13 Tahun Kasus Mei, Kian Berat Melupakan Pusara Tanpa Nama


Pagi itu aku injakkan kaki di tanah merah yang basah. Butir-butir embun yang mulai mengecil dihisap sinar mentari masih menempel pada ujung rerumputan.

Aku berdiri di antara pusara tanpa nama. Perlahan aku menyusuri satu per satu pusara. Aku tertunduk pada tiap pusara dan memandang ringan pada sekitarnya.

Ada puluhan, mungkin ratusan pusara yang kupandangi, dan semua nisannya bertuliskan nama yang sama. “Korban Tragedi Mei 1998, 13-15 Mei 1998”. Nisan-nisan itu usang, tapi aku tahu kisah mereka masih dikenang hingga kini. Mereka adalah para korban kerusuhan Mei yang ditemukan tak lagi bernyawa di antara puing hitam yang telah hangus bersama tubuh mereka. Di sinilah mereka dimakamkan, Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon.

Sambil memandangi pusara itu, dari ujung jalan tampak rombongan orang berpakaian dan berpayung hitam. Pada payung mereka tertulis beberapa kata-kata seruan seperti “Tuntaskan kasus tragedi Mei 1998”, “Tuntaskan kasus Trisakti 1998”, serta beberapa kata seruan lain. Mereka datang membawa bunga rampai dan foto yang telah terbingkai. Rupanya, mereka adalah orang yang kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan 1998.

Setelah keheningan berlalu, satu per satu berkisah mengenai kronologis bagaimana mereka kehilangan orang tercinta. Kronologis memang berbeda alur, tapi semua berakhir duka. Acara sederhana namun hikmat itu diakhiri dengan doa dan penaburan bunga di setiap pusara korban Mei 1998, yang tidak dikenali.

Ibu Suriati yang ada dalam rombongan itu menuturkan, saat kerusuhan terjadi anaknya yang bernama Alfian terjebak di lantai tiga Mal Yogya, Klender, Jakarta Timur. Saat itu, anaknya baru pulang sekolah, sementara ia sedang sakit di rumah. Ia hanya mendapat kabar dari teman korban bahwa anaknya terjebak di lantai tiga karena tangga yang dipakai untuk akses naik turun sudah dipenuhi api. Itu adalah kabar terakhir tentang anaknya.

“Saya juga tidak mau sedih, tidak mau nangis, tapi cara dia meninggal yang mengenaskan dan jenazahnya yang tidak ditemukan membuat saya semakin berat melupakan,” tuturnya.

Suriati kecewa terhadap sikap pemerintah yang seolah tidak peduli dengan nasibnya. Ia sangat berharap bahwa presiden dapat mengambil sikap untuk menuntaskan kasus ini. Bagi Suriati, putranya bukanlah korban kerusuhan biasa, melainkan korban politik. “Kami yang menjadi korban, jangan mentang-mentang kami kecil, terus disepelekan,” katanya.

Terlalu Lama

Mamat yang kehilangan putranya, Arifin atau biasa disapa Ipin, dalam peristiwa Mei 1998 menuturkan, ia sangat terpukul ketika mengetahui putranya menjadi korban. Terlebih saat peristiwa itu terjadi ia baru merasakan tinggal bersama anaknya selama setahun karena sebelumnya Arifin mengikuti pesantren di Demak.

“Anak saya baru satu tahun hatam Alquran, sebelum kejadian itu, anak saya meminta dibelikan Alquran,” ungkapnya dengan bulir air mata yang menetes. Pria berusia 55 tahun itu sempat melarang putranya menghampiri keramaian di Mal Yogya, namun usahanya tersebut gagal karena Arifin bersikeras melihat keramaian bersama temannya.

Sampai akhirnya seorang tetangga mengabari kalau Arifin berada di dalam mal yang telah terbakar. Ia sempat memaksa masuk mal namun ditahan oleh warga yang saat itu berada di lokasi mal. Asap hitam yang menggumpal dari dalam mal seolah masuk ke dalam rongga dadanya, menyesakkan.

Menurutnya, 13 tahun adalah waktu yang teramat lama berada dalam ketidakpastian. Terlebih beberapa orang anggota keluarga korban sudah ada yang meninggal karena usia. “Sekarang saya sudah sakit-sakitan, tapi saya terus berjuang untuk penuntasan kasus ini,” paparnya.

Murni juga kehilangan putranya, Agung. Ketika itu, Agung pamit untuk meminjam buku ke rumah temannya. Apa yang dialami Murni cukup memilukan. Menurutnya, jasad anaknya dikembalikan dalam keadaan mengenaskan. Bahkan ia tidak berani melihat jasad tersebut. Murni mengungkap, para kerabat mengatakan padanya bahwa jasad yang diterimanya bukanlah jasad Agung. Akan tetapi ia tetap mengurusi jasad tersebut dengan harapan di mana pun putranya berada, jasadnya juga diurusi dengan baik.

Muhamad Daud dari Kontras yang mendampingi para korban mengungkapkan, semestinya penuntasan kasus ini sudah berjalan, mengingat tahun 1998, tim gabungan pencari fakta telah menemukan data terkait tragedi ini. Menurutnya, data-data yang ditemukan tersebut  telah ditindaklanjuti Komnas HAM dengan menyerahkan berkas penyidikan kepada kejaksaan. Daud menyayangkan, sejak saat itu hingga sekarang belum ada tindak lanjut dari kejaksaan dalam penuntasan kasus ini. Bahkan, berkas tersebut dikembalikan ke Komnas HAM pada 2008 tanpa ada tindakan penyidikan oleh kejaksaan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *