Aturan Rapid Test Calon Penumpang Digugat ke MA


Ketentuan rapid test bagi calon penumpang transportasi umum yang termuat dalam Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 digugat ke Mahkamah Agung (MA). Pemohon menilai kebijakan tersebut diskriminatif dan cenderung merugikan calon penumpang transportasi umum.

“Kewajiban rapid test ini sangat menyusahkan penumpang pesawat terbang, kereta api dan kapal laut. Rapid banyak dikeluhkan penumpang,” kata pemohon Muhammad Sholeh, dalam keterangannya, Jumat (26/6/2020).

Adapun ketentuan yang digugat ada pada huruf F ayat (2) huruf b angka 2 Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 7 tahun 2020 Tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 6 Juni 2020.

Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan lampiran BAB III angka 6 c dan angka 7 c Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat Di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Pemohon mempertanyakan dasar penumpang disyaratkan memiliki hasil rapid test. Sementara rapid test bukan vaksin, melainkan untuk mengetahui seseorang ini terserang virus atau tidak. Dia menilai bisa jadi orang dengan hasil reaktif karena sakit flu dan lain-lain bukan pasti terkena Covid-19.

Kemudian dia juga mempersoalkan hasil rapid test yang hanya berlaku tiga hari, karena ia menilai tidak ada jaminan orang akan tidak terpapar selama di perjalanan. Selain itu, Sholeh juga menduga kebijakan ini justru menguntungkan pihak rumah sakit.

“Kedua, kenapa masa berlaku PCR 7 hari dan Rapid Test 3 hari? Apa jaminannya hari kedua penumpang tersebut tidak terpapar virus Corona saat bepergian? Patut diduga masa berlaku hasil tes PCR dan rapid test yang pendek menguntungkan rumah sakit. Sebab, dalam setiap hari banyak puluhan ribu orang bepergian dan mengajukan rapid test,” kata Sholeh seperti dilansir detik.com.

Selain itu, dia juga menilai kebijakan ini diskriminatif. Sebab orang yang berpergian menggunakan mobil pribadi maupun bus ke luar kota tidak disyaratkan menunjukkan hasil rapid test.

“Kenapa orang yang bepergian menggunakan mobil pribadi ke luar kota tidak diwajibkan menunjukkan hasil rapid test, juga sopir-sopir truk luar kota juga tidak diwajibkan rapid test, bukankah mereka juga rentan terpapar virus Corona saat bepergian? Bukankah ini kebijakan diskriminatif,” ungkapnya.

“Kewajiban rapid test tidak berlaku bagi penumpang bis antar kota, bukankah ini diskriminatif, sama-sama bepergian ke luar kota, kenapa untuk pesawat terbang, kereta api dan kapal laut wajib menunjukkan hasil rapid test, sedangkan calon penumpang bus kok tidak?” paparnya.

Berdasarkan protokol kesehatan Covid-19 calon penumpang yang masuk ke bandara, stasiun dan terminal dilakukan tes suhu badan, jika hasil tes suhu badan di atas 38 tidak bisa bepergian, meskipun calon penumpang tersebut membawa hasil rapid test non reaktif. Oleh karenanya, Sholeh mempertanyakan syarat tersebut.

“Pertanyaannya yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian a quo hasil rapid test atau tes suhu badan? Patut diduga ada kerja sama antara termohon dengan pihak rumah sakit dalam pelaksanaan kewajiban rapid test,” ujarnya.

Selain itu, dia menilai calon penumpang transportasi umum dirugikan karena rapid test berbiaya mahal. Sebab tidak semua orang yang akan berpergian berkategori orang mampu.

“Kebijakan rapid test berbiaya mahal dan ini sangat merugikan calon penumpang, sebab tidak semua penumpang orang kaya, jika penumpang kapal laut tentu kategori bukan orang mampu, sebab jika punya uang dia akan naik pesawat bukan naik kapal laut,” katanya.

Sholeh mencontohkan, di Surabaya ada calon penumpang yang hendak naik kapal laut ke Nusa Tenggara Timur, biaya rapid test Rp 350.000, sedangkan harga tiket kapal laut Surabaya ke Nusa Tenggara Timur hanya Rp 312,000, kalau satu orang yang pergi selisihnya tidak banyak. Namun juga yang pergi suami, istri dan anak, tentu selisihnya jadi banyak.

“Bukankah berbiaya mahal sangat memberatkan bagi calon penumpang kapal laut dan kereta api. Karena tiket kereta dan kapal laut tergolong murah sebab pangsa pasarnya untuk kalangan menengah ke bawah,” ia menambahkan.( SH / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *