Trik Pemerintah Mengontrol Newmont . Royalti Newmont Masuk KPK


Ambisi masyarakat dan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (Pemda NTB) mendapatkan sisa 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) terus bergelora.

Sebagai bukti, usai libur panjang Senin lalu, misalnya, sekitar 20 warga yang menamakan diri Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat NTB melayangkan gugatan terhadap Menteri Keuangan (Menkeu), Agus Martowardojo. Gugatan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu diterima Panitera Muda Perdata, Suharmini. 

Setelah mendaftarkan gugatan, Ulung Purnama, Direktur Eksekutif Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat NTB, menyatakan bahwa langkah itu ditempuh mengingat upaya pendekatan dan meyakinkan bahwa daerah perlu mendapat saham tersebut tidak diapresiasi. “Gugatan ini terkait proses pengambilalihan divestasi saham 7% PT Newmont Nusa Tenggara pada 6 Mei 2011 oleh para tergugat yang tidak memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kehidupan ekonomi dan kedamaian masyarakat NTB,” katanya.

Selain Menteri Keuangan sebagai tergugat I, ada pula tergugat II Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Soritaon Siregar serta turut tergugat I PT NNT dan turut tergugat II Newmont Mining Corporation. Gugatan itu makin menambah seru polarisasi dua kubu yang berebut sisa 7% saham divestasi Newmont, yakni antara pemerintah pusat dan Pemda NTB.

Berdasarkan kontrak karya tahun 1986 antara PT NNT dan Pemerintah Republik Indonesia, ada kewajiban bagi NNT untuk mendivestasikan 51% sahamnya kepada pihak nasional sampai tahun 2010. Selanjutnya, sebanyak 20% saham menjadi milik PT Pakuafu Indah, sehingga PT NNT harus mendivestasikan sisa saham 31%. Proses divestasi ini ternyata tersendat-sendat dan tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

Ternyata, ketika proses pembelian saham divestasi NNT pada 2009, pemerintah pusat lebih memberikan kesempatan kepada Pemda NTB untuk membeli 24% saham divestasi NNT. Untuk membeli saham ini, tiga pemda, yakni Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa, membentuk PT Daerah Maju Bersaing (DMB).

Agar proses pembelian itu lancar, selanjutnya DMB menggandeng PT Multi Capital, anak usaha PT Bumi Resources, milik Grup Bakrie, untuk membentuk perusahaan patungan sebagai wadah guna melaksanakan kerja sama pembelian divestasi Newmont.

Perusahan patungan baru itu dinamai PT Multi Daerah Bersaing (MDB), dengan porsi kepemilikan saham 75% untuk PT Multi Capital dan 25% untuk PT DMB. Dalam kerja sama itu, ada kesepakatan agar DMB mengusahakan supaya MDB memperoleh hak atas saham divestasi Newmont sebesar 31%. Karena itu, DMB berjuang keras untuk mendapatkan sisa 7% saham divestasi.

Belakangan, Kementerian Keuangan melalui PIP pada 6 Mei lalu meneken pembelian 7% saham divestasi Newmont dengan nilai final US$ 246,8 juta. Pemerintah mengklaim telah mendapatkan harga yang rasional, karena harga penawaran awalnya US$ 271 juta. Dengan kurs Rp 8.500 per US$, maka ada penghematan US$ 24,2 juta atau sekitar Rp 205 milyar.

Mengapa pemerintah pusat tetap ngotot mendapatkan 7% saham divestasi yang tersisa? Usai bertemu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, Kamis 21 April lalu, Menkeu Agus Martowardojo mengungkapkan bahwa pemerintah punya tiga tujuan mengapa bersikukuh untuk mendapatkan 7% saham divestasi yang tersisa.

Pertama, hendak memastikan agar tata kelola dalam perusahaan dijalankan dengan baik.

Kedua, mendorong PT NNT aktif di pasar modal dengan mendaftarkan diri ke Bursa Efek Indonesia dan menawarkan saham perdana.
Ketiga, ingin mengetahui lebih mendalam tentang pengelolaan keuangan perusahaan tambang. Pasalnya, menurut Agus, muncul asumsi di masyarakat bahwa ada kecenderungan laporan keuangan di perusahaan tambang keliru. “Ada industri tambang yang menyatakan ekspornya 1 juta ton. Padahal, dari negara yang mengimpornya ketahuan sebenarnya mencapai 20 juta ton dari Indonesia. Artinya, ada ekspor ilegal,” kata Agus pada waktu itu. 

Pembelian 7% saham divestasi Newmont itu, menurut Agus, telah dilakukan, meskipun pembayarannya belum. “Tidak perlu meminta persetujuan dewan,” katanya pada saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR-RI, Rabu malam 1 Juni lalu. Secara teknis, pembayaran akan dilakukan dengan dana yang berasal dari PIP. Dengan begitu, meski DPR tidak setuju atas pembelian 7% saham PT NNT itu, pemerintah pusat tetap bisa menjalankan aksinya.

Dalam kesempatan itu, Agus juga mengungkapkan bahwa pembelian 24% saham yang dilakukan pemda ternyata akhirnya diserahkan kepada pihak swasta. Selanjutnya, saham itu dijadikan agunan kepada pihak asing untuk pembiayaan pembeliannya. Untuk sisa saham 7% ini pun, Agus mengungkapkan, kemungkinan besar pemda bergantung pada pihak lain, mengingat keterbatasan kemampuan keuangan daerah.

Soal saham yang digadaikan ke Credit Suisse Singapura dan dijadikan agunan itu, Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi, usai bertemu Hatta Rajasa, Senin lalu, membantahnya. “Bagian kami itu dilepaskan dari pegadaian dan agunan. Jadi, saham kami tidak termasuk yang digadaikan,” ujarnya. Pihaknya, yakni PT DMB, justru sedang menanti proses pembagian dividen sebesar US$ 30 juta.

Terkait niat pemda mengambil sisa 7% saham Newmont, Zainul menegaskan bahwa pihaknya terus memperjuangkan untuk mendapatnya. Kini pemda masih menanti perjuangan DPR, terutama Komisi Energi dan Keuangan, agar pembelian oleh PIP itu batal karena tidak disetujui DPR.

Secara terpisah, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan dukungannya pada upaya Menkeu Agus Martowardojo yang berjuang habis-habisan untuk mendapatkan 7% sisa divestasi saham Newmont itu. Penguasaan pemda atas 24% saham Newmont lewat konsorsium dengan Grup Bakrie yang berujung gadai saham ke pihak asing itu ia nilai tidak ada gunanya. ”Karena tidak ada guna karena ke asing juga,” kata Jusuf Kalla, seperti diwartakan detikFinance.com.

Sejak awal, Jusuf Kalla memang termasuk pihak yang mendorong agar pemerintah pusat membeli 24% saham divestasi Newmont. Alasannya, jika pemerintah pusat yang membeli saham Newmont, hasilnya bisa kembali ke daerah melalui DAK dan DAU. Adanya keterlibatan swasta yang masuk melalui konsorsium dengan daerah dalam pembelian divestasi itu, menurut Jusuf Kalla, tidak bisa disalahkan. Dari kacamata bisnis, pihak swasta tentu akan selalu mencari peluang.

Royalti Newmont Masuk KPK

Kawasan Tambang Batu Hijau Milik PT Newmont Nusa Tenggara di Taliwang, Sumbawa Barat, NTB (Antara/Ahmad Subaidi)Apa jadinya kalau setoran royalti ke negara tak sesuai dengan yang seharusnya dibayar? Sudah pasti pemerintah pusat maupun daerah merugi.
 

Ini pula yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait besaran royalti PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) pada periode 2004-2010. “Ada potensi kerugian negara US$ 237 juta,” kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas. ICW selanjutnya melaporkan temuan itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa pekan lalu. 

PT NNT adalah perusahaan yang memiliki konsesi tambang emas, perak, platinum, dan tembaga di Batu Hijau, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Firdaus menuturkan bahwa pihaknya menemukan dugaan penilapan royalti oleh PT NNT berdasar penelisikan laporan keuangan Newmont, laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP), laporan hasil produksi Newmont, dan kontrak karya PT NNT. “Kami menggunakan sumber data resmi dan asli,” katanya.

Firdaus melihat ada hal yang lucu dalam kontrak karya PT NNT. “Konsentrat terbesar NNT adalah tembaga, bukan emas atau perak,” ujarnya. Tembaga adalah 70% dari total pendapatan PT NNT. Namun dalam kontrak karya itu hanya tercantum persentase royalti untuk emas, perak, dan platinum. “Saya tidak tahu, apakah ESDM tidak tahu mengenai kandungan tembaga atau grade-nya,” ia menambahkan. ESDM yang dimaksudnya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Berdasarkan data Newmont Co Copper Proven & Reserve per 31 Desember 2010, proven reserve grade tembaga dari tambang Batu Hijau sebesar 0,50%. Persentase itu lebih besar ketimbang tambang mereka di Boddington, Australia, yang besarnya 0,10%.

Dalam kontrak karya PT NNT, untuk barang tambang selain emas, perak, dan platinum, besaran persentase royaltinya diatur dalam Pasal 13 butir Annex F dan G. Isinya, untuk mineral yang tidak dicantumkan royaltinya, tarifnya akan ditentukan pemerintah pada saatnya.

Terkait dengan besaran royalti tembaga itu, pemerintah kemudian mengeluarkan dua peraturan pemerintah (PP), yaitu PP Nomor 13 Tahun 2000 dan PP Nomor 45 Tahun 2003. “Yang intinya menjelaskan bahwa tarif royalti tembaga untuk kontrak karya adalah 4% dari hasil penjualan,” katanya.

ICW, kata Firdaus, kemudian menghitung besaran royalti PT NNT berdasarkan kontrak karya, PP 13/2010, PP 45/2010, laporan hasil produksi PT NNT, dengan memperhatikan harga barang tambang. Hasilnya, royalti PT NNT seharusnya US$ 382,2 juta pada periode 2004-2010. Sedangkan berdasarkan laporan keuangan yang dirilis PT NNT pada periode yang sama, besarnya hanya US$ 138,8 juta. Selisih inilah yang harus ditagih ke PT NNT.

ICW menduga, PT NNT mendasarkan perhitungan royalti tembaga pada Surat Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor 310 Tahun 2000. SK ini dikeluarkan pada 24 Februari 2000 atau selang sehari setelah dikeluarkannya PP 13/2000. “Nilai royaltinya kalau dihitung hanya sekitar 1% dari pendapatan,” tutur Firdaus.

Dalam hal ini, Firdaus melihat ada dua sarang masalah. Yang satu di Newmont dan satunya lagi di internal Direktorat Jenderal Pertambangan Umum ketika itu. “Karena orang hukum pun pasti berpendapat, keputusan dirjen tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berada di atasnya, seperti undang-undang atau PP,” katanya. Karena itulah, Firdaus meminta KPK menuntaskan kasus yang diduga merugikan negara sekitar Rp 2 trilyun ini.

Bupati Sumbawa Besar, Zulkifli Muhadli, mendukung laporan ICW ke KPK itu. “Bertahun-tahun Newmont merugikan masyarakat di sekitar tambang dan negara,” ujarnya kepada Gatra. Selama ini, berdasarkan ketentuan, Kabupaten Sumbawa Barat mendapat 32% dari besar royalti. “Dalam setahun, kami hanya mendapat Rp 60 milyar-Rp 90 milyar,” ia menambahkan. Angka ini, menurut dia, sangat kecil.

Manager Public Relations PT NNT, Kasan Mulyono, menyatakan bahwa pihaknya selama ini selalu patuh dan taat hukum. Termasuk dalam hal royalti hasil tambang. “Dalam pembayaran royalti, PT NNT telah melaksanakannya tepat waktu dan sesuai dengan KK Pasal 13,” demikian jawabnya melalui e-mail kepada Gatra. Tarif royalti untuk tembaga, kata Kasan Mulyono, memang tidak diatur dalam kontrak karya. “Namun diatur dalam surat dari Dirjen Pertambangan pada waktu itu,” katanya.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *