Beralihnya Kawasan Resapan Air Jadi Proyek Bisnis dan Properti Mengakibatkan Banjir!


Beberapa perumahan di kawasan Jabodetabek tergenang air, kebanjiran. Mayoritas jalanan juga terendam air dalam volume kubik yang signifikan. Beralihnya kawasan resapan air di wilayah Jabodetabek menjadi proyek properti memicu banjir. Bagaimana mengatasi problem ini?

Tiap momen banjir datang, pemerintah dan pengembang kerap saling menyalahkan. Pemerintah menuding pengembang properti kerap menyalahi tata kelola proyek properti (perumahan, apartemen, hotel, perkantoran, dan pusat perbelanjaan) dengan mendirikan bangunan di area atau kawasan resapan air.

Di pihak lain, kalangan pengembang mengaku selama ini tidak mungkin dapat membangun kawasan permukiman tanpa adanya izin resmi dari pemerintah. Developer hanya bisa membangun proyek properti karena sudah dapat izin dari pemerintah. Tentu saja saling tuding ini hanya mendatangkan kerugian bagi konsumen.

Seharusnya pemerintah dan pengembang lebih serius bersama-sama mengatasi akar masalah agar banjir bisa diatasi atau diminimalisasi. Bukan saling menyalahkan. Misalnya, perlu dilakukan reformasi tata ruang sebagai langkah penanggulangan banjir. Reformasi tata ruang ini perlu mendapat kesepakatan antara pemerintah dan pengembang.

Pengemat kebijakan publik, Sudjono HS, mengatakan sekarang ini saatnya bagi pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi untuk melakukan audit terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) di kawasan Ibu Kota dan sekitarnya (Jabodetabek/Jakarta, Bogor Depok, Tangerang, dan Bekasi). Audit tersebut menyangkut peninjauan sejumlah kawasan resapan air yang selama ini tertutup oleh pembangunan proyek properti.

“Perlu adanya upaya penetapan pembentukan sistem kawasan resapan yang lebih optimal di sekadar bergantung pada sistem biopori,” kata Sudjono, saat dihubungi akhir pekan lalu. Di satu sisi, pemerintah juga harus tegas mengingatkan kepada pengembang agar ikut memberi kontribusi mengatasi banjir.

Upaya yang perlu dilakukan, menurut Sudjono, antara lain, membantu penanganan dan pembersihan selokan maupun penyediaan pompa penyedot air. “Peran pengembang untuk mengantisipasi banjir diperlukan mengingat sebagian wilayah realestat masih rawan banjir di musim hujan,” katanya.

Misalnya, pengembang harus aktif melakukan kegiatan pembersihan selokan, perbaikan drainase, maupun penyediaan pompa untuk menyedot dan mengalirkan air hujan ke waduk supaya tidak menggenangi kawasan. Pengembang juga diharapkan berperan menekan potensi banjir dengan menghentikan pembangunan permukiman dan industri di kawasan resapan air.

Sudjono menambahkan tudingan banyaknya pembangunan kawasan perumahan di areal resapan air kembali mengemuka yang menyebabkan banjir tidak bisa dimungkiri.

Karena itu, pengembang dianggap seharusnya ikut bertanggung jawab dengan munculnya banjir yang melanda Ibu Kota dan sejumlah wilayah lain di Indonesia dengan memberi kontribusi ikut meminimalisi banjir.

Perhatian terhadap penanganan banjir oleh pemerintah dan pengembang sudah mendesak dilakukan. Mengatasi banjir di pusat pemerintahan seperti DKI Jakarta sangat penting. Apalgi, mengingat permukaan tanah di Jakarta mengalami penurunan (ambles) mencapai 25 sentimeter setiap tahun akibat penyedotan air tanah secara berlebihan terus berlangsung masif di tengah maraknya proyek properti.

Beberapa waktu lalu, Robert M Delinom, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, mengatakan berdasar data GPS (global positioning system) hasil penelitian dengan ITB menunjukkan subsidence rate (tanah ambles) mencapaii 25 cm per tahun, merupakan tingkat penurunan yang cukup tinggi untuk dislocation dari suatu bangunan.

Berdasarkan data GPS tersebut, dia mengatakan amblesan tanah tercepat antara 20 hingga 25 cm per tahun terjadi di sekitar Senayan, Gedung DPR di kawasan Jalan Gatot Subroto, Joglo. “Joglo, Senayan lebih cepat (ambles) terutama akibat pengambilan air tanah oleh hotel dan mal di sekitar lokasi,” ujarnya.

Penyedotan air tanah yang mengakibatkan amblesnya tanah di Jakarta, menurut Robert, juga membuat banjir di wilayah Jakarta pada 2013 menjadi meluas dibanding dengan banjir 2007. Penyedotan air tanah di Jakarta sudah dimulai sejak zaman Belanda, dan penyedotan air tanah tercatat semakin cepat terjadi sejak tahun 1989 hingga 2007, dengan rata-rata 70.000 meter kubik per hari hinga meningkat hampir 10 kali lipat 650.000 meter kubik per hari.

Dapat Legalitas

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Appersi), Eddy Ganefo, mengatakan pihanya telah mengimbau pemerintah menerapkan reformasi tata ruang sejak lama.

Reformasi tata ruang, misalnya, membenahi waduk-waduk yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Menurut dia, reformasi tata ruang seperti pembenahan waduk merupakan upaya cukup sulit mengingat pemerintah perlu menyediakan lahan pengganti guna merelokasi warga yang tinggal di sekitar waduk.

Terkait banyaknya pengembang yang justru membangun perumahan di kawasan serapan air, Eddy menyerahkan kembali kepada pemerintah. Selama ini, pembangunan proyek properti ada legalisasi izin dari pemerintah.

“Lho jangan salahkan pengembang. Mereka kan bisa bangun rumah di sana karena sudah dapat izin dari pemerintah. Kondisi ini terkadi karena ketidaktegasan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam mengeluarkan izin mendirikan bangunan serta menegakkan aturan,” tukasnya.

Eddy menambahkan mekanisme tata ruang yang mesti dibenahi Pemprov DKI Jakarta melalui sistem transparansi kawasan. Dengan sistem itu, kata dia, penegakan izin maupun keterbukaan bagi publik dalam tata kelola wilayah Jakarta dapat diketahui publik.

“Bila perlu proses perizinan pengembangan properti menggunankan sistem on line sehingga siapa saja dapat mengakses informasi setiap pemanfaatan ruang di Jakarta,” kata Eddy.

Dia berpendapat sistem transparansi kawasan juga perlu dibuat agar meminimalisasi pemanfaatan lokasi resapan air yang salah lokasi. Bahkan, di tengah mahalnya biaya perizinan, transparansi kawasan juga perlu dibentuk agar mencegah terjadinya penyalahgunaan tata ruang.

“Biaya perizinan untuk membangun mahal sehingga saya kira perlu ketegasan perizinan dan transparansi agar mencegah setiap pemanfaatan tata ruang yang salah lokasi,” tambah Eddy

Budi Prayitno, Kepala Pusat Kajian Kebijakan Perumahan dan Permukiman Rakyat, Universitas Gadjah Mada (UGM), menambahkan proyek properti di beberapa kota besar terkesan salah urus. Pengembang mengabaikan kawasan resapan air. Padahal, mestinya, pemerintah setempat harus mengawasi secara ketat proyek properti agar tak menggerus kawasan resapan air.

Jika kawasan resapan air berkurang, potensi banjir akan tinggi. Untuk mengatasi hal ini, penerapan konsep memelihara kawasan resapan air mesti diatur dalalam prosedur perizinan kawasan (site plan) hingga perizinan bangunan. Soal rencana pemerintah yang akan melakukan audit RTRW, menurut dia, mesti memfokuskan aspek peninjauan koefisien dasar hijau (KDH) masih harus dievaluasi.

Selama ini, persoalan pembangunan terdapat pada penerapan KDH, yaitu bagaimana menghindari persentase perkerasan dan meningkatkan resapan. “Audit KDH ini perlu didukung semua pihak sebagai upaya meningkatkan kapasitas resapan dan penyimpanan air sehingga bisa mencegah bencana banjir secara efektif,” jelasnya. (Juft/RM/KJ)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Beralihnya Kawasan Resapan Air Jadi Proyek Bisnis dan Properti Mengakibatkan Banjir!

  1. james
    February 4, 2014 at 3:42 am

    saling tuding, bagus seperti anak kecil saja, nanti kalau Jakarta sudah tenggelam baru tau rasa semua, ambles semua tanah di Jakarta bukan mustahil lagi hanya tinggal tunggu waktu saja

Leave a Reply to james Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *