Warung Makan Legendaris Pecinan Glodok dengan Atmosphere Awal Abad ke-20


Warung Makan Legendaris Pecinan Glodok dengan Atmosphere Awal Abad ke-20

 dilaporkan: Liu Setiawan

Jakarta, 28 Februari 2025/Indonesia Media – Jl. Pancoran 1, Glodok, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat seperti biasa terutama weekday tetap ramai terutama masyarakat yang cari makanan khas tempo dulu, sambil menyusuri gang-gang kecil yang sekelebat kumuh, jorok, padat. Kendatipun demikian, Jl. Pancoran 1 masih menjadi surga bagi yang mau mencicipi makanan legendaris sambil menikmati elemen interior pada rumah-rumah tinggal khas pecinan Glodok yang rata-rata sudah berusia di atas 100 tahun. “Rumah kami dibangun awal abad ke-20, tepatnya tahun 1910. Saya dan saudara-saudara kandung tetap mempertahankan, tanpa mengubah (interior, konstruksi). Kami pernah pasang keramik di kamar. Karena rumah zaman dulu tidak pakai semen,” kata pemilik warung makan Lao Hoe di Pancoran 1, Julia Aliadi (Yoe Goat Hoa).

Warung Lao Hoe tetap legendaris, mengingat menu khas yakni bakmi Belitung dan laksa Bogor masih sering dicari para pecinta kuliner. Warung Lao Hoe mulai buka tahun 1980 an. Waktu itu, Julia baru berusia sekitar 29 tahun, dan mulai membuka usaha warung. Sebagai generasi ketiga Tionghoa Indonesia, ia meneruskan usaha kedua orang tuanya. “Tapi kakek saya kelahiran Tiongkok, dulunya bukan usaha warung makan. Almarhum jualan obat di depan (jalan raya Pancoran, Glodok),” kata perempuan kelahiran tahun 1951.

Ia bersama kakak perempuannya, yakni Yetty Aliadi (Yoe Goat Hoei) menyajikan menu bakmi Belitung dan laksa Bogor. Waktu pertama kali buka, Yetty masih menggunakan Swipoa (dikenal pula sebagai sempoa, sipoa, dekak-dekak, atau abakus), alat kuno untuk berhitung yang dibuat dari rangka kayu dengan sederetan poros berisi manik-manik yang bisa digeser-geserkan. Selain itu, mereka memasak bakmi dan ayam goreng dengan kayu-kayu bakar. “tahun 1990 an, kami mulai beralih menggunakan kompor minyak tanah. Tapi karena kami tetap mau menjaga elemen interior kuno, beberapa kayu bakar masih dipajang. Kami mau mempertahankan atmosphere Lao Hoe, dan terbukti menjadi daya tarik pecinan Glodok, tepatnya Jalan Pancoran,” kata Julia.

Ia mengaku tidak bisa menggunakan swipoa yang ditempatkan di meja kasir. Tapi Yetty yang usianya 82 tahun masih mahir menggunakan swipoa. Kendatipun Julia dulunya belajar swipoa di salah satu sekolah Tionghoa di Jakarta, tapi ia tidak pernah menggunakan lagi setelah lulus. “Yetty masih pakai swipoa. Tapi karena faktor usia, pendengaran kakak saya sudah berkurang. Ia hanya duduk sebagai kasir. Saya yang melayani para pembeli. Karena kami juga jualan kue basah, menu utamanya tetap laksa dan bakmi,” kata Julia.

Interior Lao Hoe berbeda dengan Cafe Historia dan Café Batavia walaupun sama-sama mempertahankan elemen interior kuno. Tapi exterior Lao Hoe terutama Jl. Pancoran 1 tidak mengalami perubahan. Atmosphere terutama dari aspek lantai, dinding, perabotan dan lain sebagainya masih mencerminkan suasana sekitar 100 tahun yang lalu. Konstruksi pintu, jendela, dan lain sebagainya menggunakan kayu jati. Selain, masih ada altar dengan peletakan papan leluhur yang mana perwujudan rasa bakti kepada leluhur. “Waktu covid (awal 2020 – 2023), kami sempat tutup. Kami sempat siasati dengan menempatkan meja di teras. Tapi hanya satu, dua pelanggan yang boleh makan di dalam. Sampai sekarang, mejanya tetap di luar karena sudah terlanjur,” kata Julia. (LS/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *