Anehnya urusan istilah Tionghoa dan Cina


Melanjutkan wawancara Indonesia Media kepada Drs. Eddy Sadeli , anggota DPR-RI dari fraksi Partai
Demokrat yang duduk di komisi III dengan ruang lingkupnya; HAM, Hukum , dan Keamanan yang
berlangsung pada bulan Maret lalu di Twin Plaza Hotel . Mengenai bahasan urusan istilah Tionghoa
dan Cina. Eddy Sadeli dalam tuturannya via tilpon May 9,2011 ketika dihubungi Indonesia Media di
Gedung Nusantara I DPR-RI, menyatakan bahwa istilah Tionghoa dahulu dipakai pada penjelasan UUD
45 , memang istilah ini tidak pernah ada di batang tubuh UUD 45. Tapi setelah tahun 2002 dilakukan
amandemen , istilah Tionghoa yang ada di penjelasan itu dihapuskan .

Surat Edaran No.6 /1967

Hal yang diprotes oleh Eddy Sadeli adalah Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.SE.06/Pres.Kab/
6/1967 tanggal 28 Juni 1967 Tentang masalah Tjina, yang ditanda tangani oleh Sekretaris Presidium
Kabinet Ampera , Soedharmono SH. Dalam butir ke 6 dari surat itu adalah agar menggunakan istilah
Tjina dan bukan Tionghoa. (catatan Tjina adalah ejaan lama dari Cina) .

Menyakitkan

Eddy Sadeli mengatakan banyak kaum Tionghoa merasa kata Cina itu menyakitkan , dan ini juga terbukti
dari tulisan Tajuk rencana Kompas (halaman4) tertanggal 25 Januari 2001 serta, artikel Gatra halaman
12 yang berjudul “Antara Cina dan Tionghoa” yang ditulis oleh A. Dahana, tertanggal 7 November, 1998.
Selanjutnya Eddy merasa ini semacam structural discrimination atau dengan kata lain State sponsored
discrimination yang berarti diskriminasi yang dilakukan oleh Negara.

Sudah Berulang kali di tolak

Ketika ditanya sudah sejauh apakah beliau mengeluhakn dan memohon agar masalah ini di selesaikan ? .
Pemilik kantor pengacara Eddy Sadeli SH ini mengatakan sudah dua kali , pertama dilakukannya kepada
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 Oktober , 2006. Permohonannya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 9 Oktober 2006 dengan alasan peraturan yang mau di Judicial Review berupa Surat Edaran
bukan undang-undang, pemohon dianjurkan untuk mengajukan judicial Review ke Mahkamah Agung
RI . Pemohon lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung pada 1 November 2006, dan jawaban
penolakannya diterima pada tanggal 15 November 2007 , dengan alasan waktu pengajuan Judicial Review
nya sudah lewat 33 tahun .

Kembali pada tanggal 15 February , 2010, pendiri bagian hukum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
ini mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan segala
bukti-bukti lengkap. Lagi pada tanggal 31 Mei , 2010 Amar putusan dari Mahkamah Konstitusi tertanda
Ketua . Moh. Mahfud MD. Dan anggota-anggotanya yang terdiri dari : M.Akil Mochtar, Maria Farida
Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, M, Arsyad Sanusi , Muhammad Alim . Ahmad Fadlil Sumadi dan
panitera Pengganti tertanda Cholidin Nasir . Putusannya adalah sebagi berikut ; Permohonan Pemohon
tidak dapat diterima , karena Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa , mengadili, dan memutuskan

permohonan a quo.

Berikutnya

Lalu bagaimana, dan apa rencana Pak Eddy kedepan ? (IM)

Beliau tengah merencanakan untuk menanyakan kepada Menko Polhukam , Djoko Suyanto . Karena
Surat Edaran No 6 /1967 mengenai istilah Tionghoa jadi Cina merupakan wujud pengabaian dari hak-
hak konstitusional warga negara, diskriminatif, dan menyakitkan hati masyarakat Tionghoa , surat edaran
demikian sudah seharusnya dicabut karena pada gilirannya nanti akan menimbulkan perpecahan yang
merugikan kita semua sebagai warga negara Republik Indonesia, tuntasnya. (IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *