Jatropha Bernilai Rendah, Pembudidaya Tutup Usahanya
dilaporkan: Setiawan Liu

Jatropha sempat diperkenalkan sebagai energi alternatif biodiesel. Biodiesel tersebut dihasilkan dari minyak yang diperoleh dari biji tanaman jarak yang banyak tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. Outreach pernah membuat studi mengenai keekonomian jatropha di Sumba dan Flores, Prov. Nusa Tenggara Timur (NTT). Harga beli jatropha pada tingkat petani diharapkan mencapai Rp 5.000/kilo. “Padahal, untuk mendapatkan satu liter minyak jatropha, petani harus mengekstrak dari lima kilo biji yang sehat. Kalau banyak bijinya keropos, satu liter tidak bisa didapat dari lima kilo jatropha,” kata Elias.
Petani hanya dibayar Rp 1.000/kilo, setara dengan Rp 5.000/liter. Kalau sudah diekstrak, menjadi minyak, harganya dijadikan harga premium. Harga tersebut hasil dari pemrosesan (ekstraksi) menjadi substitusi minyak tanah (biokerosene) atau avtur. Kelasnya minyak tanah tapi dimanfaatkan untuk bahan bakar pesawat. Sementara avtur yang dijual Pertamina yakni biodiesel dari sawit, dan bukan dari jatropha. Satu pohon jatropha menghasilkan lima kilo pada tahun ketiga. Tanam jarak 1 x 1 meter, menghasilkan 10.000 pohon. Petani tanam di pagar karena penanaman jatropha masih tradisional.”Kalau ditanam di kebun, dengan harga Rp 1000/kilo, petani rugi. Sehingga mereka hanya tanam jatropha sebentar, lalu ganti dengan jagung, kacang tanah. Sehingga jatropha tidak sustainable. Kebun jatropha di Sumba, Flores juga sering dibakar. Mereka buka ladang dengan cara membakar, apinya kemana-mana,” kata Elias. (sl/IM)















