AIR LAUT MENDIDIH, TELUK AMBON JADI LOBANG RAKSASA


Catatan Dari Peristiwa Tsunami “Air Turun Naik Desa Galala” (1)

Hari menjelang pukul 12 siang, seperti biasa, dia tak ingin lagi jauh-jauh dari rumah. “Sudah hampir jam makan, jadi beta seng boleh jau lai dari rumah, kalau bisa putar-putar di belakang dapur saja,” ujar Zakarias Jorris (77) yang ketika itu masih remaja ingusan 14 tahun.

Tapi goncangan hebat disertai gemuruh beberapa saat, membuat makan siang keluarga hari itu buyar. Semua orang berhamburan keluar rumah. Semuanya berlari menuju gunung. Di atas bukit, di tanah pekuburan, Zakarias menoleh ke bawah. Kampung Galala sudah lebur bersama air laut.

Tanggal 8 Oktober 1952, peristiwa itu terjadi. Warga dua negeri, Hative Kecil dan Galala tiap tahun memperingati kejadian itu. Dan menyebutnya “Air Turun Naik”, yang sebenarnya merupakan peristiwa tsunami.

Seperti diakui Zakarias, yang jadi pertanyaan, hingga hari ini, selain dimana pusat gempa? kedua, mengapa hanya Galala dan Hative yang porak-poranda, desa-desa lain tidak. Masih jadi misteri.

“Dia (tsunami) datang dari muka (kota) Ambon kah, dari muka Halong kah, opa seng tau, belum pernah ada yang cerita, yang katong tau air nae dari katong pantai, darimana sebenarnya?,” kata Zakarias yang kini berusia 77 tahun sambil bertanya balik kepada Ambon Ekspres ketika ditemui di rumahnya, Desa Galala, Kecamatan Sirimau.

Kuatnya goncangan saat itu, Zakarias pun tidak sempat lagi berpikir lain, kecuali lari ke arah gunung. Terdengar teriakan sana-sini menyuruh lari, membuatnya hanya mengikuti insting. Di atas bukit, dia bertemu ayah ibunya, dan dua kakak perempuannya, Maria dan Sara serta adiknya, Orias yang masih berusia delapan tahun. Tak ada korban jiwa, tapi, kecuali satu dua rumah rusak berat, rumah-rumah yang lain termasuk milik bapa Raja Essau Jorris yang baru dibangun, lenyap seketika.

Meski tak mengambil nyawa, efek tsunami luar biasa. Sebuah motor laut penangkap ikan milik Belanda yang ditawan saat PD II oleh Jepang dilabuh di tengah teluk Ambon, terseret hingga bibir pantai Galala. Seorang nenek berusia 80 tahun, ditemukan selamat di atas pohon mangga. Menurut akal sehat Opa Zakarias, tidak mungkin nenek itu mampu memanjat pohon dalam beberapa detik, saat tsunami menggulung Galala.

La Madi, ketika itu sudah berusia 18 tahun. Waelela pantai, nama dusun tersebut, siang itu riuh rendah oleh teriakan warga menyuruh lari. Si penjaga dusun milik meneer Huwae ini kala itu, sempat melihat air laut di depan dusun tiba-tiba berbusa. “Seperti air mendidih di panci,” kataya. Tapi semburan busa-busa air begitu tinggi, hampir mencapai 10 meter.

Kampung yang bersebelahan laut dengan daratan Galala di Teluk Ambon itu juga tak luput dari tsunami. Awalnya tanah yang dipijak bergoncang hebat, lalu disusul alunan seperti efek gelombang di laut, yang cukup lama, tapi tidak sampai setengah jam, kata La Madi.

Setelah bumi diam sama sekali, air laut tiba-tiba naik hingga masuk ke perkampungan. Tak lama sesudah itu, air tiba-tiba surut disusul semburan busa-busa air tersebut. Semua orang terpana, sementara yang lain, terpikat oleh ikan yang menggelepar dimana-mana. Belum habis dibuat heran, warga lalu dikejutkan oleh keringnya air laut. Laut di depan Wae Lela pantai kering seketika. “Katong sampai lihat batu-batu basar di bawah dari Waelela sampai Galala, teluk Ambon su berubah jadi kolangraksasa, kadalam,” ungkap La Madi  (79) ditemui di rumahnya, Waelela pantai, Desa Rumatiga, Kecamatan Teluk Ambon.

Tapi itu hanya berlangsung beberapa menit, sebelum warga kemudian dikejutkan oleh sebuah kejadian lain yang tak pernah mereka lihat. Tiga gulungan ombak setinggi belasan meter saling kejar muncul di depan mata. Warga pun lari menyelamatkan diri. Ternyata ombak raksasa itu bergerak bukan menuju dusun mereka, tapi ke arah Galala. Namun, kampung mereka pun tak luput oleh genangan air yang lumayan tinggi setelah itu.

Air laut yang naik untuk kedua kalinya ini  mencapai jalan raya, yang kini merupakan akses transportasi dari pelabuhan feri di desa Poka menuju Waelela, hingga Bandara Pattimura itu. Tidak satupun rumah binasa. Tapi ikan menggelepar dimana-mana, lebih banyak dari sebelumnya. Seekor ikan hiu raksasa, sekira 10 meter panjangnya ikut terdampar di tengah perkampungan, dibiarkan membusuk begitu saja, sampai  berminggu-minggu.

Salah satu ahli dari BMKG Ambon, Kustoro  Haryatmoko menjelaskan peristiwa Air Turun Naik itu sebagai fenomena  berpotensi terjadi di mana-mana di Maluku. “Itu juga tsunami,” ujarnya, Kamis kemarin.

Menurutnya, kejadian itu disebabkan karena adanya patahan atau sesar aktif di Teluk Ambon. “Saya lihat itu berpotensi, setelah lihat peta geologi Maluku, dan sesar lokal seperti itu banyak,” papar Kustoro  yang juga kepala seksi data dan informasi BMKG Ambon itu.

Namun kabar lebih mengejutkan datang dari  Prof Ron Harris dari Brigham Young University, Utah, Amerika Serikat. “Ambon Bahaya sekali, akan ada next Banda Aceh (Banda Aceh berikutnya) saya yakin itu,” ujar pakar geologi ini  kepada Ambon Ekspres, Minggu (17/11).
Guru besar yang meneliti gempa berdasarkan data geologi dan arkeologis itu menyatakan, bahkan Ambon dan pulau-pulau sekitarnya terancam gempa di atas 8 skala richter, karena adanya akumulasi energi di pertemuan tiga lempeng kulit bumi.

Akumulasi akibat gerakan lempeng Pasifik mendorong lempeng Eurasia. Kecuali lempeng Indo-Australia yang cenderung pasif, aksi dorong kedua lempeng berakibat terkumpulnya energi yang siap terlepas dan menimbulkan gempa dahsyat.

Gerakan lempeng Pasifik yang menekan Eurasia berlangsung setiap hari. Ditambah sesar aktif yang secara lokal mengepung pulau Ambon dan sekitarnya. Itulah sebabnya, gempa kecil intens terjadi setiap hari beberapa kali, meski tidak dirasakan, kecuali dengan seismograf, alat pengukur gempa.

Ron Harris lah yang meramalkan terjadinya gempa di Sumatera, yang akhirnya terjadi di Banda Aceh tahun 2004. Dalam risetnya tentang patahan Sumatera, dia mengingatkan dalam papernya yang terbit tahun 1997.
“Akan ada bencana besar di Sumatera karena adanya patahan aktif,” sebutnya pada jurnal ilmiahnya itu. “Dan begitulah yang terjadi,” imbuhnya saat diwawancarai di Desa Galala, Kota Ambon.

Ron Harris, Rachel dan Nicole dua ahli geologi lainnya dari Amerika dan Australia, hari itu mengakhiri penelitiannya di Maluku. Mereka melakukan penggalian di pemukiman penduduk di pesisir pantai Galala untuk menghimpun data geologi dan arkeologi terkait “Air Turun Naik Galala” yang terjadi tahun 1952.

Namun dari catatan sejarah gempa, yang diperoleh di Belanda, Ron Harris dan tim terkejut kalau Maluku pernah diserang oleh badai gempa di masa lalu. Tercatat sebanyak 23 gempa besar diantaranya banyak menimbulkan tsunami. Terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1600-1800. Dia memprediksi badai tersebut akan kembali terulang, sesuai siklusnya.

Kecuali gempa Galala tahun 1952 yang dia nilai relatif misterius, gempa besar terakhir dengan gelombang tsunami menghantam pulau Ambon terjadi tahun 1852, yang mana air naik setinggi 14,5 meter. Seluruh bangunan di Kota Ambon rata bersama tanah, dari pantai hingga kawasan Batugajah Atas, lokasi Makorem 151/Binaya saat ini. Jika terakhir melanda Ambon tahun 1852, maka sesuai siklus 150 tahun sekali, maka sekarang ini, pulau Ambon dan sekitarnya sudah berada di dalam siklus tersebut.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *