Bedah Buku Sie Hok Tjwan


Duarte, August 13, 2011 / Indonesia Media. Undangan acara bedah buku yang dilakukan secara
mendadak ternyata banyak juga memikat pakar pakar pengamat sejarah di LA. Mengapa secara
mendadak, dan pada waktu yang tidak biasanya yakni di hari Sabtu pagi, tidak lain karena jadwal
kunjungan penulis, Sie Hok Tjwan,yang kebetulan mendadak.

Bapak Sie Hok Tjwan adalah penulis buku “Soal-soal yang perlu diperhatikan oleh Minoritas Tionghoa
Indonesia” yang baru saja menerbitkan edisi pertamanya. ISBN: EAN978-90-816883-1-4. Beliau
selama ini tinggal di negeri Belanda, dan pernah menulis buku lainnya yang berjudul “The 6th overseas
Chinese State” terbitan Centre for Southeast Asian Studies Townsville Australia. ISBN 0864432755 /
9780864432759 / 0-86443-275-5 , yang banyak dipakai sebagai referensi di universitas didunia.

Acara yang di sponsori oleh ICAA , Duarte Inn, dan Indonesia Media ini, dimoderatori langsung oleh
salah seorang keturunan pelaku sejarah, Butce, yang namanya tidak asing lagi sebagai kolumnis di
Indonesia Media. Sebagaimana biasanya acara dibuka oleh ketua umum ICAA , Dr. Fits Hong, yang
dalam kata sambutannya, “menekankan pentingnya pencatatan sejarah yang benar”.

Dibawah ini adalah biografi singkat penulis:

Sie Hok TJwan Lahir di Malang Jawa Timur 19 Agustus 1928.

Leluhur dari ayah maupun dari ibu datang dari Tiongkok sekitar 200 tahun yang lalu. Dari pihak ibu oleh
Drs.Koo Liong Bing mantan direktur CTC telah ditemukan silsilah (family-tree) hingga dinasti Tang
sebagian dalam bahasa Tionghoa kuno yang telah diterjemahkan di Peking.

Dari pihak ayah, mah-co (ibu nenek)-nya ayah, adalah wanita Priayi Jawa. Hubungan dengan orang
Jawa Priayi maupun rakyat baik sekali. Kami dapat perlindungan dari pihak Jawa yang berkuasa. Dahulu
meskipun tidak bisa bahasa Tionghoa dan ayah/ibu maupun sendirinya tidak pernah ke Tiongkok,
tetapi menganggap diri sebagai orang Tionghoa. Tahun 1945 memihak Indonesia terhadap kolonialis
Belanda bukan sebagai orang Indonesia, tetapi karena solider sebagai sesama bangsa Asia. Tiongkok juga
merasakan tindasan pihak Barat yang sedang jaya. Ayahnya pada tahun 1946 oleh penguasa Republik di
Malang ditunjuk sebagai kepala Fonds Kemerdekaan.

Mencoba ke RRT, ketika itu kesempatan keluar Indonesia hanya dapat melalui Eropa. Ini disebabkan
oleh kemungkinan lalu lintas, pengiriman uang dsb. Tidak berhasil ke Tiongkok, tahun 1955 kembali
ke Indonesia serta menjabat sekretaris pemilihan umum Baperki Pusat. Kemudian redaktur halaman-tiga

Antrian tanda tangan buku penulis

Harian “Republik”. Setelah itu bekerja di NV Mendut milik tuan Hasibuan dan bersama dengan beberapa
anggauta bekas Tentara Pelajar merealisasi barter beras dari Vietnam Utara ditukar dengan gula dari
Indonesia. Tahun 1958 menikah dengan Khoe Swan An.

1960 Dengan keluarga pindah ke Jerman, tinggal di Jerman-Barat. Pada tahun 1965 atas undangan
Kedutaan RRT berkesempatan ke RRT. Disana disebabkan tidak fasih bahasa Tionghoa, tidak tahu jalan
dan tidak ada famili, meskipun direstui pihak yang ketika itu berkuasa, tersadar dan merasa lebih berguna
kembali ke Jerman. Di Jerman 8 tahun mengerjakan impor bungkil Indonesia ke Antwerp-Hamburg
Range (Hamburg, Bremen, Amsterdam, Rotterdam, Antwerpen).

Ketika itu Liem Swie Hwa disamping pedagang besar tembakau telah mendirikan perusahaan impor-
ekspor Prodimex di Bremen yang tidak jalan. SHT masuk menjalankan Prodimex dengan syarat untung

dibagi 3 dengan Liem Swie Hwa dan Go Ka Him/Tjia Sing Hien di Indonesia. Tahun 1968 merasa jemu
hidup dalam suasana rasis yang bekas Nazi di Jerman. Setelah itu meninggalkan perusahaan dan masuk
Negeri Belanda, mula-mula tinggal gelap selama 4 tahun tanpa ijin tinggal.

Di Nederland menulis di berbagai harian Belanda dan menulis buku “The 6th overseas Chinese State”
terbitan Centre for Southeast Asian Studies Townsville Australia. Sekarang dengan 4 anak dan 6 cucu
tinggal di Nederland, 1 anak perempuan dan 3 cucu tinggal di US.

Terakhir beliau menulis buku berjudul “Soal-soal yang perlu diperhatikan Minoritas Tionghoa-
Indonesia”. Membaca buku ini diharap mengambil soal-soal yang mungkin berguna bagi masyarakat.

Catatan: Sie Hok Tjwan selama ini pernah menulis beberapa artikel di majalah dwimingguan Indonesia
Media.Beliau termasuk kontributor tulisan dari Belanda kepada www.indonesiamedia.com yang terbit di
Amerika.

Acara bedah buku
Seperti pepatah Inggris mengatakan, ” Kebenaran yang tidak di ceritakan bisa beracun “. Dalam buku ini
bapak Sie Hok Tjwan mengungkapkan kisah-kisah yang banyak tidak diketahui orang. Terutama dalam
peranan suku peranakan Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.Menurut pendapat beliau
hal ini disebabkan adanya kecendrungan orang Tionghoa peranakan untuk tidak menonjolkan diri , yang
terjadi bukan saja di Indonesia tapi juga setelah mereka merantau di Belanda. Salah satu penyebab lain
menurut beliau adalah tidak jadinya dibentuk pasukan khusus warga Tionghoa melawan Belanda, tapi
dianjurkan untuk berbaur dengan pasukan pribumi yang sudah ada.

Pada tahun 1946 Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan istrinya yang dibilang bintang film
Tionghoa menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai,kamikaze) melawan Belanda.
Di Malang, sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke
II, Siauw Giok Bie, adiknya Siauw Giok Tjhan, ingin mempersenjatai Angkatan Muda Tionghoa (AMT)
sebagai batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain — lain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat,
Pesindo, Kris (gol.Menado), Trip (pelajar) dll. Namun pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial
dapat menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Pembentukan batalyon tersebut
ditolak.

Orang — orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk masing — masing masuk
kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi. Hal ini juga disebut di hal.79 memoar Siauw
Giok Tjhan “Lima Jaman”. Pendirian Baperki kemudian pun menjumpai pertentangan dalam pimpinan
minoritas Tionghoa, tetapi Siauw GT berhasil meneruskannya.Meskipun dapat dimengerti, keputusan

Butce (Bruce) , Moderato

untuk tidak membentuk Batalyon Tionghoa ternyata merupakan kelemahan yang akibatnya terasa
hingga kini. Memang tidak ada pemimpin besar atau kecil tanpa kesalahan dan kelemahan.Kedudukan
gol. Tionghoa sebagai “Cino nanggung, Jowo durung” (Tionghoa sudah setengah-setengah, Jawa belum)
membutuhkan sikap yang menyata, yang asertip. Keputusan pimpinan ket. Tionghoa menunjukan sikap
yang dalam hal politik tidak mandiri.

Golongan Tionghoa ketika itu ibarat terkena injakan rem dalam usaha untuk ramai-ramai maju ke depan,
sehingga sebagai golongan minoritas Tionghoa dirasakan tidak ikut arus nasional yang berkobar-
kobarmelawan Kolonialis Belanda. Di Indonesia suasana kawan seperjuangan seperti dialami
golongan Tionghoa thn 1946 di kota Malang tidak diperkembangkan lebih lanjut oleh pimpinan Tionghoa
Indonesia dan lambat laun memburuk hingga bisa terjadi pelecehan dan perkosaan pertengahan bulan
Mei 1998. Oleh karena keputusan pimpinan Tionghoa Indonesia di atas, kemudian orang Tionghoa
SEBAGAI GOLONGAN dirasakan tidak ikut andil dalam penegakan Republik Indonesia . Sebagai
golongan, orang Tionghoa tidak memiliki KURSI dan tidak memiliki SUARA (prestise, martabat)

sebagai veteran. Padahal di Indonesia yang berkuasa di belakang dan di depan layar adalah kaum veteran.

Kebenaran lain yang diungkapkan dalam buku ini adalah adanya 3 republik besar di Kalimantan Barat
sebelum lahirnya negara Republik Indonesia. Juga perbedaan sikap dan perlakuan antara kolonialisme
Timur ( Raja Tiongkok ) dan kolonial Barat.

Banyak orang Tionghoa yang telah berjasa mendirikan fasilitas kesehatan untuk umum yang
meringankan beban rumah sakit umum pemerintah diberbagai penjuru Indonesia, antara lain RS Yang
Seng Ie (Husada) yang didirikan oleh dr. Kwa Tjoen Sioe, RS Chung Hoa Iyen (Iyen Kebon Jati,
Bandung) , Tionghoa Ie Wan di Surabaya, Tiong Hoa Ie Hsia di Malang, dan RS mata dr. Yap (hong
Tjoen) di Jogya, RS Panti Kosawa dr Oen Boen Ing (KRT Obi Darmohusodo) di Solo. Kemudian yang
terakhir sempat terekam adalah klinik dr. Lo Siaw Ging yang banyak merawat masyarakat secara gratis di
Solo, bahkan sampai ke RS Kasih Ibu.

Indonesia terdiri dari bekas negara /kerajaan/kesultanan , bahkan beberapa republik yang mempunyai
kedaulatan sendiri, seperti Aceh, Sriwijaya, Singosari, Kediri, Majapahit, Blambangan, Demak,
Pontianak, Ternate, Banten, Cirebon, Mataram, Solo, Mangkunegran, Jogya, Pakualaman, Timor, Bali,
Lombok, dan seterusnya. Dalam abad ke 18 dan ke 19 di Kalimantan-Barat terdapat sejumlah republic.
Berapa jumlah seluruhnya tidak jelas. Sumber sejarah menyebutkan ada 3 republik yang besar , yaitu
Republik Thai Kong dengan tentara 10.000 orang, Republik Lan Fang dengan tentara 6000 orang, dan
Lara Sin-Tai-Kiou yang 5000 orang. Republik Lan Fang sendiri eksis lebih dari 100 tahun.

Salah satu tokoh Tionghoa yang disinggung oleh Bapak Sie adalah Kong Siu Tjoan ( Kakek buyut dari
saudara Butce ). Yang disebutkan berperan secara tidak langsung dalam menghentikan pembunuhan
korban 40 ribu jiwa oleh Westerling di Makassar. Pada tahun 1946 terjadi pembersihan merah putih
oleh tentara KNIL. Mereka merazia setiap rumah dikawasan Maccini, dan apabila didapatkan merah
putih seluruh penghuninya ditangkap dan ditembak mati. Kebetulan eksekusi tersebut dilakukan di
hutan bambu tidak jauh dari rumah Kong Siu Tjoan di Tamajene. Ratap tangis memilukan dan teriakan
minta ampun terdengar dari korban yang disuruh untuk menggali lubang kuburan mereka sendiri. Suara
tembakan terdengar tidak henti-hentinya ,suasana sangat mencekam.

Kong Sioe Tjoan sebagai seorang tokoh palang merah dari Sun Yat Sen segera menulis surat rahasia ,
dan diantar oleh kurir kepada konsul Wang Tek Fung, , dia menjelaskan bahwa tindakan itu melanggar
undang undang hukum perang Volkenborn, dan minta konsul utk segera bertindak menghentikan
kebiadaban itu. Berkat surat itu, konsul Wang Tek Fung datang satu mobil bersama Gubernur Belanda
dan memerintahkan untuk menghentikan penangkapan dan pembunuhan. Kong Siu Tjoan ini lahir dari
perkawinan campuran antara Kong Hok Tien dan putri dari kerajaan Maros, Ida Kuneng. Walaupun
begitu karena jasa-jasanya dalam palang merah dia dianugrahi jabatan sebagai gubernur di Nanking
oleh Presiden Sun Yat Seng. Namun jabatan itu ditolak dan dia memilih untuk tetap tinggal di Makassar
karena kecintaannya pada ibunya.

Sie Hok Tjwan masih banyak membuka sejarah yang nyaris belum pernah ditulis sebelumnya seperti
setelah kejatuhan Sriwijaya Cheng Ho menyebarkan Islam Tionghoa disana , lalu Sultan Demak, Raden
Patah (Jin Bun) ayahnya berasal dari Tionghoa muslim Palembang , dan lainnya.

Edisi pertama dari buku ini tidak dicetak banyak , sekarang sudah menipis persediaannya .Untuk itu
rencana kedepan Pak Sie Hok Tjwan akan menerbitkan ulang edisi kedua, yang sedikitnya setebal lebih
dari 200 halaman.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *