ALGOJO


Seorang laki laki berusia 72 tahun didapati mati di sebuah kamar hotel di  Balestier Road pagi ini. Kalimat tersebut dicantumkan di halaman muka surat  kabar dengan cetak besar, diikuti dengan sebuah foto memperlihatkan siluet  sosok badan tergelar di atas ranjang ditutupi sehelai selimut. Hotel tersebut terkenal sebagai serangkaian hotel yang biasa dipakai tidak per hari tapi per

motel

jam, dimana para pria datang dengan pacar atau bawa prostitute menyewa kamar untuk satu atau dua jam menurut keinginan dan keperluan masing masing. Ini bukan hotel yang beroperasi secara gelap, mereka adalah business establishment yang bonafide, menjalankan kegiatannya secara legal, pakai layanan professional akuntan dan auditor setaraf Ernst and Young, bayar pajak tahunan secara teratur.

Bisnis apapun, kalau sudah bayar pajak berarti sudah legal. Tidak legal kalau tidak bayar pajak. Itu bedanya. Bidang bisnis mereka pada dasarnya menyewakan kamar, apa yang tamu lakukan di dalam kamar bukan urusan pihak pengurus hotel, asalkan jangan melakukan kegiatan criminal, kalau sampai terjadi dan ketahuan, itu sudah masuk jurisdiksi polisi. Kalau tidak ketahuan, ya dianggap tidak pernah terjadi. Tapi adanya kematian  dalam kamar hotel dengan sendirinya termasuk kasus polisi.

Menjelang menunggu hasil penyelidikan yang berkuasa, kabar kematian

Balestier Road

menjadi bahan pembicaraan umum selama beberapa hari berturut turut. Dunia  media yang selalu cepat mengambil kesempatan, melakukan wawancara di  tempat umum, menghampiri  para pekerja kantor yang hilir mudik di lapangan  terbuka Raffles Place central business district, yang sedang keluar mencari makanan menggunakan waktu lunch break.

Kaum wanita rata rata cendrung lebih memperdulikan masalah yang berkaitan dengan kasus tersebut, dan umumnya mengambil posisi yang tidak simpatik,”Tidak tahu diri, sudah tua bangka, masih main perempuan. Tentunya dia bawa Chinese girl dari Geylang kesitu. Kasihan anak istrinya yang menanggung malu seumur hidup. Memalukan, sungguh memalukan.”

Ada yang memberi tanggapan lebih keras lagi, “Biar jadi satu pelajaran bagi laki laki hidung belang lainnya yang berani mengingkari ajaran Tuhan, menghianati istri, akhirnya mati mendadak. Itu hukum karma adil.” Seorang wanita muda ikut nimbrung sambil melangkah kejurusan UOB Centre “Akh kagak heran, tentunya ia mengkonsumsi viagra, nah itulah akibatnya. Dasar laki laki. Tentunya sudah habis ludes seluruh uang tabungannya di CPF diberikan pada pelacur itu.”

Yang mengadakan wawancara mengalihkan microphone ke arah seorang laki laki yang kebetulan berada disitu memperhatikan wawancara bebas terbuka. Ketika ditanya, orang itu menjawab secara acuh tak acuh, “Ooh, kalaupun

MTA Station

betul begitu, sedikitnya dia mati bahagia puas pada akhir detik hidupnya. Kenapa kalian perlu bingung.” Lalu ia melangkah keluar dari situ menuju ke gedung Arcade yang berada di sebelah kanan stasion MRT, “Hari ini makan apa, ya? Mie goreng atau chicken rice?” Ia bertanya pada dirinya sendiri sambil melangkah santai ke ruangan food court.

Keesokan harinya, surat kabar mengumumkan hasil penyelidikan polisi, hanya kali ini tidak dicantumkan di lembar pertama, tapi di lembar bagian dalam di sebuah pojok halaman yang tidak banyak menarik perhatian. Menurut artikel tersebut, dari catatan registration hotel terbukti laki laki itu datang menyewa kamar seorang sendiri, tidak ada yang mendampinginya. Penyelidikan seterusnya mengungkapkan bahwa ia mati bunuh diri, makan obat tidur dua botol besar dicampur dengan minuman keras. Sekarang yang jadi perhatian polisi, darimana dia mendapat supply obat tidur sekian banyak, dokter mana, pharmacy mana yang terlibat, juga apa ada obat illegal yang tersebar di pasar, kalau ada, siapa penjualnya.

Dilaporkan bahwa kasus bunuh diri di negeri ini telah meningkat dari tahun ke tahun, terutama di kalangan masyarakat tua. Kasus coba membunuh diri diantara mereka yang berusia 65 keatas tercatat rata rata 16 orang dari 1,000 dan kebanyakan terdapat pada kaum laki laki. Angka ini menunjukan adanya kenaikan dari tahun ke tahun. Hidup dalam masyarakat sangat kompetitif, menuntut pesatnya kemajuan ekonomi yang berkepanjangan

Raffles Place

berupa suatu tekanan berat, dan kaum lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi menyumbang menjadi korban arus kemajuan yang mementingkan kaum muda. Bagaikan arang yang sudah habis daya pembakar, mereka merasa kehilangan kemauan hidup.

Sebagai kaum yang diberi image sebagai pihak yang kuat, boleh berdarah tidak boleh menangis, boleh mati tidak boleh mengalah, laki laki mendapat beban lahir yang sangat berat. Selama hidupnya beban itu tidak berhenti bertambah sedangkan sosok yang menanggungnya semakin tahun semakin lemah dan akhirnya mengambil jalan  bunuh diri.

Sedangkan kenapa orang tua itu nekat mengambil jiwanya sendiri dalam perjalanan hidup yang sudah ditanjaki sekian lama, apa yang membuatnya mengambil keputusan itu pada akhirnya, dan apa yang terlintas dalam benaknya ketika ia sendirian di kamar berhadapan dengan obat racun, tidak ada yang tahu, juga tidak ada yang bersedia mengambil tahu. Adakah ia mengalirkan air mata setetes dua, atau tetap menelan pedih darahnya sendiri hingga napas terakhir?

Sementara seperti biasa arus manusia tetap  memenuhi lapangan terbuka di sekitar Raffles Place pada waktu lunch break. Mereka yang sehari sebelumnya telah mengutarakan dengan gamblang pendapatnya mengenai kematian orang tua malang itu, apa ada diantara mereka yang memperhatikan tulisan artikel kecil di koran pada  hari sesudahnya. Kalau pun ada, apakah ada yang merasa bersalah telah menjatuhkan hukuman berat sebelum mengetahui keadaan sebenarnya?

Yah, algojo di mana pun  tidak akan mau ambil perduli mengenai masalah korbannya.(IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *