56 Etnis Suku di China: Suku Hui


Suku Hui (回族; Pinyin: Hui Zu, baca: hwe cu), adalah salah satu etnis minoritas yang cukup besar jumlahnya dan merupakan salah satu yang dianggap penting oleh pemerintah China. Dengan jumlah total sekitar 10 juta, tepatnya 9.816.802 Suku Hui tersebar hampir di seluruh penjuru China.

Dapat dikenali dari penampilan dan penampakan mereka yang khas Muslim, lelakinya berkopiah putih serta sebagian berjenggot dan wanitanya kebanyakan berjilbab. Di kota-kota besar dapat dilihat kebanyakan dari mereka berjualan makanan atau membuka usaha warung dan restoran. Dari ciri khas bertuliskan Arab di pintu depan warung/resto mereka dan juga ada tulisan كوشير berdampingan dengan tulisan kanji 清真 (Pinyin: qing zhen, baca: jing cen) yang artinya sama, yaitu halal. Qing zhen secara harafiah berarti: bersih — murni. Dan juga di tempat-tempat umum atau tempat wisata, banyak yang berjualan sate kambing ala Suku Hui yang dijajakan dengan sepeda. Sate kambing ini ukurannya sungguh nggegirisi, guede, irisan daging kambingnya guede, tusukan satenya juga guede…

Nama Suku Hui berasal dari kependekan Hui-Hui, istilah yang pertama kali tercatat di era Nothern Song Dynasty (960-1127) yang me-refer sekelompok orang Uyghur. Orang Uyghur ini banyak terkonsentrasi di daerah Anxi yang sekarang disebut Xinjiang. Sekarang kebanyakan mereka tinggal di daerah Northwestern China (Ningxia, Gansu, Qinghai, Xinjiang), yang sekarang disebut dengan Ningxia Hui Autonomous Region dan Xinjiang Uyghur Autonomous Region.

Asal-usul Suku Hui bisa ditarik dari abad 13 ketika pasukan Mongol menguasai hampir seluruh Asia dan Eropa. Penguasa ketika itu menghimbau orang-orang di Middle Asia, Persia dan Teluk Arab untuk pindah dan settle di Daratan China. Banyak kelompok yang karena himbauan tsb dan secara sukarela yang berimigrasi dan menetap serta beranak-pinak di Daratan China. Adat kebiasaan dan agama mereka turun temurun juga dibawa dan dipertahankan, yaitu agama Islam.

Namun, sejarah Islam di China sendiri sudah mulai sejak abad 7. Pedagang asli Arab dan Persia datang ke China karena perdagangan melalui Silk Road (Jalur Sutera). Di masa itu mereka berdatangan di daerah Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yangzhou dan Chang An (sekarang disebut Xi An), berdagang, kerasan dan kemudian menetap. Mereka membangun masjid, pemakaman dan pemukiman di daerah-daerah itu. Mereka menikah, beranak-pinak, berketurunan di tanah asing yang jauh dari tempat asal mereka.

Dua ‘kategori’ besar asal muasal Suku Hui inilah yang sampai sekarang bercampur dan menjadi bagian besar dari China sampai sekarang. Secara umum, Suku Hui memang campuran dari berbagai leluhur dari Central Asia, Persia, Han, Mongol, dan Arab. Dan karena sudah berabad lamanya tinggal di Daratan China, mereka berbaur, dan makin lama makin hilang kemampuan berbahasa dari leluhur mereka, sehingga mereka tidak bisa lagi berbahasa Arab atau bahasa-bahasa Central Asia lainnya. Mereka sekarang semua berbicara dalam bahasa Mandarin dan dialek daerah di mana mereka tinggal.

Agama Islam dalam bahasa Mandarin disebut dengan Hui Jiao (baca: hwe ciau, 回教) yang artinya kurang lebih adalah secara harafiah: “ajaran/kepercayaan yang dianut oleh Suku Hui”

 

Kehidupan Beragama

Jelas dari penjabaran sejarah dan latar belakang di atas, Suku Hui mayoritas memeluk agama Islam. Mesjid banyak dibangun dan menjadi pusat tempat beribadah, berinteraksi dan bermasyarakat di kalangan Suku Hui. Selain untuk tempat beribadah, mesjid-mesjid digunakan untuk tempat menyebarkan dan mendalami agama Islam yang mereka anut. Tata kehidupan Suku Hui sungguh menjunjung tinggi nilai-nilai Islam termasuk dalam hal makanannya yang mengharamkan daging babi, yang tentu bukan hal yang mudah di negeri yang justru mayoritas penduduknya mengonsumsi daging babi.


Makanan

Karena Suku Hui tersebar hampir ke semua wilayah China, cara makan dan seni makan Suku Hui di satu tempat dan lainnya memiliki perbedaan dan keunikan sana sini. Suku Hui yang tinggal di daerah sekitar Ningxia Hui Autonomous, mereka sangat suka menyantap makanan yang terbuat dari gandum, mie dan bahan makanan lain yang berbahan dasar gandum. Makanan khas mereka (sayang tidak dapat fotonya) adalah Tiaohefan, yaitu bubur yang dimasak dengan potongan daging kambing, bumbu-bumbu khas dan irisan sayuran, lembaran-lembaran tipis gandum dicampurkan ke dalam bubur itu. Lembaran gandum ini bisa dibayangkan semacam kwetiauw mungkin sebutannya di Indonesia. Hanya disebut sebagai “dough sheets” yang terbuat dari tepung gandum.

Sementara Suku Hui yang tinggal di daerah Gansu dan Qinghai lebih suka gandum, jagung, barleys dan sweet potatoes sebagai makanan utama mereka. Fried cakes dan fried dough (saya lebih suka tidak menerjemahkan yang 2 ini) dianggap makanan istimewa oleh sebagian besar Suku Hui ini, dan biasanya jadi bingkisan hadiah istimewa di hari-hari besar mereka.

Beberapa makanan khas Suku Hui:

– Niangpi: semacam mie yang dibumbui berbagai macam jenis bumbu.
– Lamian (hand-pulled noodle): mie yang direbus dan kemudian dicampur dengan jamur, irisan daging dan telur.
– Mie goreng dengan daging.
– Tahu khas Suku Hui.
– Sup kepala kambing.
– Dsb…

Banyak keluarga Suku Hui yang selalu siap sedia bahan makanan yang terbuat dari adonan tepung yang sudah diragikan sehingga siap digunakan setiap saat.

Suku Hui yang tinggal di daerah perkotaan, menyukai minuman tea-milk yang mereka minum di berbagai musim sepanjang tahun. Daging yang mereka konsumsi biasanya adalah daging sapi dan kambing, walaupun sesekali bisa juga mereka mengonsumsi daging unta dan berbagai jenis ikan.

Burung dara dianggap burung suci bagi Suku Hui. Mereka biasa memelihara burung dara tapi tidak untuk dimakan.

Suku Hui termasuk pakar kuliner yang mereka kembangkan sendiri. Mereka menggunakan berbagai macam teknik memasak seperti: pan-frying, stir-fry, braising, frying, quick-frying, roasting, etc. Mereka memasak menggunakan berbagai macam bahan, home-cooked dan berbagai kudapan yang lezat dengan teknik yang unik dan khas Suku Hui.

Nama-nama kuliner dan cuisine Suku Hui sungguh menggoda, walaupun saya sendiri belum ada kesempatan untuk mencicipinya. Dalam referensi disebutkan lebih dari selusin jenis cuisine Suku Hui:

Wanshengma Cakes, tendon kambing, Golden Phoenix Braised Chicken, Wengzi Soup Balls, dan juga Green Bean Skins. Di Xining City of Qinghai Province, Wanshengma Cakes sangat-sangat populer; demikian juga The Golden Phoenix Braised Chicken di kota Shijiazhuang, Hebei Province; Ma Family Pot-stewed Chicken dan Baiyunzhang Dumplings di kota Baoding, Hebei Province.

Ma Family Steamed Dumplings di kota Shenyang dan Baked Cake di Yi County, Liaoning Province; Shredded Bread in Mutton and Beef Soup di Shaanxi Province; masih ada lagi Wengzi Soup Balls, Green Bean Skins dan Rice Noodles in Beef Soup dari Changde, Hunan Province.

Five Dishes and Four Oceans, Nine Greatness and Thirteen Flowers, Round Moon on the Fifteenth Day of a Month adalah nama dan sebutna dari beberapa makanan khas Muslim yang disajikan di beberapa perayaan hari-hari besar di China. Five Dishes berarti 5 macam sautéed dishes yang disajikan bersamaan dan Four Oceans mengacu pada 4 macam soup yang juga disajikan dalam waktu bersamaan.

Nama-nama “megah” dan keren banyak digunakan dalam menamai sajian kuliner khas Muslim China ini.

 

Minuman

Minuman turun temurun tradisional Suku Hui adalah teh. Teh bukan saja menjadi minuman keseharian Suku Hui, tapi sudah menjadi bagian dari budaya Suku Hui itu sendiri. Di mana saja di seluruh China, jika anda bertemu dengan seorang Suku Hui, anda akan mendapatkan sajian teh yang panas sebagai minuman penghormatan.

Suku Hui memiliki berbagai cara untuk menyajikan teh. Di masa lalu, Suku Hui banyak menggunakan teapot yang terbuat dari perak atau tembaga. Perak dan tembaga yang dibentuk menjadi teapot dibuat dengan ketelitian tinggi dan cita rasa seni yang tinggi dengan berbagai corak dan model. Di masa sekarang penyajian teh oleh Suku Hui disajikan dengan porselin, tureen (mangkok/cawan besar), atau cawan teh khusus yang bertutup.

Teh tureen, yang diminum dengan cara yang sangat unik oleh Suku Hui yang tinggal di bagian Northwest China, dipercaya sudah ada sejak masa Tang Dynasty (618-907). Tradisi ini diwariskan turun temurun dan sampai saat ini disukai dan masih berlangsung terus adat unik satu ini. Pada dasarnya penyajian ini terdiri dari: tatakan, cawan dan tutupnya, sehingga dinamakan dengan Three Cannon Batteries. Untuk membayangkan bentuknya, bayangkan saja di film-film silat, yang ada tokoh kerajaan sedang meminum teh dari tureen yang digambarkan. Ada tatakannya, ada cawannya dan ada tutupnya.

(catatan kecil: tidak didapatkan foto Chinese tureen asli, jadi ini hanya sekedar ilustrasi/contoh saja, kurang lebih bentuknya)

Baik di cuaca panas ataupun dingin, teh tureen menjadi pilihan utama kaum Suku Hui sebagai penawar dahaga. Di tengah cuaca panas di musim panas, teh tureen dipercaya memberikan efek dingin dari dalam tubuh. Sementara di tengah musim dingin yang menggigit dan bukan di masa tanam, keluarga Suku Hui biasa akan berkumpul mengelilingi perapian keluarga, membuat beberapa roti atau kudapan lain dan tentu saja sambil mencecap teh tureen.

Untuk meminum teh tureen inipun ada tata cara tertentu yang harus diperhatikan jika bertamu dan mendapatkan kehormatan dengan disajikan teh tureen oleh tuan rumah. Teh tureen disajikan untuk menghormati tamu keluarga Suku Hui, dan tamu yang dianggap paling terhormat dipersilakan untuk mencecap teh tureen terlebih dulu.

Tata cara meminum dengan cawan/tureen ini adalah tidak diperkenankan mengangkat tutup secara keseluruhan atau membukanya dan lebih tabu lagi jika seseorang meniup daun teh yang terapung di cawan tsb. Cara yang benar adalah tangan kiri memegang tatakan sekaligus cawannya, sementara tangan kanan mengangkat sedikit tutup dan menggerakkan di permukaan air teh panas dalam cawan sampai daun-daun teh tersingkir.

Pergerakan tutup untuk menyingkirkan daun teh ini juga memiliki makna dan dipercaya memiliki tahapan yang berpengaruh terhadap rasa teh yang dicecap. Gerakan menyapu dengan tutup pertama kali dipercaya membuat rasa teh mengeluarkan aroma manisnya, dan sapuan kedua dipercaya akan membuat minuman tsb bertambah harum. Setiap kali tutup disapukan di permukaan air teh, sang tamu harus mencecap pelahan dengan tutup yang dimiringkan dan menutup sebagian wajah. Sangat tabu jika seorang tamu meneguk teh sekaligus atau tersedak waktu meminum, karena akan dianggap sangat menghina yang menghidangkan teh tsb. Yang paling dilarang adalah berdiri seketika setelah menerima suguhan teh atau mengesampingkan cawan/tureen itu. Ini adalah bentuk penghinaan terbesar untuk yang menyuguhkan.

 

Kehidupan Beragama

Mayoritas memeluk agama Islam dan memiliki 3 perayaan terpenting sepanjang tahun, yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi.

Ramadhan & Idul Fitri
Suku Hui yang hidup di daerah Shanxi, Gansu, Qinghai dan Yunnan menyebut Ramadhan dengan nama lain yaitu, Daerde. Ramadhan adalah perayaan terpenting bagi 10 kelompok minoritas di China yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun demikian, setiap kelompok suku memiliki tradisi dan cara perayaan yang berbeda-beda.

Seperti di Indonesia, di bulan Ramadhan, Suku Hui menjalaninya dengan lebih bermakna dan berwarna. Makanan dan minuman yang berlimpah ada di setiap keluarga Suku Hui ketika buka puasa dan sahur tiba. Berbagai masakan dari daging sapi, kambing, nasi, segala jenis yang manis dan bernutrisi tinggi selalu tersaji di bulan yang penuh berkah ini.

Sekali lagi mirip dengan Indonesia, di bulan Ramadhan, mendekati saat berbuka, para umat Muslim akan berbondong-bondong berkumpul di mesjid di sekitar tempat tinggal mereka sambil menunggu adzan maghrib. Ketika adzan berkumandang, mereka akan berbuka puasa bersama. Yang sedikit membedakan dengan Indonesia adalah cara berbuka puasa. Jika bulan Ramadhan jatuh di musim panas, mereka akan berbuka dengan buah segar dan segelas air atau teh tureen. Sementara jika bulan Ramadhan jatuh di musim dingin, mereka akan berbuka dengan kurma.

Di akhir bulan Ramadhan, Suku Hui akan merayakan Idul Fitri dengan meriah dan riang gembira setelah sebulan berpuasa. Pakaian baru dikenakan di hari yang fitri itu, setelah sholat Ied bersama mereka akan berkeliling untuk halal bihalal. Makanan spesial yang disajikan hari itu adalah ciri khas Suku Hui dengan daging ayam dan kambing mendominasi sajian mereka.

 

Idul Adha
Yang berarti sacrifice dan self-devotion menjadi salah satu perayaan terpenting Suku Hui sepanjang tahun. Mengenai asal usul perayaan ini, kita semua sudah mengetahui, Idul Adha di Indonesia juga baru lewat dan dirayakan.

Suku Hui juga menyiapkan hewan kurban untuk perayaan ini. Keluarga yang memiliki finansial lebih mapan, diwajibkan untuk menuaikan kurban dan menyembelih untuk dibagikan ke kaum miskin. Suku Hui sangat ketat untuk mengatur usia hewan kurban yang akan disembelih. Kambing yang berumur kurang dari 2 tahun dilarang untuk disembelih, sementara sapi dan unta yang berumur kurang dari 3 tahun juga dilarang untuk disembelih sebagai hewan kurban. Hewan yang buta, lumpuh/cacat, tidak memiliki ekor atau kuping juga tidak dikurbankan. Rasanya ini juga sama dengan peraturan yang ada di Indonesia.

Sembelihan itu nanti akan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah untuk keluarga sendiri, bagian kedua dibagikan kepada sanak saudara dan bagian ketiga ditujukan untuk fakir miskin.

Kemeriahan sebenarnya adalah setelah upacara penyembelihan hewan kurban itu. Suku Hui beramai-ramai berkumpul dan memasak daging-daging itu tadi, kebanyakan direbus. Para orangtua mengingatkan anak-anaknya untuk menguburkan tulang sisa makan tadi segera ke dalam tanah dan tidak diperkenankan untuk dibuang begitu saja apalagi diberikan kepada anjing. Ini kebiasaan yang sudah turun temurun di kalangan Suku Hui.

Keluarga yang lebih mampu terkadang akan memanggil ustadz atau imam untuk mengadakan pengajian dan pendalaman Qur’an dengan mengundang tetangga dan sanak saudara. Secara umum perayaan ini dirayakan oleh Suku Hui dengan meriah dan gembira ria.

 

Maulid Nabi
Perayaan ini juga sangat penting bagi Suku Hui. Hari kelahiran sekaligus wafatnya Nabi Muhammad dirayakan setiap tanggal 12 bulan ke 3 kalender Islam. Suku Hui akan berbondong-bondong ke mesjid untuk mengikuti pengajian yang biasanya diikuti pembacaan atau kisah hidup Nabi Muhammad. Mereka akan membawa sumbangan berupa biji-bijian (grains: beras, gandum, dsb), minyak makan, dan juga uang tunai untuk mesjid. Di saat yang bersamaan mereka akan mengundang orang untuk mengolah bawaan tadi menjadi makanan yang dinikmati bersama seluruh umat pada hari itu.


Karakteristik dalam berpakaian

Para prianya lazim mengenakan tutup kepala khas Suku Hui yang berwarna putih atau hitam. Warna putih banyak disukai dibandingkan yang berwarna hitam. Namun ada juga kelompok masyarakat Hui yang lebih suka menutup kepalanya dengan bebat kain, sehingga kelompok ini sering disebut dengan Head-Wimpled Hui People. Ada juga yang mengenakan semacam pecis/kopiah dengan berbagai model dan bentuk (pentagonal, hexagonal atau bahkan oktagonal) sesuai dengan aliran Islam yang mereka anut dan mereka percaya.

Pakaian luar dengan pelipit biru di pinggang menjadi fashion di kalangan pria dan wanita Suku Hui, terlebih para prianya sangat suka mengenakan satu lapis pakaian luar ini setelah baju biasa mereka dan biasanya pakaian luar dan baju di dalamnya berwarna kontras sehingga yang mengenakannya terlihat segar, elegan dan well-groomed. Jika musim dingin tiba, mereka mengenakan pakaian luar yang terbuat dari kulit atau bulu binatang dan di beberapa tempat mereka mengenakan penghangat yang terbuat dari kambing yang sudah tua dan mati.

Para wanita Suku Hui juga memiliki ciri khas dalam berpakaian. Mereka biasa mengenakan topi bulat berwarna putih dan beberapa mengenakan cadar. Cadar yang dikenakan gadis muda, yang sudah menikah dan wanita berumur berbeda-beda. Pada umumnya para gadis muda mengenakan cadar berwarna hijau dengan pelipit keemasan atau terkadang dengan bordiran halus bermotif bunga dan rerumputan. Wanita yang sudah menikah mengenakan cadar berwarna hitam yang menutup dari ujung kepala sampai ke pundak, sementara wanita berumur mengenakan warna putih yang menutup sampai ke punggung mereka.

 

 

 

 

 

 

 

Seperti umumnya wanita yang dikodratkan suka bersolek dan kelihatan cantik, demikian juga dengan para gadis dan wanita muda Suku Hui. Mereka akan tampil berbeda-beda sesuai dengan gaya dan selera masing-masing. Secara umum, ekspose bordir di pakaian dan asesoris yang mereka kenakan mendominasi. Corak bunga dan rerumputan paling banyak yang bisa dilihat, pelipit dan nuansa keemasan atau keperakan juga banyak disukai. Perhiasan kalung, gelang dan cincin juga disukai dan bisa ditemui di banyak wanita Suku Hui.



Pernikahan

Pernikahan Suku Hui harus mengikuti dan memenuhi hukum Islam. Pernikahan bagi Suku Hui merupakan saat yang sakral dan pemenuhan kehendak Allah. Pernikahan satu pasangan Suku Hui harus diketahui dan disetujui oleh kedua pihak keluarga mempelai dan harus atas kesukarelaan pasangan yang menikah tanpa paksaan dari pihak manapun juga. Keseluruhan proses dari perkenalan, lamaran sampai dengan keseluruhan upacara wajib mematuhi hukum dan tata cara Islam.

Sebelum upacara pernikahan dilangsungkan, pihak lelaki harus memberikan bingkisan pertunangan kepada pihak wanita, dan kemudian menentukan dan menyepakati tanggal pernikahan. Ketika mereka sudah bertunangan, seluruh sanak saudara harus diundang untuk berkumpul dan menikmati hidangan serta minum teh bersama. Ijab kabul dilaksanakan di hadapan Imam dengan saksi-saksi kedua pihak mempelai. Setelah itu, Imam dan tetua keluarga akan memberikan wejangan, petuah bagi pasangan yang akan menempuh hidup baru, nilai-nilai Islam dijunjung tinggi dan pasangan baru tersebut diwajibkan untuk menjalankan keseluruhan nilai Islam dalam berkeluarga.

Yang sedikit membedakan dengan prosesi di Indonesia adalah yang dinamakan Handling Out Longevity Nuts. Snack yang sudah disiapkan, meliputi: kacang-kacangan yang disebut longevity nut yang menyimbolkan panjang umur, kurma yang melambangkan kesuburan bagi pasangan sehingga dikaruniai anak segera, coin yang menyimbolkan kehormatan dan kemakmuran, kemudian ada juga kacang tanah, buah-buahan, popcorn, walnut, dsb. Sang Imam akan mengambil 3 genggam penuh itu semua, menaruhnya di atas selembar saputangan membungkusnya untuk mempelai pria dan akan diberikan kepada mempelai wanita.

Setelah semua tamu meninggalkan tempat, mempelai akan membuka bungkusan tadi dan menikmati berdua sebagai tanda mulainya hidup baru mereka. Kesemua itu melambangkan cinta sejati, kebersamaan di dalam segala suka dan duka dan hidup bersama sepanjang hayat mereka. Kacang-kacangan juga merupakan simbol berkat dari Sang Imam kepada pasangan baru tsb.


Tabu & Larangan Suku Hui

Daging babi, anjing, keledai dan mule terlarang untuk dikonsumsi. Darah dari binatang, unggas dan ternak yang mati bukan karena disembelih dilarang untuk dikonsumsi juga. Mereka tidak diperkenankan untuk merokok dan minum alkohol di rumah orang lain. Lelucon berkenaan dengan makanan adalah tabu besar bagi Suku Hui, demikian juga metafora semisal: “cabe itu semerah darah”.

Seluruh ternak harus jauh dari sumber air bersih mereka (sumur, mata air, anak sungai). Air untuk mencuci muka, tangan dan kaki, jika tersisa dari yang diambil dari sumber air, tidak diperkenankan dituang balik. Suku Hui sangat memerhatikan kesehatan dan higienis lingkungan serta diri mereka sendiri.

Kebanyakan Suku Hui tidak merokok atau mengonsumsi alkohol. Sebisa mungkin mereka harus mencuci tangan dengan air mengalir sebelum makan. Tetua atau yang dihormati dalam kelompok atau keluarga harus mendapatkan tempat kehormatan di meja makan.

Hal yang paling menonjol adalah perhatian khusus Suku Hui akan daging yang mereka konsumsi, sangat ketat mengikuti Qur’an. Dengan semua larangan, pengharaman dan seluruh tata cara penyembelihan, pembersihan sampai dengan penyajian sangat ketat mengikuti Qur’an.


Kontribusi Terhadap China & Dunia

Sejak jaman dulu, Suku Hui sudah banyak berkontribusi kepada China. Agama Islam sendiri juga berpengaruh besar untuk kejayaan China di masa lalu. Laksamana Cheng Ho adalah salah satu bukti sejarah tak terbantahkan. Menurut penelitian terakhir dari Gavin Menzies, benua Amerika bukan ditemukan oleh Columbus, tapi oleh Laksamana Cheng Ho.

Laksamana Cheng Ho menemukan Benua Amerika di tahun 1421, 70 tahun lebih dulu dari Columbus, dan menemukan Benua Australia 350 tahun sebelum Cook. (1421 The Year China Discovered The World, Gavin Menzies, Bantam Books).

Pada tanggal 8 Maret 1421, Cheng Ho berlayar meninggalkan China atas titah Kaisar Zhu Di dari Dynasty Ming untuk membawa misi perdamaian ke seluruh dunia. Armada raksasa Cheng Ho mengangkat sauh dan berlayar untuk mengawali misi kedirgantaraan kemungkinan yang terbesar dalam sejarah umat manusia. Menimbang teknologi dan keterbatasan navigasi canggih ketika itu, ternyata memang menjadi kisah pelayaran misi perdamaian terbesar.

Cheng Ho sendiri diperkirakan pernah mampir ke Semarang sebanyak 7x dan total perjalanan muhibah ke wilayah Nusantara ketika itu berlangsung aman dan damai. Bahkan sempat armada Cheng Ho tercatat membantu Palembang untuk menaklukkan perompak di perairan sana. Dan juga sempat berinteraksi dengan Kerajaan Majapahit dengan hangat dan baik.

Di tiap era satu dinasti ke dinasti lain, selalu ada saja seorang atau lebih Suku Hui yang menonjol prestasi dan pencapaiannya. Dari Yuan Dynasty ada seorang astronomis yang bernama Jamaluddin, yang hasil karyanya dalam bidang astronomi sampai sekarang diakui dan dipakai. Dan masih banyak lagi ilmuwan Muslim dari Suku Hui yang berperan penting dalam sejarah China.

Qing Dynasty memiliki catatan khusus, karena di masa Qing Dynasty inilah, Kaisar Kangxi menyatukan daerah yang sekarang Xinjiang menjadi bagian penuh Kekaisaran Qing. Bahkan nama Xinjiang adalah nama pemberian Kaisar Kangxi yang berarti New Frontier (Garis Perbatasan Baru, 新疆). Kisah mengenai Kaisar Kangxi dan Xinjiang ini dibukukan oleh Chin Yung dengan judul Su Kiam In Su Lok (pinyin: Shu Jian En Chou Lu, 書劍恩仇錄 / 书剑恩仇录) dan lebih dikenal lagi di Indonesia film serial silatnya dengan judul Pedang dan Kitab Suci.

Pedang dan Kitab Suci adalah jalinan kisah apik dengan setting masa Qing Dynasty, Kaisar Kangxi. Intrik politik, pergerakan melawan pemerintah Qing, konflik keluarga, roman, ilmu silat tinggi, keruwetan rumah tangga, terjalin apik semua di cerita ini. Kitab Suci di sini adalah kitab suci Suku Hui, yang diperkirakan dan hampir pasti adalah Al Qur’an.

Ternyata baru saya sadari setelah menuangkan Suku Hui dalam serial lanjutan 56 Etnis Suku di China ini, bahwa China tanpa gembar-gembor kerukunan umat beragama dan toleransi yang tinggi sudah ditunjukkan oleh China sejak ratusan tahun silam. Apa yang digembar-gemborkan sekarang persamaan hak, hak asasi manusia, toleransi beragama, kerukunan umat beragama, issue minoritas, sudah ditembus semua tembok pembatas itu oleh China sejak berabad lalu.

Terima kasih sudah membaca lagi…

 


Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *