partai lainnya.

Visi, misi dan program partai dirasa sudah tidak menarik lagi dijadikan modal untuk merebut dukungan. Masing-masing partai berusaha menancapkan cap atau stigma tertentu pada pihak pesaingnya, tak lagi penting itu ada dasarnya atau tidak dan masuk akal atau tidak. Rakyat yang pada fanatik pada masing-masing ideologi yang dianutnya, dengan sedikit usaha saja, mudah sekali diadu domba.

Pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan DI/TII, PRRI dan G 30 S/PKI adalah buah pertentangan ideologi yang mengeras dan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pada kasus pemberontakan DI/TII, Kartosuwiryo, pimpinan Masyumi yang juga mantan anggota Sarekat Islam menjadikan Islam sebagai ideologi politik, di mana setiap perjuangan politik haruslah berpegangan pada akidah politik, yaitu ideologi. Belasan ribu jiwa tewas akibat pemberontakan ini sekalipun akhirnya Kartosuwiryo ditangkap TNI dan dieksekusi pada tahun 1962.

Pasca pemilu 1955, Masyumi memang semakin sering berbeda pendapat dengan partai-partai lain di kabinet maupun parlemen dalam beberapa isu politik, terutama mengenai peranan PKI. Hal itu menimbulkan perselisihan dengan Presiden Soekarno, yang menginginkan dilibatkannya PKI dalam kehidupan pemerintahan. Tajamnya perselisihan dalam isu PKI akhirnya mendorong sejumlah petinggi Masyumi, seperti M. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara pada tahun 1956 – 1961, melibatkan diri dan mendukung pemberontakan PRRI/Permesta yang anti-komunis.

Gerakan 30 September PKI boleh dibilang adalah puncak dari upaya perebutan pengaruh yang dilakukan PKI kepada Pemerintah cq Sukarno atas persaingan PKI dengan partai-partai lain yang ada saat itu seperti PNI, NU, Muhammadiyah, Perti, PSII, IPKI dll. Puncak persaingan perang ideologi tersebut kemudian menjadi musibah besar yang dicatat sejarah Indonesia. Jutaan rakyat menjadi korban.

Kita tidak pernah berharap peristiwa yang paling kelam dalam sejarah perjalanan bangsa ini berulang di masa berikutnya. Sekalipun “panasnya” Pemilu 2019 tidak sehebat perang ideologi di tahun 1950-1960, namun polarisasi yang terjadi sebagai ekses dimainkannya politik identitas berbau SARA di Pemilu 2019 tidak kalah kuat. Berbagai stigma dan labelisasi antar dua kelompok yang bersaing sangat berpengaruh dalam sikap dan preferensi politik yang kemudian mengeraskan hubungan antar sosial rakyat.

Saling serang label seperti HTI versus PKI, Pancasila versus Islam Khilafah, Cebong versus Kampret, dan lain-lain membuat rakyat seakan terbelah dan berhadap-hadapan. Pemilu 2019 sudah usai, namun aksi saling tuduh, saling curiga dan saling ejek nampak seakan sulit untuk dihentikan. Harus ada proses penyadaran serius yang melahirkan keinginan yang kuat until mengakhiri semua ketegangan antar rakyat yang bisa berujung konflik horisontal dan bahkan vertikal, sebagai akibat dari indikasi keberpihakan pemerintah pada salah satu kontestan Pemilu.

Pertentangan ideologi antar partai sekeras dan setajam apapun, harus dicegah agar tidak berakhir dengan konflik horizontal antara sesama anak bangsa ataupun menjadi gerakan vertikal antara kelompok dengan ideologi tertentu dengan pemerintah, yang memiliki hidden agenda untuk memisahkan diri ataupun mengganti pemerintahan yang sah dengan pemerintah baru yang dapat menjalankan ideologi mereka, tak peduli berapapun jumlah rakyat yang harus dikorbankan untuk tujuannya itu.

Demi terpeliharanya persatuan di atas kepentingan apapun termasuk ideologi antar partai, peranan setiap partai dalam menyalurkan aspirasi pendukung masing-masing harus dihadapkan kepada pilihan tunggal, yaitu berusaha untuk menggabungkan kepentingan dari partai-partai dalam sebuah tujuan besar yaitu membangun negara sebagai rumah bersama, serta hidup berdampingan bersaudara dengan sesama anak bangsa.

Dalam konteks kontestasi politik antar partai, ideologi dari masing-masing partai harus ditransformasikan menjadi Unique Selling Point dan Clear Differentiation sebagai faktor pembeda antar partai. Kepada konstituen, sosialisasi visi, misi serta program isu dari masing-masing partai dengan mudah dapat menjadi ‘alat’ untuk mengidentifikasi diri sesuai preferensi yang mereka percayai, bukan menjadi ‘alat’ untuk saling menjatuhkan, apalagi saling menghancurkan. Tak perlu beringas untuk memenangkan hati rakyat kan?

Sejarah di atas mengajarkan kita bahwa rakyat tidak bisa dipaksa mendukung ideologi kita. Tawaran party positioning yang jelas, visi yang bernas, narasi kader-kader partai yang cerdas, akan menjadi modal partai dalam meraih heart share konstituen.

Yakinlah ke depan, dengan semangat menjaga persatuan dan rasa persaudaraan sesama anak bangsa di rumah besarnya, Indonesia, kita bisa bangun Demokrasi kita sehebat-hebatnya dengan semangat kompetisi antar sesama saudara yang saling asah, saling asuh, saling asih.

‘Cara mencintai Indonesia tak perlu dengan tumpah darahmu, cukup cintai persatuan bangsa ini dengan hatimu’.

Penulis Opini: Renanda Bachtar, Wakil Sekjen Partai Demokrat ( Mdk/ IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *